Please Wait
11116
Benar, memang demikianlah makna penciptaan dari ketiadaan; karena ketiadaan bukanlah sesuatu hingga Tuhan menciptakannya. Dalam sebagian riwayat juga disebutkan bahwa kudrat mutlak Tuhan, disertai dengan kesatuan dan sifat-sifat Ilahi lainnya dan keluar dari batasan ilmu manusia, ketika menciptakan seluruh makhluk dari ketiadaan sejatinya makhluk-makhluk ini merupakan cermin dan refleksi kekuasaan (kudrat) mutlak Ilahi.
Terminologi refleksi (in’ikas)[1] dalam riwayat disebutkan dengan kalimat teralisirnya sifat (wuqu’ shifat):
“Allah Swt semenjak azal adalah Tuhan kita dan ilmu adalah zat-Nya sementara tiada sesuatu pun yang diketahui dan mendengar adalah zat-Nya sementara tiada sesuatu apa pun yang terdengar, dan melihat adalah zat-Nya sementara tiada sesuatu apa pun yang terlihat, kudrat adalah zat-Nya sementara tiada sesuatu apa pun yang memiliki kudrat dan tatkala Dia menciptakan segala sesuatu maka segala sesuatu itu pun menjadi diketahui; ilmu dari-Nya mewujud pada maklum, pendengaran pada yang terdengar, penglihatan pada yang terlihat, kudrat pada yang dikuasai.”[2]
Artinya Allah Swt adalah mutlak dan tiada perbedaan pada zat-Nya dengan sifat. Allah Swt tidak dapat dikenal bagi kita melalui perantara zat. Namun setelah penciptaan makhluk-makhluk dari ketiadaan, kemudian makhluk-makhluk-Nya ini, menjadi tanda-tanda-Nya, reflektor dan manifestasi-Nya sehingga Tuhan dikenali dengan ciptaan-ciptaan-Nya. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadis Qudsi firman Allah Swt yang menyatakan, “Kuntu kanzan makhfiyan fa ahbabtu an u’raf fakhalaqtu al-khalqa likai u’raf.” Aku adalah khazanah tersembunyi kemudian Aku ingin supaya dikenal lalu Aku ciptakan makhluk supaya Aku dikenal.”[3] [iQuest]
Pertanyaan ini Tidak Memiliki Jawaban Detil
[1]. In’ikâs adalah manifestasi dalam terminologi-terminologi Irfan.
[2]. Kulaini, al-Kâfi, jil. 1, hal. 107, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365 S.
[2] «عَنْ أَبِی بَصِیرٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ع یَقُولُ لَمْ یَزَلِ اللَّهُ عَزَّ وَ جَلَّ رَبَّنَا وَ الْعِلْمُ ذَاتُهُ وَ لَا مَعْلُومَ وَ السَّمْعُ ذَاتُهُ وَ لَا مَسْمُوعَ وَ الْبَصَرُ ذَاتُهُ وَ لَا مُبْصَرَ وَ الْقُدْرَةُ ذَاتُهُ وَ لَا مَقْدُورَ فَلَمَّا أَحْدَثَ الْأَشْیَاءَ وَ کَانَ الْمَعْلُومُ وَقَعَ الْعِلْمُ مِنْهُ عَلَى الْمَعْلُومِ وَ السَّمْعُ عَلَى الْمَسْمُوعِ وَ الْبَصَرُ عَلَى الْمُبْصَرِ وَ الْقُدْرَةُ عَلَى الْمَقْدُورِ»
[3]. Qadhi Nurullah Susytari, Ihqâq al-Haq, jil. 1, hal. 431, Maktabat Ayatullah al-Mar’asyi, Qum, 1409 H.