Please Wait
Hits
14989
14989
Tanggal Dimuat:
2015/05/13
Ringkasan Pertanyaan
Apakah bagi seorang mahasiswa agama, dengan berdasarkan kepada surah al-Taubah ayat 122 bisa menghindari untuk tidak ikut serta dalam berjihad?
Pertanyaan
Mohon kandungan ayat 122 surah al-Taubah dan mohon Anda jelaskan pula tentang tafsir ayat itu?
Jawaban Global
Terkait dengan pentingnya mencari ilmu dan pengetahuan serta menyebarkannya untuk orang-orang Muslim, Allah Swt dalam al-Quran menyeru orang-orang Mukmin supaya tidak semuanya pergi ke medan jihad. Allah Swt menitahkan beberapa kelompok dari mereka tinggal di Madinah guna belajar ilmu-ilmu agama, dan ketika para pejuang kembali ke sisi mereka, maka akan dapat mengajari para pejuang dengan hal-hal yang telah diperolehnya.
Pelajaran yang bisa diambil dari para ahli tafsir tentang tafsir surah al-Taubah ayat 122 adalah bahwa orang-orang Muslim selain penduduk Madinah semuanya tidak diperbolehkan pergi ke medan perang, melainkan harus ada sekelompok dari setiap daerah untuk pergi ke Madinah sehingga mempelajari hukum-hukum dan setelah kembali ke tempat aslinya akan menyampaikan ajaran-ajaran agama kepada orang-orang dilingkungannya. Segala akibat dari penentangan terhadap ushuluddin dan furu’uddin dikabarkan kepada mereka dengan harapan mereka akan takut dan bertakwa.
Ayat ini berkata, pertama, maksud “tafaqqahu” dalam agama adalah memahami semua ajaran-ajaran agama baik ushuludin maupun furu’udin, bukan hanya fikih yang bermakna ahkam amali (hukum-hukum praktis) sebagaimana yang diistilahkan pada masa sekarang. Kedua, jelas bahwa ketika jihad dengan fardhu aini tidak (belum) ditetapkan, sebagian orang-orang Muslim bisa mencari ilmu dan tidak pergi ke medan perang atau bisa pergi ke medan perang dengan cara bergantian. Dengan demikian, sekolah dan universitas tidak akan kosong.
Jelaslah, dengan memperhatikan ayat-ayat jihad yang lainnya dan juga dengan memperhatikan riwayat-riwayat yang berkaitan dengannya, maksudnya adalah bukan meninggalkan medan perang secara penuh oleh mahasiwa agama tapi maksudnya adalah penegasan atas jangan mengosongkan sekolah dan perkuliahan.
Pelajaran yang bisa diambil dari para ahli tafsir tentang tafsir surah al-Taubah ayat 122 adalah bahwa orang-orang Muslim selain penduduk Madinah semuanya tidak diperbolehkan pergi ke medan perang, melainkan harus ada sekelompok dari setiap daerah untuk pergi ke Madinah sehingga mempelajari hukum-hukum dan setelah kembali ke tempat aslinya akan menyampaikan ajaran-ajaran agama kepada orang-orang dilingkungannya. Segala akibat dari penentangan terhadap ushuluddin dan furu’uddin dikabarkan kepada mereka dengan harapan mereka akan takut dan bertakwa.
Ayat ini berkata, pertama, maksud “tafaqqahu” dalam agama adalah memahami semua ajaran-ajaran agama baik ushuludin maupun furu’udin, bukan hanya fikih yang bermakna ahkam amali (hukum-hukum praktis) sebagaimana yang diistilahkan pada masa sekarang. Kedua, jelas bahwa ketika jihad dengan fardhu aini tidak (belum) ditetapkan, sebagian orang-orang Muslim bisa mencari ilmu dan tidak pergi ke medan perang atau bisa pergi ke medan perang dengan cara bergantian. Dengan demikian, sekolah dan universitas tidak akan kosong.
