Please Wait
Hits
10741
10741
Tanggal Dimuat:
2007/10/09
Ringkasan Pertanyaan
Apa hukumnya mendengar musik dalam pandangan Islam?
Pertanyaan
Apakah dibolehkan dalam Islam melihat (pagelaran) atau mendengar musik?
Jawaban Global
Musik adalah sejenis suara dan melihatnya (tanpa mendengar) tidak mengandung status hukum. Status hukum musik berkaitan dengan adanya produksi, pembuatan, jual-beli alat musik, belajar musik, berdendang dan mendengarkan secara seksama (istimâ) dimana kebanyakan fukaha memfatwakan haram memproduksi dan mendengarkan musik lahw (yang melalaikan). Namun demikian, fukaha berpandangan bahwa seluruh jenis musik tidak termasuk dalam hukum ini; karena itu tidak dapat disebutkan segala jenis musik itu secara mutlak haram.[i]
Jawaban Detil
Musik atau musiqiya merupakan kata yang berasal dari bahasa Yunani yang sepadan dengan kata “ghina.” Namun dalam ruang lingkup pemahaman agama dan terma fikih, kedua kata ini berbeda antara satu dengan yang lain. Ghinâ dalam terma syariat bermakna nyanyian yang keluar dari pangkal tenggorokan manusia dan berputar di leher (cha-cha) yang menciptakan kondisi riang dan bahagia bagi yang mendengarkan. Ghinâ (nyanyian) ini biasanya diperdengarkan pada acara-acara pesta pora dan hura-hura.” Adpaun musik disebut sebagai suara yang muncul dari alat-alat musik.” Atas dasar itu, hubungan dan kaitan logika antara musik dan nyanyian (ghina) secara fikih (yuriprudensial) adalah hubungan umum dan khusus mutlak (complete inclusion).[1]
Melihat alunan musik (tanpa mendengar) tidak mengandung status hukum. Status hukumnya berkaitan dengan produksi, pembuatan, jual-beli alat musik, belajar musik, berdendang dan mendengarkan secara seksama (istima). Adapun hukum mendengarkan jenis musik yang difatwakan oleh marja taklid adalah sebagai berikut:
Ayatullah Agung Khamenei (Mudda Zhilluhu al-‘Ali):
Segala jenis musik mutrib (melenakan) dan lahw (melalaikan) yang biasanya digunakan pada acara-acara hura-hura itu adalah haram.
Ayatullah Agung Shafi Gulpaigani (Mudda Zhilluhu al-‘Ali):
Apa yang dianggap oleh urf (masyarakat) sebagai musik maka mendengarkan, membuat, mengajarkan, jual dan beli alat-alatnya itu haram.
Ayatullah Agung Makarim Syirazi (Mudda Zhilluhu al-‘Ali):
Seluruh suara dan nyanyian yang biasanya digunakan pada acara-acara hura-hura dan lalai haram hukumnya dan selain dari itu halal. Untuk mengidentifikasi (apakah suara dan lagu itu biasa digunakan pada acara hura-hura) adalah dengan merujuk kepada ahli yang terdapat di dalam masyarakat.
Ayatullah Agung Siistani (Mudda Zhilluhu al-‘Ali):
Tidak diharamkan apabila tidak sesuai dengan acara-acara hura-hura dan pesta pora.[2]
Ayatullah Agung Fadhil Langkarani Rah:
Musik apabila bersifat mutrib (melenakan), sensasional (muhayyij) dan biasanya diperdengarkan pada acara-acara pesta pora dan permainan maka hukumnya adalah haram dan tidak ada halangan selain dalam kondisi seperti ini. Adapun sentral penyebarannya tidak berpengaruh dalam hukum (haram ini).
Ayatullah Agung Bahjat Rah:
Apabila musiknya adalah musik mutrib (melenakan) maka haram hukumnya mendengarkan, jual dan beli musik tersebut.
Ayatullah Agung Tabrizi Rah:
Tidak dibenarkan mendengarkan musik lalai yang biasanya digunakan pada acara-acara hura-hura demikian juga membuat musik, mengajarkan dan jual-beli alat-alat musik lahwi (yang melalaikan dan tidak bermakna) tidak dibenarkan.
