Please Wait
14330
"Wilâyah" bermakna hadirnya sesuatu sebagai ikutan dari sesuatu yang lain tanpa ada jarak di antara keduanya. Keniscayaan ikutan ini adalah kedekatan dan kekerabatan di antara keduanya.
Dengan demikian, terminologi wilâyah ini juga digunakan dengan makna cinta dan persahabatan, pertolongan dan sokongan, pengikut dan pendukung, pemimpin dan pembina.
"Wilâyah takwini" artinya kepemimpinan atas seluruh eksisten di alam semesta dan penguasaan atasnya. Pemilik wilâyah takwini ini, pertama dan secara esensial hanya terbatas pada dzat Allah Swt dan pada urutan kedua dan secara akisdental dimiliki oleh Nabi Saw, para Imam Maksum As dan manusia-manusia sempurna.
"Wilâyah" merupakan redaksi Arab yang derivatnya dari kata "wali". Pada bahasa Arab, wilâyah ini bermakna hadirnya atau datangnya sesuatu sebagai ikutan atau susulan dari sesuatu yang lain tanpa adanya jarak di antara keduanya. Keniscayaan pengikutan ini adalah kedekatan dan kekerabatan yang terajut di antara keduanya.
Dengan demikian, redaksi ini digunakan dengan bentuk yang beraneka ragam (dengan fatha dan kasra waw) yang bermakna kecintaan dan pertemanan, pertolongan dan sokongan, ikutan dan dukungan, kepemimpinan dan leadership. Makna yang tepat untuk terminologi "wilâyah takwini" adalah makna yang belakangan dari ragam makna wilâyah ini.
"Wilâyah takwini" artinya kepemimpinan atas seluruh eksisten semesta dan penguasaan atasnya. Pada urutan pertama dan secara esensial wilâyah ini terbatas pada Allah Swt. Pada urutan kedua dan secara aksidental pada para nabi, Imam Maksum As dan para insan kamil. Akan tetapi kaidah ini, tetap harus mendapat perhatian dalam bentuk sebuah program metodologis pada kebanyakan tema dalam al-Qur'an seperti kemuliaan (izzah), quwwah (kekuatan), dan syafaat.
Terkait dengan wilâyah kita perhatikan bahwa Allah Swt berfirman, "Dan Allah, Dialah wali." Wali hakiki manusia dan semesta hanyalah Allah Swt." (Qs. Al-Syura [42]:9) Pada saat yang sama dalam hal yang lain, Allah Swt berfirman, "Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri" (Qs. Al-Ahzab [33]:6); atau pada ayat yang lain disebutkan, "Sesungguhnya pemimpinmu hanyalah Allah, rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat, sedang mereka dalam kondisi rukuk." (Qs. Al-Maidah [5]:54) dimana dalam ayat ini ditetapkan wilâyah bagi Tuhan, Nabi Saw dan Ahlulbait As.
Kita berkata ahwa ayat-ayat ini tidak bermakna bahwa manusia memiliki beberapa wali dan pemimpin dimana salah satu dari mereka atau wilâyah yang paling unggul dari mereka adalah wilâyah Tuhan. Makna ayat ini adalah bahwa dengan memperhatikan pembatasan wilâyah "walllahu huwa al-wali." Adalah bahwa satu-satunya wali hakiki dan sejati hanyalah Tuhan.
Nabi Saw dan Ahlulbait As adalah wali pada urutan kedua dan memiliki wilâyah secara aksidental. Mereka merupakan cermin wilâyah Tuhan. Menyitir redaksi indah al-Qur'an, mereka adalah ayat dan tanda-tanda wilâyah Tuhan.[1]
Terkait dengan pertanyaan kedua bahwa apa kaitannya wilâyah takwni dengan para Imam Maksum As? Sebelum menjawab pertanyaan ini kiranya kita perlu memperhatikan dua poin berikut ini:
- Di antara seluruh eksisten di alam semesta ini, manusia memiliki kedudukan dan derajat sedemikian unggul dan tinggi sehingga bahkan para malaikat sekalipun tidak sampai pada kedudukan dan derajat tersebut. Manusia memiliki potensi dan pelbagai kekuatan terpendam di dalamnya dimana apabila ia menemukannya dalam dirinya dan terus ia bina maka ia dapat menjadi khalifah Tuhan di muka bumi dan sebaik-baik makhluk di pelataran semesta.
- Allah Swt, dari satu sisi, membuka jalan bagi seluruh manusia untuk sampai kepada wilâyah-Nya "Sesungguhnya para wali Allah tiada ketakutan pada diri mereka juga tiada kesedihan." Dari sisi lainnya, Allah Swt memperkenalkan para walinya dengan indah.
Dengan memperhatikan dua matlab ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa para Imam Maksum As berkat pembinaan dan penggemblengan pelbagai potensi, meraih pengetahuan dan makrifat yang tinggi dan sampai kepada iman dan yakin yang lebih tinggi mereka memasuki wilâyah Ilahi dimana hasil penuh berkahnya adalah ifadah Allah Swt atas wilâyah takwini-Nya kepada orang-orang suci tersebut.
Riwayat hidup para maksum menunjukkan bahwa penghambaan dan pengabdian kepada Tuhan dan hubungan intens dengan Sumber segala keberadaan dalam kehidupan mereka dimana dengan elixir penghambaan Tuhan ini, mereka melakukan pelbagai aktifitas kimiawi dan memberikan detak pada ruh kehidupan dalam kerangka sistem semesta sebagaiman yang disebutkan dalam sebuah hadis "Dengan perantara kalian sehingga langit tidak runtuh ke bumi."[2]
Dinukil dari Imam Mujtaba As yang bersabda: "Barangsiapa yang menyembah Allah Swt maka Allah akan jadikan segala sesuatu menjadi hambanya dan berada di bawah kendalinya."[3]
Dalam hadis qudsi disebutkan bahwa Allah Swt bersabda: "Hambaku taatilah Aku sehingga Aku menjadikanmu seperti-Ku."[4]
"Wahai Bani Adam Aku mahakaya tidak akan miskin. Taatilah atas apa yang Aku perintahkan kepadamu sehingga Aku jadikan engkau kaya tidak akan miskin. Wahai Bani Adam! Aku (maha) hidup tiada akan mati. Taatilah atas apa yang Aku serukan kepadamu sehingga Aku jadikan engkau hidup tiada akan mati. Wahai Bani Adam! Aku berkata jadilah maka jadilah (kun fayakun) pada sesuatu, taatilah atas apa yang Aku perintahkan kepadamu, sehingga Aku jadikan engkau berkata kepada sesuatu jadilah maka jadilah (kun fayakun)."[5]
Di samping riwayat ini, terdapat banyak riwayat dan hadis yang terkenal, qurb nawafil yang disebutkan dalam kitab Ushul Kafi, dijelaskan secara umum rumusan bagaimana para maksum sampai keapda wilâyah takwini. Berkat wujud mereka seluruh entitas memakan rezekinya, langit tetap tegak dan bumi tetap terhampar.[6]
Kesimpulannya: Para maksum dalam mencari wilâyah takwini Allah Swt mampu mengendalikan seluruh eksiten, entitas dan sistem alam semesta dan seluruhnya berkhidmat kepada mereka sehingga kita tidak mampu menghitung segala mukjizat dan akfitas ektsraordinari mereka. Semua ini merupakan penegas atas realitas yang tidak dapat diingkari ini.[]
[1]. Wilâyat Faqih, Abdullah Jawadi Amuli, hal. 122, 123, dan 129.
[2]. Ziarah Jame'e.
[3]. Tafsir 'Askari, jil. 1, hal. 327.
[4]. Asrâr al-Shalat, hal. 4 (mukaddimah). Syarh-e Doa Sibah, Khui, jil. 1, hal. 11, mukaddimah musahhih.
[5]. Bihâr al-Anwâr, jil. 90, hal. 376, bab 24, 'Illah al-Ibtha' fi al-Ijâbah…; Irsyâd al-Qulûb, jil. 1, hal. 75, al-Bab al-Tsâmin 'Asyar, Wishaya wa Hukum Balighah.. Iddat al-Da'i, hal. 310.
[6]. Mafâtih al-Jinân, hal. 85, Dua 'Adilah, hal. 84.