Jelaslah, dengan memperhatikan ayat-ayat jihad yang lainnya dan juga dengan memperhatikan riwayat-riwayat yang berkaitan dengannya, maksudnya adalah bukan meninggalkan medan perang secara penuh oleh mahasiwa agama tapi maksudnya adalah penegasan atas jangan mengosongkan sekolah dan perkuliahan.
Jawaban Detil
Allah Swt dalam al-Quran menyebutkan tentang pentingnya belajar ilmu dan mengajarkannya kepada orang lain dan menyamakannya dengan perintah jihad dan melawan musuh. Allah Swt berfirman:
«وَ ما کانَ الْمُؤْمِنُونَ لِیَنْفِرُوا کَافَّهً فَلَوْ لا نَفَرَ مِنْ کُلِّ فِرْقَهٍ مِنْهُمْ طائِفَهٌ لِیَتَفَقَّهُوا فِی الدِّینِ وَ لِیُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ اِذا رَجَعُوا اِلَیْهِمْ لَعَلَّهُمْ یَحْذَرُون»
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak ada beberapa orang dari tiap-tiap golongan di antara mereka yang (diam di Madinah) untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepada kaum mereka itu? Semoga mereka itu takut (untuk menentang perintah Allah).” (Qs. Al-Taubah [9]:122)
Pada ayat-ayat sebelumnya, orang-orang Muslim diserukan untuk berjihad sementara orang-orang yang tidak memenuhi panggilan jihad sangat dicela. Nah, pada ayat ini, terdapat tugas penting yang lain bagi orang-orang Muslim selain pergi ke medan perang, dimana kemestiannya tidak kurang dari jihad itu sendiri dan hal itu adalah belajar ajaran-ajaran agama.
Dengan penegasan tentang pentingnya berjihad pada masa-masa sebelumnya, orang-orang Mukmin lebih mementingkan untuk pergi ke medan peperangan dan setiap waktu perang datang, mereka lebih memilih untuk pergi ke medan perang, walaupun Nabi Muhammad sendiri tidak ikut serta perang, bahkan pada saat perang itu hanya merupakan kewajiban kifāyah. Hal ini menyebabkan Nabi Saw dalam kondisi sendirian dan tidak ada seorang pun yang belajar hukum-hukum dan pokok-pokok ajaran Islam dari Nabi Saw.
Ayat ini memerintahkan bahwa janganlah semua orang Mukmin pergi berjihad dan hendaklah ada sekelompok dari mereka yang tetap tinggal di Madinah untuk belajar ilmu-ilmu agama dan ketika para tentara kembali, apa-apa yang dipelajarinya akan diajarkan kepada mereka dan akan memberikan peringatan dan berdakwah kepada mereka dengan harapan mereka akan takut dan mentaati aturan-aturan agama.
Dalam setiap peperangan jelaslah bahwa syarat-syarat dan kondisi-kondisinya berbeda. Kadang-kadang musuh kuat dan membahayakan sehingga semua orang-orang Muslim harus bersatu untuk pergi berjihad, seperti perang Tabuk dimana kaum Muslimin waktu itu menghadapi pasukan Romawi yang kuat. Namun kadang-kadang musuh tidak terlalu memiliki kekuatan dan tidak penting bagi semua kaum Muslimin untuk ikut serta berperang semuanya. Pada keadaan ini, sekelompok dari orang-orang Muslim harus pergi ke medan perang dan sekelompok yang lainnya harus tetap tinggal untuk mempelajari ilmu-ilmu agama karena boleh jadi setiap saat bisa saja akan turun wahyu Ilahi dan hukum baru atau pembahasan-pembahasan baru akan diperoleh dari Nabi Saw.