Karena itu, mendengarkan musik-musik yang mutrib dan biasanya digunakan pada acara-acara hura-hura dan pesta pora itu haram.
Adapun untuk mengidentifikasi subyek dan hal-hal yang termasuk dalam hukum haram ini, misalnya apakah jenis musik tertentu seperti pop merupakan salah satu contoh musik yang diharamkan atau dibolehkan sepenuhnya berada dalam tanggungan mukallaf. Karena orang-orang dengan mengenal sedikit tentang musik, dapat mengidentifikasi musik yang mana saja yang termasuk musik mutrib dan biasa digunakan pada acara-acara hura-hura dan pesta pora.[3]
Karena itu, apabila alunan-alunan musik revolusi dan perang itu termasuk sebagai musik mutrib dan sesuai dengan acara-acara hura-hura dan pesta pora maka mendengarkan musik revolusi dan perang itu juga haram hukumnya.
Musik pop juga tidak terkecualikan dalam hal ini dan apabila mengandung unsur melenakan, melalaikan dan tidak bemakna permainan maka hukumnya haram dan tidak dibenarkan mendengarkan musik tersebut.[4]
Bagaimanapun, jawaban Ayatullah Mahdi Hadawi Tehrani terkait dengan pertanyaan di atas adalah sebagai berikut:
Ghinâ itu haram. Ghinâ adalah adalah sebuah nyanyian yang mengeluarkan manusia dari kondisi normal dan membangkitkan syahwat seksual dalam dirinya. Nyanyian ini biasanya digunakan (diperdengarkan) pada acara-acara pesta pora dan hura-hura. Apabila sebuah melodi (alunan musik) yang mengeluarkan manusia dari kondisi normal dan membangkitkan syahwatnya, bahkan apabila tidak mengandung suara sekali pun, maka tetap hukumnya haram. Apabila suara-suara atau musik-musik yang tersebar dewasa ini, tidak termasuk sebagai ghina atau lagu haram, maka hukumnya halal dan apabila Anda sangsi bahwa apakah musik ini termasuk sebagai musik halal atau haram, maka dibolehkan untuk mendengarkan musik tersebut. [iQuest]
Link untuk Mengajukan Pertanyaan-pertanyaan Fikih
Untuk telaah lebih jauh kami persilahkan merujuk pada beberapa indeks terkait berikut ini:
Melihat alunan musik (tanpa mendengar) tidak mengandung status hukum. Status hukumnya berkaitan dengan produksi, pembuatan, jual-beli alat musik, belajar musik, berdendang dan mendengarkan secara seksama (istima). Adapun hukum mendengarkan jenis musik yang difatwakan oleh marja taklid adalah sebagai berikut:
Ayatullah Agung Khamenei (Mudda Zhilluhu al-‘Ali):
Segala jenis musik mutrib (melenakan) dan lahw (melalaikan) yang biasanya digunakan pada acara-acara hura-hura itu adalah haram.
Ayatullah Agung Shafi Gulpaigani (Mudda Zhilluhu al-‘Ali):
Apa yang dianggap oleh urf (masyarakat) sebagai musik maka mendengarkan, membuat, mengajarkan, jual dan beli alat-alatnya itu haram.
Ayatullah Agung Makarim Syirazi (Mudda Zhilluhu al-‘Ali):
Seluruh suara dan nyanyian yang biasanya digunakan pada acara-acara hura-hura dan lalai haram hukumnya dan selain dari itu halal. Untuk mengidentifikasi (apakah suara dan lagu itu biasa digunakan pada acara hura-hura) adalah dengan merujuk kepada ahli yang terdapat di dalam masyarakat.
Ayatullah Agung Siistani (Mudda Zhilluhu al-‘Ali):
Tidak diharamkan apabila tidak sesuai dengan acara-acara hura-hura dan pesta pora.[2]
Ayatullah Agung Fadhil Langkarani Rah:
Musik apabila bersifat mutrib (melenakan), sensasional (muhayyij) dan biasanya diperdengarkan pada acara-acara pesta pora dan permainan maka hukumnya adalah haram dan tidak ada halangan selain dalam kondisi seperti ini. Adapun sentral penyebarannya tidak berpengaruh dalam hukum (haram ini).
Ayatullah Agung Bahjat Rah:
Apabila musiknya adalah musik mutrib (melenakan) maka haram hukumnya mendengarkan, jual dan beli musik tersebut.
Ayatullah Agung Tabrizi Rah:
Tidak dibenarkan mendengarkan musik lalai yang biasanya digunakan pada acara-acara hura-hura demikian juga membuat musik, mengajarkan dan jual-beli alat-alat musik lahwi (yang melalaikan dan tidak bermakna) tidak dibenarkan.
Karena itu, mendengarkan musik-musik yang mutrib dan biasanya digunakan pada acara-acara hura-hura dan pesta pora itu haram.
Adapun untuk mengidentifikasi subyek dan hal-hal yang termasuk dalam hukum haram ini, misalnya apakah jenis musik tertentu seperti pop merupakan salah satu contoh musik yang diharamkan atau dibolehkan sepenuhnya berada dalam tanggungan mukallaf. Karena orang-orang dengan mengenal sedikit tentang musik, dapat mengidentifikasi musik yang mana saja yang termasuk musik mutrib dan biasa digunakan pada acara-acara hura-hura dan pesta pora.[3]
Karena itu, apabila alunan-alunan musik revolusi dan perang itu termasuk sebagai musik mutrib dan sesuai dengan acara-acara hura-hura dan pesta pora maka mendengarkan musik revolusi dan perang itu juga haram hukumnya.
Musik pop juga tidak terkecualikan dalam hal ini dan apabila mengandung unsur melenakan, melalaikan dan tidak bemakna permainan maka hukumnya haram dan tidak dibenarkan mendengarkan musik tersebut.[4]
Bagaimanapun, jawaban Ayatullah Mahdi Hadawi Tehrani terkait dengan pertanyaan di atas adalah sebagai berikut:
Ghinâ itu haram. Ghinâ adalah adalah sebuah nyanyian yang mengeluarkan manusia dari kondisi normal dan membangkitkan syahwat seksual dalam dirinya. Nyanyian ini biasanya digunakan (diperdengarkan) pada acara-acara pesta pora dan hura-hura. Apabila sebuah melodi (alunan musik) yang mengeluarkan manusia dari kondisi normal dan membangkitkan syahwatnya, bahkan apabila tidak mengandung suara sekali pun, maka tetap hukumnya haram. Apabila suara-suara atau musik-musik yang tersebar dewasa ini, tidak termasuk sebagai ghina atau lagu haram, maka hukumnya halal dan apabila Anda sangsi bahwa apakah musik ini termasuk sebagai musik halal atau haram, maka dibolehkan untuk mendengarkan musik tersebut. [iQuest]
Link untuk Mengajukan Pertanyaan-pertanyaan Fikih
Untuk telaah lebih jauh kami persilahkan merujuk pada beberapa indeks terkait berikut ini:
- Indeks: Dalil-dalil Keharaman dan Kehalalan Musik, Pertanyaan 388 (Site: 401).
- Indeks: Cara Mengidentifikasi Musik Halal dan Musik Haram, Pertanyaan 499 (Site: 540).
- Indeks: Fitrah dan Keharaman Musik, Pertanyaan 1078 (Site: 1256).
- Indeks: Dalil-dalil Keharaman Musik, Pertanyaan 932 (Site: 1004)
[1]. Sayid Mujtab Husaini, Pursesy-hâ wa Pâsukh-haye Dânesyjui, hal. 169; Imam Khomeini Rah, al-Makâsib al-Muharramah, jil. 1, hal-hal. 198-224; Ali Husaini, al-Musiqi, hal. 16 & 17; Tabrizi, Istiftâ’ât, Pertanyaan 10, 46, 47 & 48; Fadhil Langkarani, Jâmi’ al-Masâil, jil. 1, Pertanyaan 974, 978 dan 979. Diadaptasi dari Pertanyaan 388 (Site: 401).
[2] . Masâil Jadid az Didgâh ‘Ulamâ wa Marâji’ Taqlid, Sayid Muhsin Mahmudi, jil. 1, hal. 53 & 54.
[3]. Untuk telaah lebih jauh terkait dengan Dalil-dalil Keharaman Musik Lahwi dan Filosofinya, silahkan lihat, indeks: Dalil-dalil Keharaman Musik Lahwi dalam Islam.
[4]. Diadaptasi dari Pertanyaan 499 (Site: 540).
Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar