Please Wait
11322
Tafsir Imam Hasan Askari As adalah sebuah tafsir yang disandarkan kepada beliau. Sebagian ulama berpandangan bahwa penyandaran ini tidak bersifat definitif. Dalam kitab tafsir ini, surah-surah al-Fatiha dan al-Baqarah hingga ayat 282 ditafsirkan dalam bentuk riwayat. Tafsir model seperti ini disebut sebagai tafsir ma’tsur dalam terminologi Ulum al-Qur’an (Studi-studi al-Qur’an).
Bagaimanapun, Imam Askari As dalam penafsiran “alhamdulillâhi Rabbil ‘âlamin” menyinggung beberapa masalah misalnya pujian kepada Allah Swt atas segala karunia yang tidak terhingga, pertolongan terhadap makhluk-makhluk, keutamaan dan keunggulan Syiah buah buah dari penerimaan wilayah dan imamah Imam Ali bin Abi Thalib. Imam Askari As bersabda, atas segala karunia dan nikmat ini kita harus bersyukur kepada Allah Swt dan berkata, “alhamdulillâhi Rabbil ‘âlamin.”
Tafsir Imam Hasan Askari As adalah sebuah tafsir yang disandarkan kepada beliau. Sebagian ulama berpandangan bahwa penyandaran ini tidak bersifat definitif.[1] Dalam kitab tafsir ini, surah-surah al-Fatiha dan al-Baqarah hingga ayat 282 ditafsirkan dalam bentuk riwayat. Tafsir model seperti ini disebut sebagai tafsir ma’tsur dalam terminologi Ulum al-Qur’an (Studi-studi al-Qur’an).[2]
Bagaimanapun, Imam Askari As dalam penafsiran “alhamdulillahi Rabbil ‘âlamin” adalah sebagai berikut:
“Alhamdulillâh” artinya bahwa Allah Swt, yang menganugerahkan sebagian karunia dan nikmat kepada para hamba-Nya, memperkenalkan sebagian nikmat tersebut secara global; karena itu para hamba tidak mampu mengenal seluruh nikmat tersebut secara rinci; karena nikmat-nikmat-Nya lebih dari apa yang dapat dihitung dan dikenal! Dengan demikian Allah Swt berfirman kepada mereka, katakanlah, “alhamdulillâh.”[3]
Sebagai kelanjutannya, Imam Hasan Askari As, dalam menafsirkan dan menjelaskan kalimat Rabbil ‘âlamin, menyinggung beberapa masalah sebagaimana berikut ini:
1. Tuhan semesta alam, menganugerahkan rezeki kepada seluruh makhluk dan memelihara, menguasai, mengatur mereka berdasarkan kemaslahatan. Allah Swt pada hakikatnya adalah Mahapemurah dan Mahapengasih.[4]
2. Rezeki seluruh makhluk telah diketahui dan dibagi. Anak-anak Adam, apa pun perbuatan yang mereka ingin lakukan, dengan cara apa pun, bagaimana pun kondisinya, rezeki akan sampai kepadanya. Meski terdapat tirai dan halangan antara anak Adam dan rezekinya; namun rezeki mencari dan menginginkan dirinya, sedemikian sehingga apabila seseorang berhenti mencari rezekinya, maka rezekinya akan mencarinya; sebagaimana kematian mencari dirinya.[5]
3. Orang-orang Syiah, menyampaikan ucapan syukur atas keutamaan dan keunggulan yang dianugerahkan Allah Swt kepada mereka.[6] Dalam kondisi ini, Allah Swt berfirman kepada Nabi Musa As mencirikan keutamaan dan keunggulan Nabi Muhammad Saw atas nabi-nabi lainnya dan demikian juga umat Muhammad Saw atas umat-umat lainnya dan tatkala menyeru umat Muhammad Saw, Allah Swt berfirman, “Wahai umat Muhammad! Yakinlah, qadha (dan qadar)-Ku atas kalian berlaku demikian bahwa rahmat-Ku mendahului murka-Ku. Maaf-Ku mendahului hukuman-Ku! Karena itu, sebelum engkau menyeru-Ku, Aku telah menerima doa kalian dan sebelum kalian menginginkan sesuatu dari-Ku, Aku telah berikan kepada kalian. Apabila salah seorang dari kalian bersaksi “Lailaha illaLlah wahdahu la syarika lahu wa anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluhu” datang kepada-Ku, sementara ia jujur dalam ucapannya dan mengamalkan apa yang diucapkannya dan memberi kesaksian bahwa Ali bin Abi Thalib As adalah saudara dan washi selepas Muhammad Saw dan wali-nya,[7] mematuhinya sebagaimana mematuhi dan menaati Muhammad, dan memberikan kesaksian bahwa para walinya –orang-orang suci dan terpilih pada masanya – penjelas segala keajaiban tanda-tanda kebenaran dan dalil-dalil hujjah-hujjah Ilahi dan setelah Allah Swt dan Rasul-Nya, para wali Allah, maka Aku akan memasukkanya ke dalam surga-Ku.[8]
4. Karena itu, Imam Askari As bersabda, atas segala karunia dan nikmat ini kita harus bersyukur kepada Allah Swt dan berkata, “alhamdulillahi Rabbil ‘âlamin.”[9] [iQuest]
[1]. Untuk telaah lebih jauh tentang pembahasan sanad kitab tafsir ini, silahkan lihat, Husain Alawi Mehr, Âsynâi bâ Târikh Tafsir wa Mufassirân, hal. 189-191, Nasyr Markaz Jahani ‘Ulum-e Islami, Qum, Cetakan Pertama, 1384 H.
[2]. Silahkan lihat, Sayid Ridha Mua’ddab, Rawesy-hâ Tafsir Qur’ân, hal. 167-169, Nasyr Isyraq, Qum, Cetakan Pertama, 1380 S.
[3]. Al-Tafsir al-Mansub ila al-Imâm al-Hasan al-‘Askari As, hal. 30, Nasyr Madrasah Imam Mahdi Ajf, Qum, Cetakan Pertama, 1409 H.
[4]. Ibid.
[5]. Ibid, hal. 31.
[6]. Ibid.
[7]. Kata ganti waliyyihi dalam redaksi kalimat, “man laqini minkum bisyahadati…anna ‘aliyyan bin Abi Thalib akhuhu wa washiyyuhu min ba’dihi wa waliyyuhu” kembali pada man bukan kembali pada Muhammad; karena itu maknanya demikian, “Imam Ali As adalah wali seseorang yang menyaksikan tentang persaudaraan dan ke-washi-an beliau pasca Rasulullah Saw.”
[8]. Ibid, hal. 33.
[9]. Ibid.