Oleh itu, harus ada sekelompok orang yang menerima hukum atau belajar ilmu-ilmu agama sehingga ketika para pejuang itu kembali, akan ada orang-orang yang mengajarkan hal-hal baru dalam agama kepada mereka sehingga mereka juga tahu tentang turunnya wahyu, akan menambah keimanan mereka dan mereka akan mempunyai rasa takut kepada Allah Swt.
Ayat ini menunjukkan tentang pentingnya mencari ilmu dan pengetahuan dalam agama Islam. Kebanyakan mufassir berkeyakinan bahwa nilai belajar dan mengajar tidak kurang pentingnya dari nilai jihad melawan musuh. Apabila sekelompok orang pergi untuk berperang dengan musuh maka harus ada juga sekelompok orang yang belajar dan mengajar ilmu-ilmu keagamaan.[1]
Sebab-sebab Turun
Tentang sebab-sebab turunnya ayat terdapat beberapa riwayat sebagai berikut:
«وَ ما کانَ الْمُؤْمِنُونَ لِیَنْفِرُوا کَافَّهً فَلَوْ لا نَفَرَ مِنْ کُلِّ فِرْقَهٍ مِنْهُمْ طائِفَهٌ لِیَتَفَقَّهُوا فِی الدِّینِ وَ لِیُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ اِذا رَجَعُوا اِلَیْهِمْ لَعَلَّهُمْ یَحْذَرُون»
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak ada beberapa orang dari tiap-tiap golongan di antara mereka yang (diam di Madinah) untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepada kaum mereka itu? Semoga mereka itu takut (untuk menentang perintah Allah).” (Qs. Al-Taubah [9]:122)
Pada ayat-ayat sebelumnya, orang-orang Muslim diserukan untuk berjihad sementara orang-orang yang tidak memenuhi panggilan jihad sangat dicela. Nah, pada ayat ini, terdapat tugas penting yang lain bagi orang-orang Muslim selain pergi ke medan perang, dimana kemestiannya tidak kurang dari jihad itu sendiri dan hal itu adalah belajar ajaran-ajaran agama.
Dengan penegasan tentang pentingnya berjihad pada masa-masa sebelumnya, orang-orang Mukmin lebih mementingkan untuk pergi ke medan peperangan dan setiap waktu perang datang, mereka lebih memilih untuk pergi ke medan perang, walaupun Nabi Muhammad sendiri tidak ikut serta perang, bahkan pada saat perang itu hanya merupakan kewajiban kifāyah. Hal ini menyebabkan Nabi Saw dalam kondisi sendirian dan tidak ada seorang pun yang belajar hukum-hukum dan pokok-pokok ajaran Islam dari Nabi Saw.
Ayat ini memerintahkan bahwa janganlah semua orang Mukmin pergi berjihad dan hendaklah ada sekelompok dari mereka yang tetap tinggal di Madinah untuk belajar ilmu-ilmu agama dan ketika para tentara kembali, apa-apa yang dipelajarinya akan diajarkan kepada mereka dan akan memberikan peringatan dan berdakwah kepada mereka dengan harapan mereka akan takut dan mentaati aturan-aturan agama.
Dalam setiap peperangan jelaslah bahwa syarat-syarat dan kondisi-kondisinya berbeda. Kadang-kadang musuh kuat dan membahayakan sehingga semua orang-orang Muslim harus bersatu untuk pergi berjihad, seperti perang Tabuk dimana kaum Muslimin waktu itu menghadapi pasukan Romawi yang kuat. Namun kadang-kadang musuh tidak terlalu memiliki kekuatan dan tidak penting bagi semua kaum Muslimin untuk ikut serta berperang semuanya. Pada keadaan ini, sekelompok dari orang-orang Muslim harus pergi ke medan perang dan sekelompok yang lainnya harus tetap tinggal untuk mempelajari ilmu-ilmu agama karena boleh jadi setiap saat bisa saja akan turun wahyu Ilahi dan hukum baru atau pembahasan-pembahasan baru akan diperoleh dari Nabi Saw.
Oleh itu, harus ada sekelompok orang yang menerima hukum atau belajar ilmu-ilmu agama sehingga ketika para pejuang itu kembali, akan ada orang-orang yang mengajarkan hal-hal baru dalam agama kepada mereka sehingga mereka juga tahu tentang turunnya wahyu, akan menambah keimanan mereka dan mereka akan mempunyai rasa takut kepada Allah Swt.
Ayat ini menunjukkan tentang pentingnya mencari ilmu dan pengetahuan dalam agama Islam. Kebanyakan mufassir berkeyakinan bahwa nilai belajar dan mengajar tidak kurang pentingnya dari nilai jihad melawan musuh. Apabila sekelompok orang pergi untuk berperang dengan musuh maka harus ada juga sekelompok orang yang belajar dan mengajar ilmu-ilmu keagamaan.[1]
Sebab-sebab Turun
Tentang sebab-sebab turunnya ayat terdapat beberapa riwayat sebagai berikut:
- Sekelompok orang berkata: “Segolongan sahabat Nabi pergi tabligh ke suku badui. Suku badui itu pun menyambut kedatangan mereka dengan hangat dan memperlakukan mereka dengan baik, namun sebagian memprotes mereka bahwa mengapa membiarkan Nabi Saw sendirian dan justru pergi menemui mereka. Sahabat Nabi itu pun sedih dan murung mendengar perkataan itu, kemudian mereka mengadu kepada Nabi Saw. Maka ayat itu pun turun demi menegaskan pentingnya program dakwah mereka dan menghilangkan kekhawatiran mereka.”[2]
- Ketika suku Badui masuk Islam, mereka pergi ke Madinah untuk belajar hukum-hukum Islam. Hal ini membuat harga kebutuhan pokok menjadi mahal dan menimbulkan masalah lain bagi kaum Muslimin di Madinah. Ayat ini turun dan memerintahkan bahwa tidak seharusnya semua pergi dan mengosongkan tempat tinggalnya untuk pergi ke Madinah guna memperlajari dan memahami ilmu-ilmu agama, namun cukuplah jika hanya segolongan saja yang mendalami ilmu-ilmu agama.[3]
- Ketika Nabi Saw pergi ke medan perang, semua orang-orang muslim mengikuti Nabi kecuali orang-orang munafik dan orang-orang yang berhalangan, namun setelah turunnya ayat tentang kecaman keras terhadap kaum munafik, khususnya orang-orang yang menentang perang Tabuk, kaum mukminin berlomba-lomba untuk ikut perang bahkan walaupun perang itu tidak diikuti oleh Nabi Saw dan mereka meninggalkan Nabi. Ayat ini turun dan mengumumkan bahwa jika tidak berada dalam keadaan darurat, tidak seharusnya semua orang-orang Muslim pergi ke medan perang namun harus ada sekelompok orang yang tinggal di Madinah guna mendalami ilmu-ilmu agama dari Nabi Saw kemudian mengajarkan kepada para mujahid ketika mereka kembali dari medan perang.[4]
Penafsiran
Sekarang kita akan meneliti ayat ini dengan memprioritaskan sebab turun (sya’n nuzul) yang ketiga dimana kebanyakan mufassir berkeyakinan atasnya:
Sebagaimana yang telah Anda ketahui bahwa jihad dan perang di jalan Tuhan dengan memperhatikan kepada keadaan zaman dan posisi musuh mempunyai dua hukum:
Pertama, fardhu ‘ain yang meliputi kewajiban bagi kaum Muslimin dalam setiap kondisi untuk hadir dalam peperangan kecuali orang-orang yang tidak mempunyai kekuatan untuk berperang. Hukum ini bisa ditemui di banyak tempat dalam ayat-ayat al-Quran: Berangkatlah kamu (ke medan jihad), baik dengan membawa bekal yang ringan maupun yang berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. [5]
Kedua, fardhu kifayah jika kehadiran sejumlah kaum Muslimin dalam peperangan telah mencukupi, maka orang lain tidak wajib untuk pergi berperang.
Dengan memperhatikan masalah ini, para mufassir memberikan pendapat yang bermacam-macam tentang masalah ini:
- Sebagian berkeyakinan bahwa konteks ayat yang sedang dibahas bahwa yang dimaksud dengan kalimat «لِیَنْفِرُوا کَافَّهً» keluar semua untuk pergi berjihad. Namun pengecualian seperti «نَفَرَ مِنْ کُل فِرْقَهٍ مِنْهُمْ» menunjukkan bahwa tidak seharusnya seluruh kaum muslimin keluar dari kota demi pergi jihad. Kemestian maksud » «نَفَرَ adalah pergi menemui Rasul Saw. Oleh itu, ayat dalam kedudukan pelarangan semua masyarakat pergi ke medan perang dan harus ada segolongan dari mereka yang datang ke Madinah untuk memperlajari ilmu-ilmu agama.
Oleh itu, arti yang lebih sesuai adalah kata ganti «رجعوا» kembali kepada golongan yang keluar untuk mempelajari dan mendalami ilmu keagamaan. Kata ganti «الیهم»kembali kepada penduduk kota. Maksud ayat ini adalah berilah peringatan kepada penduduk kota yang lain ketika segolongan yang mempelajari ilmu itu telah kembali ke kotanya masing-masing.
Namun boleh jadi, kebalikannya, yaitu kata ganti «رجعوا» kembali kepada penduduk kota yang pergi ke medan perang, dan kata ganti «الیهم»kembali kepada orang-orang yang mempelajari hukum-hukum agama, sehingga akan memiliki arti: Dan bagi orang-orang yang pergi berjihad, ketika mereka kembali dari jihad, berikanlah peringatan kepada penduduk kota.
Penjelasan: Kesimpulan dari ayat ini adalah bagi orang-orang Mukmin selain kota Madinah tidak diperbolehkan jika semua orang pergi ke medan perang karena tidak semua kelompok dari setiap kota akan pergi ke Madinah guna mendalami ilmu agama di sana kemudian mengamalkannya. Dan ketika kembali, mereka akan menyebarkan ajaran agama kepada penduduk setempat, memberikan peringatan tentang akibat-akibat yang akan dipikul jika melanggar ushuludin dan furu’udin sehingga mereka akan takut dan akan memiliki ketakwaan.
Dari sini bisa dipahami bahwa yang dimaksud dengan «تفقه» dalam agama adalah memahami semua ajaran-ajaran agama baik ushuludin maupun furu’uddin, bukan hanya hukum-hukum praktis yang dalam istilah ulama agama pada masa sekarang adalah ilmu-ilmu fikih, yaitu bahwa tidak cukup hanya dengan penjelasan hukum-hukum praktis fikih, namun perlu penjelasan masalah akidah. Oleh itu, ayat ini merupakan dalil yang terang bahwa harus ada sekelompok orang-orang muslim yang melaksanakan fardhu kifāyah berupa mempelajari dan mendalami agama dan setelah menyelesaikan pelajarannya, akan menyebarkan ajaran agama Islam ke berbagai tempat, khususnya kembali ke tempat asal tinggalnya dan mengenalkan penduduk setempat akan masalah-masalah keagamaan. Jadi ayat ini merupakan dalil yang gamblang atas wajibnya proses belajar dan mengajar dalam masalah agama Islam.[6]
Namun boleh jadi, kebalikannya, yaitu kata ganti «رجعوا» kembali kepada penduduk kota yang pergi ke medan perang, dan kata ganti «الیهم»kembali kepada orang-orang yang mempelajari hukum-hukum agama, sehingga akan memiliki arti: Dan bagi orang-orang yang pergi berjihad, ketika mereka kembali dari jihad, berikanlah peringatan kepada penduduk kota.
Penjelasan: Kesimpulan dari ayat ini adalah bagi orang-orang Mukmin selain kota Madinah tidak diperbolehkan jika semua orang pergi ke medan perang karena tidak semua kelompok dari setiap kota akan pergi ke Madinah guna mendalami ilmu agama di sana kemudian mengamalkannya. Dan ketika kembali, mereka akan menyebarkan ajaran agama kepada penduduk setempat, memberikan peringatan tentang akibat-akibat yang akan dipikul jika melanggar ushuludin dan furu’udin sehingga mereka akan takut dan akan memiliki ketakwaan.
Dari sini bisa dipahami bahwa yang dimaksud dengan «تفقه» dalam agama adalah memahami semua ajaran-ajaran agama baik ushuludin maupun furu’uddin, bukan hanya hukum-hukum praktis yang dalam istilah ulama agama pada masa sekarang adalah ilmu-ilmu fikih, yaitu bahwa tidak cukup hanya dengan penjelasan hukum-hukum praktis fikih, namun perlu penjelasan masalah akidah. Oleh itu, ayat ini merupakan dalil yang terang bahwa harus ada sekelompok orang-orang muslim yang melaksanakan fardhu kifāyah berupa mempelajari dan mendalami agama dan setelah menyelesaikan pelajarannya, akan menyebarkan ajaran agama Islam ke berbagai tempat, khususnya kembali ke tempat asal tinggalnya dan mengenalkan penduduk setempat akan masalah-masalah keagamaan. Jadi ayat ini merupakan dalil yang gamblang atas wajibnya proses belajar dan mengajar dalam masalah agama Islam.[6]
- Sebagian mufassir memberikan kemungkinan bahwa ayat ini ingin menjelaskan hukum bagi sekelompok kaum Muslimin sebagai fardhu kifayah untuk pergi ke medan perang, dan dalam medan perang mempelajari ajaran agama Islam dan menyaksikan secara langsung kemenangan kaum Muslimin atas musuh yang merupakan contoh dari keberkahan dan kebenaran agama Islam dan ketika kembali, mereka akan mengabarkan kepada penduduk setempat tentang hal ini.[7]
- Sebagian mufassir yang lain memberikan kemungkinan bahwa ayat ini menjelaskan hukum secara terpisah dan pada dasarnya tidak berkenaan dengan jihad. Karena ayat itu tidak menyinggung sedikit pun tentang jihad dan hanya memerintahkan bahwa janganlah semua orang-orang Mukmin pergi (ke medan perang) namun dari setiap kelompok mereka ada yang pergi untuk mempelajari ilmu-ilmu agama.
Adapun mengenai ayat ini berada di samping ayat jihad, bukan merupakan dalil bahwa ayat ini berkenaan dengan jihad dan menurut hemat kami tidak ada perlunya bahwa di antara ayat-ayat itu harus ada kesesuaian di dalamnya, karena semua ayat-ayat itu tidak turun secara berurutan dan pada ayat-ayat lain yang jumlahnya sangat banyak yang letaknya saling berdekatan, saya tidak melihat adanya kesesuaian yang jelas, walaupun sebagian ahli tafsir bersusah payah menyebutkan adanya kesesuaian lemah ini yang terkadang tidak masuk akal.
Sebagai contoh ayat terakhir surah al-Nisa tentang warisan kalālah padahal pada ayat sebelumnya berkenaan dengan Nabi Isa As dan kaum Mukmin yang bertakwa kepada Tuhan dan Tuhan memberikan anugerah, rahmat dan hidayah kepada mereka. Atau ayat Ikmal[8] yang berkaitan dengan pengganti Nabi, pada pertengahan ayat itu membahas tentang makanan yang diharamkan seperti: bangkai, darah dan daging babi.[9]
Oleh itu, boleh jadi yang dimaksud pada masa Nabi Muhammad Saw setelah tersebarnya agama Islam di antara berbagai kabilah-kabilah, setiap orang yang telah memeluk Islam ingin pergi menemui Nabi Saw dan ingin mempelajari agama Islam secara langsung dari Nabi Saw dan tentu hal ini menyebabkan kerepotan bagi Nabi Saw. Ayat ini memberi perintah kepada orang-orang mukmin bahwa tidak perlu kalian pergi ke Madinah untuk menemui Nabi Saw, tapi cukup segolongan atau sekelompok dari kalian pergi ke Madinah kemudian mempelajari ilmu-ilmu agama dan setelah selesai, kembali ke kaumnya untuk menyebarkan apa-apa yang dipelajarinya. Artinya kaum Muslimin itu berkewajiban dan hal ini adalah salah satu bentuk fardhu kifāyah dari setiap kaum dan sekumpulan untuk bangkit dan pergi ke pusat-pusat keilmuan guna mempelajari ilmu-ilmu agama Islam dan setelah itu kembali ke daerah asalnya masing-masing dan mengajarkan ilmu agama itu kepada penduduk setempat.[10]
Sebagai contoh ayat terakhir surah al-Nisa tentang warisan kalālah padahal pada ayat sebelumnya berkenaan dengan Nabi Isa As dan kaum Mukmin yang bertakwa kepada Tuhan dan Tuhan memberikan anugerah, rahmat dan hidayah kepada mereka. Atau ayat Ikmal[8] yang berkaitan dengan pengganti Nabi, pada pertengahan ayat itu membahas tentang makanan yang diharamkan seperti: bangkai, darah dan daging babi.[9]
Oleh itu, boleh jadi yang dimaksud pada masa Nabi Muhammad Saw setelah tersebarnya agama Islam di antara berbagai kabilah-kabilah, setiap orang yang telah memeluk Islam ingin pergi menemui Nabi Saw dan ingin mempelajari agama Islam secara langsung dari Nabi Saw dan tentu hal ini menyebabkan kerepotan bagi Nabi Saw. Ayat ini memberi perintah kepada orang-orang mukmin bahwa tidak perlu kalian pergi ke Madinah untuk menemui Nabi Saw, tapi cukup segolongan atau sekelompok dari kalian pergi ke Madinah kemudian mempelajari ilmu-ilmu agama dan setelah selesai, kembali ke kaumnya untuk menyebarkan apa-apa yang dipelajarinya. Artinya kaum Muslimin itu berkewajiban dan hal ini adalah salah satu bentuk fardhu kifāyah dari setiap kaum dan sekumpulan untuk bangkit dan pergi ke pusat-pusat keilmuan guna mempelajari ilmu-ilmu agama Islam dan setelah itu kembali ke daerah asalnya masing-masing dan mengajarkan ilmu agama itu kepada penduduk setempat.[10]
- Perlu diketahui bahwa sebagian mufassir mengambil kesimpulan bahwa ayat ini pada dasarnya menerangkan tentang adanya dispensasi unttuk tidak berjihad bagi orang-orang yang belajar agama.[11] Namun tampaknya pengambilan kesimpulan secara umum ini tidak sesuai dengan ayat-ayat dan riwayat-riwayat yang berkenaan dengan jihad.
Beberapa Catatan:
- Sekelompok dari ulama menggunakan ayat itu sebagai sandaran kebolehan atas bertaklid karena mempelajari ilmu-ilmu agama dan menyampaikannya kepada orang lain pada masalah furu’uddin dan keharusan orang-orang yang mendengarkan untuk mengikutnya (baca; taklid). Tentu saja sebagaimana yang kami katakan, bahwa ayat di atas tidak hanya membahas tentang furu’uddin saja, namun juga mencakup pembahasan ushuluddin. Nampaknya, yang menjadi permasalahan adalah pada masa itu belum ada pembicaraan tentang jihad dan taklid. Mereka mempelajari masalah-masalah keagamaan dan menyampaikan hal itu kepada orang lain. Mereka dikategorikan sebagai pendakwah, yaitu mereka mempelajari suatu permasalahan dari Nabi dan menyampaikan permasalahan itu persis sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi Saw.
- Masalah penting lainnya yang bisa diambil dari ayat ini adalah pentingnya dan perhatian agama Islam terhadap masalah pendidikan dan pengajaran sehingga tidak semua kaum muslimin harus pergi ke medan peperangan namun harus ada sekelompok dan segolongan yang tinggal untuk memperdalam ilmu agama. Jihad melawan kebodohan juga wajib seperti jihad terhadap musuh Kedua bentuk jihad ini penting dan salah satu bentuk jihad itu tidak kurang penting dari pada bentuk yang lainnya, karena sepanjang orang-orang muslim tidak menang dalam masalah kebodohan, maka tidak akan memperoleh kemenangan dalam memerangi musuh karena masyarakat yang bodoh akan selalu menderita kekalahan.[12]
- Masyarakat Islam, sebuah masyarakat agamis yang selalu menuju kemajuan. Demi untuk mencapai tujuan ini, diperlukan kelompok yang cerdas dan bijak, berkonsentrasi dengan penelitian dalam masalah-masalah keagamaan dan pendalaman dalam misi risalah samawi. Kelompok ini selalu menjemput tantangan sementara orang-orang muslim lain di kota-kota sibuk dengan kehidupan mereka sendiri.[13] [iQuest]
[1] Ja’fari, Ya’qub, Kautsar, jil. 4, hal. 596-597, tanpa tempat, tanpa tahun
[2] Ibid, hal. 126, Thabarsi, Fadhl bin Hasan, Majma’ al-Bayān fi Tafsir al-Qurān, Muqadimah, Balaghi, Muhammad Jawad, jil. 5, hal. 125-126, Tehran, Nashir Khosro, cet. 3, 1372.
[3] Syaikh Thusi, Muhammad bin Hasan, Al-Tibyān fi Tafsir al-Qur’ān, Muqadimah: Tehran, Agha Buzurg, Riset: Qashir Amili, Ahmad, jil. 5, hal. 323, Beirut, Dar Ihya al-Tsurat al-‘Arabi, tanpa tahun.
[4] Majma’ al-Bayān fi Tafsir al-Qurān, jil. 5, hal. 126.
[5] Qs Al-Taubah [9]: 41.
[6] Thabathabai, Sayid Muhammad Husain, Al-Mizān fi Tafsir al-Qur’ān, jil. 9, hal. 404, Qum, Daftar Intisyarat Islami, cet. 5, hal. 323, Beirut, Dar Ihya al-Tsurat al-‘Arabi, tanpa tahun.
[7] Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir, Jami’ al-Bayān fi Tafsir al-Qur’ān, jil. 11, hal. 51, Beirut, Dar Ma’rifah, cet. 1, 1412.
[8] Qs Al-Maidah [5]: 3.
[9] Kautsar, jil. 4, hal. 597-598.
[10] Haqi Berusawi, Ismail, Tafsir Ruh al-Bayān, jil. 3, hal. 535, Beirut, Dar al-Fikr, tanpa tahun.
[11] Al-Mizān fi Tafsir al-Qur’ān, jil, 9, hal. 404.
[12] Makarim Syirazi, Nashir, Tafsir Nemuneh, jil. 8, hal. 194-195, Tehran, Dar al-Kitab al-Islamiyah, Cet. 1, hal. 1374 S.
[13] Mudarrisi, Sayid Muhammad Taqi, Tafsir Hidāyat, Tim Penerjemah, jil. 4, hal. 255, Masyhad, Bunyad Pazuhesyhai Islami Astan Quds Razawi, Cet. 1, 1377.
Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar