Please Wait
21121
Al-Quran adalah mukjizat abadi Nabi Muhammad Saw yang dari aspek ini bersifat adikodrati yang tidak dapat dibandingkan dengan kitab-kitab yang lain. Hal ini berarti bahwa walaupun al-Quran itu sendiri adalah jelas dan penjelas segala sesuatu dan hadir dalam bentuk kata-kata dan ungkapan-ungkapan sederhana, sarat makna, selaras, fasih, dan penuh keindahan, namun di samping itu, al-Qur’an juga berfungsi sebagai penjelas makrifat-makrifat dan hakikat-hakikat yang berada di luar jangkauan indra lahiriah dan pemahaman umum manusia.
Sekalipun kata-kata dan kalimat-kalimatnya sederhana, selaras, seirama, dan bisa dipahami secara lahiriah, namun sangatlah berat dan sulit untuk bisa memahami hakikat terdalam makrifatnya dan menetapkan hukum-hukum fikihnya.
Dengan demikian, walaupun al-Quran itu jelas dan menjelaskan, ia tetap membutuhkan suatu metodologi pemahaman dan penghayatan untuk bisa dikatakan bahwa kita benar-benar mengetahui dan mengamalkan al-Quran secara komprehensif.
Aspek lahiriah al-Quran dapat dipahami oleh semua orang; karena - cukup dengan bantuan penguasaan tata bahasa Arab secara sempurna - tidak menggunakan kata-kata yang rumit dan asing serta jauh dari penggunaan dialek-dialek yang aneh, bahkan dengan dialek apapun yang digunakan dalam membacanya bisa dipahami dan mengandung makna.
Di samping itu, al-Quran tidak menggunakan istilah-istilah khusus berbagai disiplin pengetahuan, karena itu untuk memahami makna lahiriahnya tidak diperlukan spesialisasi dalam ilmu dan pengetahuan tertentu.
Namun, bagi seseorang yang ingin mengetahui dan memahami al-Quran secara lahiriah semestinya mampu memilah dan memilih mana ayat-ayatnya yang mutlak dan bersyarat (muqayyad), khusus (khâs) dan umum (‘am), yang menganulir (nâsikh) dan yang dianulir (mansukh), muhkamât (maknanya jelas) dan mutasyabihât (maknanya beragam dan tidak jelas), lahir dan batin, dan lain sebagainya, diletakkan dan dikaitkan secara tepat dengan ayat-ayat yang lain niscaya siapa saja akan mampu mengungkap makna perkara-perkara secara jelas dan tidak tersisa keraguan lagi di dalamnya. Dari dimensi inilah al-Quran memerlukan penafsir dan penjelas seperti Rasulullah saw dan para Imam-imam Ahlulbait As.
Berdasarkan hal itu, dikarenakan adanya jarak zaman dengan para Imam Ahlulbait As, para ulama berupaya mengumpulkan hadis-hadis tertentu yang terkait dengan penafsiran ayat-ayat al-Quran yang kemudian diletakkannya secara tematis di bawah ayat-ayat yang bersangkutan supaya para pembaca al-Quran di semua lapisan masyarakat pada setiap zaman dapat memanfaatkan dan mengamalkannya.
Di samping al-Quran memiliki makna-makna lahiriah, ia juga mempunyai beragam makna-makna batin yang bertingkat-tingkat, namun poin ini mesti diperhatikan bahwa yang mengetahui secara pasti makna-makna batin itu adalah Rasulullah saw dan para Imam Ahlulbait As.
Berdasarkan hal ini bisa dikatakan bahwa memahami al-Quran diperlukan dua alat sebagai berikut:
- Alat lahiriah: seperti tata bahasa Arab dan makna-maknanya, sejarah Islam, sebab turunnya ayat-ayat, hadis-hadis yang terkait dengan penafsiran ayat-ayat al-Quran, mengenal ayat-ayat yang umum dan khusus, yang mutlak dan bersyarat, dan ayat yang menganuir dan dianulir;
- Alat batiniah: seperti keikhlasan, kesucian jiwa, dan pencerahan batin yang merupakan hasil dari ketakwaan Ilahi, tidak jahil dan lupa, tidak memiliki kekotoran hati, tidak sombong, tidak angkuh, dan tidak egois.
Salah satu rukun agama Islam adalah kepamungkasan kenabian Muhammad saw dan keabadian syariat Islam, dengan demikian secara tidak langsung, al-Quran pun merupakan mukjizat abadi Rasulullah Saw yang senantiasa bersama dengan manusia-manusia hingga hari kiamat dan menjadi sumber segenap pengetahuan dan hukum bagi manusia serta hujjah bagi seluruh umat manusia.[1]
Oleh karena itu, setelah pengutusan Rasulullah Saw dan penurunan al-Quran, tertutuplah jalan bagi para pencari alasan untuk lari dari kewajiban dan tanggung jawab serta tidak ada lagi yang bisa mengklaim bahwa tidak ada jalan untuk mendapatkan hidayah-hidaya Ilahi. Dengan demikian, tak seorangpun memiliki alasan dan halangan untuk tidak menerima agama Islam.
Dari satu sisi, mukjizat Ilahi ini diperkenalkan sebagai cahaya,[2] yang jelas (mubin),[3] penjelas (tibyân),[4] dalil (burhân), dan juga ditegaskan bahwa ia bisa dipahami, pemberi nasehat dan petunjuk, dan berpengaruh pada jiwa.[5] Dari sisi lain, al-Quran senantiasa mengajak para pembacanya untuk bertadabbur dan berkontemplasi terhadap ayat-ayat al-Quran dan memandang buruk orang yang tidak bertafakkur atasnya.[6]
Al-Quran membagi ayat-ayatnya menjadi yang jelas (muhkamât) dan yang memiliki beragam makna (mutasyabihât), lantas bagaimana menggabungkan dua jenis ayat al-Quran ini.
Al-Quran al-Karim adalah cahaya karena bersumber dari Pemilik cahaya langit dan bumi,[7] dengan demikian, mencahayai dan menyinari selain dirinya sendiri. Ia juga ‘yang jelas’ (mubin), karena itu berada dalam ufuk pandangan semua orang. Al-Quran adalah penjelas (tibyân) yang menampakkan dan mengungkap selain dirinya sendiri, karena inilah ia juga disebut sebagai dalil (burhan) yang menyirnakan segenap keraguan dan meniadakan alasan-alasan untuk tidak berpegang kepada al-Quran, karena mengantarkan para pembacanya pada suatu keyakinan yang kuat dan memaparkan argumen-argumen yang jelas sesuai dengan fitrah manusia.[8]
Pemahaman Umum Al-Quran
Dimensi lahiriah al-Quran bisa dipahami dan dimengerti oleh semua orang, karena - cukup dengan bantuan penguasaan tata bahasa Arab secara sempurna - tidak menggunakan kata-kata yang rumit dan asing serta jauh dari penggunaan dialek-dialek yang aneh, bahkan dengan dialek apapun yang digunakan dalam membacanya bisa dipahami dan memilik makna. Disamping itu, al-Quran tidak menggunakan istilah-istilah khusus berbagai disiplin pengetahuan, karena itu untuk memahami makna lahiriahnya tidak diperlukan spesialisasi dalam ilmu dan pengetahuan tertentu.
Al-Quran merupakan pemberi petunjuk bagi manusia dari zaman diturunkannya hingga kini dan hari kiamat. Ia mengantarkan manusia hingga ke puncak kemanusiaan dan kebahagiaan. Ia memberikan kepada manusia pengetahuan-pengetahuan yang benar dan menunjukkan perbuatan-perbuatan yang shaleh yang dengannya jiwa manusia menjadi sempurna dan menjauhkannya dari kehinaan duniawi serta mengantarkannya kepada alam suci-malakuti.
Pengetahuan dan amal shaleh yang diberikan oleh al-Quran kepada manusia yang tenggelam dalam syahwat, kecenderungan hewani, dan terjebak dalam kehidupan duniawi yang sempit adalah suatu pengetahuan yang menyeimbangkan kecenderungan-kencenderungan alami manusia dan mengarahkannya kepada dimensi-dimensi yang sesuai dengan kebutuhan hakiki jiwa dan tujuan penciptaannya. Tawaran al-Quran ini berkonsekuensi pada peniadaan fanatisme dan penyirnaan kebiasaan-kebiasaan yang berlebihan di dalam pelampiasan syahwat. Namun, perkara ini sebenarnya tidak lain adalah suatu usaha yang lazim dinamakan sebagai ‘jihad akbar’ (jihad terbesar) yang mengajak manusia untuk mengurangi syahwat dan kecenderungan alaminya yang berlebihan dan mengantarkannya kepada cahaya dan pencerahan Ilahi.
Pemahaman Khusus Al-Quran
Walaupun al-Quran tidak menggunakan istilah-istilah ilmiah Arab yang rumit, namun dengan keadaan seperti ini ia bersifat abadi, lestari, dan dapat dipahami oleh seluruh manusia pada setiap zaman. Pada saat yang sama ia mengandung nilai-nilai yang bersifat supranatural dan noninderawi. Kandungannya ini termanifestasikan dalam kata-kata yang bersifat inderawi yang muncul dalam bentuk-bentuk seperti analogi-analogi, potongan-potongan fakta sejarah, dialog, debat positif, nasehat, wejangan, ancaman, peringatan, argumen, dan dalil ilmiah yang tersebar di dalam selurh ayat al-Quran.
Dengan ungkapan lain, al-Quran yang berbahasa Arab diturunkan sebagai petunjuk dan pemberi hidayah secara sempurna dan komprehensif untuk segenap manusia. Untuk sampai kepada tujuan ini, al-Quran mesti mencakup dan meliputi ayat-ayat yang umum dan khusus, mutlak dan bersyarat, ayat yang menganulir (nâsikh) dan yang dianulir (mansukh), yang jelas (muhkamât) dan bermakna beragam dan kabur (mutasyabihât), yang lahir dan batin. Hal ini tidak seperti mencanangkan suatu program sementara untuk menguatkan keimanan dan meniti jalan hidayah kemudian setelah itu menetapkan suatu program akhir pengganti program sementara itu.
Berdasarkan hal ini, untuk memahami al-Quran, disamping menguasai tata bahasa Arab juga mesti mendalami sejarah Islam, sebab turunnya ayat-ayat, hadis-hadis yang terkait interpretasi al-Quran, mengenal ayat-ayat yang umum dan khusus, yang mutlak dan bersyarat, ayat penghapus (nasikh) dan terhapuskan (mansukh), yang jelas (muhkamât) dan bermakna beragam dan kabur (mutasyabihah), dan yang lahir dan batin.
Dengan demikian, untuk mengetahui al-Quran, ayat-ayat yang mutlak dan bersyarat, yang khusus dan umum, yang menghapus (nasikh) dan terhapus (mansukh), yang muhkamât (maknanya jelas) dan mutasyabihât (maknanya beragam dan tidak jelas), yang lahir dan batin,[9] dan ... diletakkan dan dikaitkan secara tepat dengan ayat-ayat yang lain niscaya akan mampu mengungkap makna perkara-perkara secara jelas dan tidak menyisakan keraguan lagi di dalamnya.
Dari dimensi inilah al-Quran memerlukan penafsir dan penjelas seperti Rasulullah saw dan para Imam Ahlulbait As. Berdasarkan hal ini, dikarenakan adanya jarak zaman dengan para Imam Ahlulbait As, para ulama berupaya mengumpulkan hadis-hadis tertentu yang terkait dengan penafsiran ayat-ayat al-Quran yang kemudian diletakkannya secara tematis di bawah ayat-ayat yang bersangkutan supaya para pembaca al-Quran di semua lapisan masyarakat pada setiap zaman dapat memanfaatkan dan mengamalkannya. Para penafsir dan penjelas pertama al-Quran yang ditegaskan oleh al-Quran itu sendiri adalah Rasulullah Saw dan para Imam Ahlulbait setelahnya.
Imam Ali As bersabda, “Ini adalah kitab Ilahi yang dengan perantaraannya akan menghasilkan bashirah (ketercerahan batin dan kearifan), diungkapkan dalam bahasa dan diperdengarkan, sebagian darinya mengartikan dan memaknakan sebagian yang lain, fasih dan komunikatif, dan sebagian darinya menjadi saksi atas sebagian yang lain.”[10] Sirah para Imam Ahlulbait As juga seperti ini yang mengaitkan dan merangkaikan satu sama lain ayat-ayat akan menghasilkan suatu hukum dan pemahaman tertentu. Sirah inipun dipaparkan dan dijelaskan kepada para sahabat-sahabatnya sendiri.[11]
Dari aspek lain, Allah Swt dalam al-Quran berfirman, “Aku bersumpah dengan tempat beredarnya bintang-bintang, dan sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang besar kalau kamu mengetahui, sesungguhnya (kitab) itu adalah al-Quran yang sangat mulia, yang terdapat dalam kitab yang terpelihara (Lauh Mahfûzh). Tidak dapat menyentuhnya (memahaminya) kecuali hamba-hamba yang disucikan.”[12]
Jadi hamba-hamba yang disucikan dan yang memiliki pengetahuan al-Quran secara sempurna adalah tidak lain para Imam Ahlulbait As. Al-Quran di tempat lain juga menegaskan dan memperkenalkan Rasulullah Saw sebagai penjelas ayat-ayat dan memerintahkan manusia untuk taat dan patuh kepada beliau. Allah Swt befirman, “Apa yang diberikan rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (Qs. Al-Hasyr [59]:7) Dan firman-Nya yang lain, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-(Nya) dan ulil amri (para washi Rasulullah) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Qs. Al-Nisa [4]:59)
Ayat-ayat Muhkamât dan Mutasyabihât
Allah swt berfirman dalam al-Quran, “Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-Quran) kepadamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamât, itulah pokok-pokok isi al-Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihât.” (Qs. Ali Imran [3]:7)
Ayat-ayat al-Quran yang memiliki makna yang dalam atau memiliki beragam makna, pada awalnya memang nampak sulit dan rumit, ayat-ayat mutasyabihât ini merupakan petunjuk untuk menguji orang-orang dan memisahkan para alim ulama yang benar dengan para tukang-tukang fitnah. Karena itu dalam kelanjutan ayat di atas difirmankan, “Adapun orang-orang yang hatinya condong kepada kesesatan, mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihât untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya.”[13] Kemudian dilanjutkan, “Mereka (orang-orang yang benar pemahamannya tentang ayat-ayat muhkamât dan mutasyabihât) berkata, “Kami beriman kepada (semua isi) al-Kitab itu, karena semuanya itu berasal dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal.”[14]
Penjelasannya, ayat-ayat al-Quran memiliki dua bentuk, satu bentuk yang maknanya sangat jelas sehingga tidak menyisakan ruang keraguan dan penyalahgunaan makna. Ayat-ayat seperti ini dinamakan muhkamât. Dan bentuk lainnya adalah ayat-ayat yang memiliki makna yang mendalam, beragam, dan berbicara tentang alam-alam yang secara inderawi tidak dapat dijangkau oleh manusia seperti alam gaib, alam kiamat, dan sifat Tuhan, begitu juga makna akhirnya, rahasia, dan hakikatnya membutuhkan bantuan ilmu-ilmu khusus lainnya. Ayat-ayat seperti ini disebut mutasyabihât.
Segenap ayat-ayat, muhkamât dan mutasyabihât, hanya bisa dipahami dengan bantuan makrifat dan pengetahuan dari ‘orang-orang yang mendalam ilmunya’ (râsikhun fil ‘ilm).
Poin lain yang perlu dikatakan terkait dengan penegasan adanya ayat-ayat mutasyabihât dalam al-Quran dan hadis-hadis dari para Imam Ahlulbait As yang juga mengabarkan tentang keberadaannya, adalah bahwa keberadaan ayat-ayat seperti itu dalam al-Quran membuat manusia sangat memerlukan petunjuk-petunjuk pengetahuan, kaidah-kaidah ilmu, dan beragam bimbingan-bimbingan ilmiah dari Rasulullah Saw, para Imam Ahlulbait As, dan para wali-wali Ilahi. Realitas ini sama seperti sebagian perkara-perkara ilmiah dari buku-buku pelajaran yang penjelasan rinciannya diserahkan kepada para guru yang ahli supaya para murid tidak putus hubungannya dengan mereka dan tetap memerlukan eksistensinya sedemikian sehingga perkembangan pengetahuan-pengetahuannya terilhami dari pikiran-piikiran mereka. Hal ini sebagaimana sabda suci Rasulullah saw, “Aku tinggalkan di tengah-tengah kalian dua pusaka yang sangat berharga, kitab suci Ilahi (al-Quran) dan Ahlulbaitku, dua perkara ini tidak akan terpisah hingga bertemu kembali denganku di hari kiamat.”[15]
Siapa Orang-orang yang Mendalam Ilmunya?
Ungkapan ‘orang-orang yang mendalam ilmunya’ ini yang terdapat di al-Quran al-Majid digunakan sebanyak dua kali. Pertama terdapat di surah Ali Imran ayat 7 yang berbunyi, “Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, “Kami beriman kepada (semua isi) al-Kitab itu, semuanya itu berasal dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal.” Dan kedua di dalam surah An-Nisa’ ayat 162 yang berbunyi, “Tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya di antara mereka dan orang-orang mukmin, mereka beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu (Al-Qur’an), dan apa yang telah diturunkan sebelummu.”
Sebagaimana makna harfiah dari ungkapan tersebut, yang dimaksud adalah orang-orang yang ilmu dan pengetahuannya benar-benar mendalam, mengakar, dan sangat ahli.
Yang pasti bahwa makna dan pengertian ungkapan itu bersifat luas yang mencakup seluruh ulama, cendekiawan, dan intelektual. Namun di antara mereka terdapat yang paling ulung, unggul, dan tercerahkan yang ditempatkan pada posisi dan derajat pertama serta termasuk dalam individu-individu dari kalimat itu. Orang-orang yang dimaksud adalah orang-orang yang ketika ungkapan itu disebut langsung terlintas di dalam benak sebelum yang lain.
Jika kita memperhatikan hadis-hadis maka ‘orang-orang yang mendalam ilmunya’ itu ditafsirkan sebagai Rasulullah Saw dan para Imam Ahlulbait As. Berdasarkan hal inilah kita menyatakan ayat-ayat dan kalimat-kalimat al-Quran bermakna luas yang mencakup orang-orang yang terulung yang terkadang hanya nam-nama merekalah yang disebutkan sebagai orang-orang yang dijamin oleh Tuhan memiliki kedalaman dan kebenaran dalam ilmu dan pengetahuan.
Dalam kitab Ushûl al-Kâfi diriwayatkan dari Imam Shadiq As yang bersabda, “Rasulullah saw adalah orang yang paling tinggi derajat keilmuannya dan beliau mengetahui segala apa yang Allah swt telah turunkan dari takwil dan tafsir al-Quran, Allah swt tidak akan memberitahukan sesuatu kepada beliau yang takwilnya tidak diajarkan kepadanya, dan beliau dan para wali-walinya mengetahui semuanya itu.”[16]
Banyak lagi hadis-hadis yang lain di dalam kitab Ushûl al-Kâfi dan kitab-kitab hadis lainnya yang menegaskan perkara ini. Penulis tafsir Nur al-Tsaqalain dan tafsir al-Burhân telah mengumpulkan hadis-hadis tersebut dan menempatkannya di bawah ayat yang bersangkutan. Sebagaimana dikatakan bahwa penafsiran tentang ‘orang-orang yang mendalam ilmunya’ adalah Rasulullah Saw dan para Imam-imam Ahlulbait as tidak bertolak belakang dengan keluasan makna ungkapan itu. Oleh karena itu, telah dinukil dari Ibnu Abbas Ra yang berkata, “Saya juga termasuk ke dalam golongan orang-orang yang mendalam ilmunya.”
Setiap orang mengetahui rahasia dan takwil ayat-ayat al-Quran sebatas keluasan pengetahuannya dan mereka yang pengetahuannya bersumber dari Tuhan Yang Maha Mengetahui pastilah memahami segenap rahasia dan takwil al-Quran, sementara yang lain hanya mengerti sebagian dari rahasia-rahasia tersebut. Dari aspek inilah, Rasulullah Saw, Ahlulbait As, dan al-Quran ditempatkan sebagai mizan bagi yang lain hingga hari kiamat, dan mereka ini tidak akan berpisah satu sama lain dan hanya berpegang kepada salah satu dari mereka tidaklah mencukupkan bagi kita.[17] Dengan demikian, disamping kita merujuk kepada al-Quran juga harus berpegang kepada sunnah Rasulullah Saw dan Ahlulbait As.
Berpijak pada hal tersebut mesti dilihat apa-apa yang dibutuhkan dan penghalang-penghalang di jalan ini. Berdasarkan apa yang dikatakan bisa disimpulkan bahwa merujuk dan berpegang kepada al-Quran dan sunnah membutuhkan dua alat dan kondisi:
- Memiliki jiwa yang bersih dan suci serta memiliki semangat mencari kebenaran dan hakikat sehingga dengan kesucian yang relatif itu dapat mengantarkan dan mengusap hakikat terdalam al-Quran, karena hanya orang-orang yang seperti inilah yang dapat mengambil pelajaran, ibrah, petunjuk, dan hidayah, dan nasehat al-Quran.[18] Sifat-sifat buruk yang melekat pada jiwa harus disingkirkan dan dibersihkan seperti angkuh, sombong, kebanggaan pada diri, dendam, permusuhan, kebencian, egoisme, dan fanatisme buta. Karena dendam, permusuhan, dan kebencian menjauhkan manusia dari Tuhan,[19] hati manusia menjadi gelap, membatu, dan mati,[20] menutup pemahaman yang benar terhadap al-Quran, dan menyirnakan ketercerahan batin dan kearifan (bashirah).[21] Dengan demikian, sangat penting dan urgen mengembangkan sifat-sifat mulia seperi tawadhu, rendah hati, khusuk, perhormatan, dan “berlutut” kepada wahyu al-Quran dan “penafsir” utama wahyu (Rasulullah Saw dan Ahlulbait As).
- Alat-alat bantu lahiriah untuk merujuk dan memahami al-Quran:
- Mengenal secara baik tata bahasa Arab, makna dan arti kata-kata al-Quran, bentuk susunan kalimat-kalimatnya, dan kefasihannya.
- Memahami sejarah Islam, sebab-turunnya ayat-ayat al-Quran, dan ilmu al-Quran seperti mengenal ayat-ayat khusus dan umum, mutlak dan bersyarat, nasikh (ayat-ayat yang menghapuskan) dan mansukh (ayat-ayat yang terhapuskan), ayat-ayat madaniah (yang turun di Madinah) dan makiah (yang turun di Mekah), dan lain sebagainya.
- Berlindung dan bernaung kepda Tuhan Yang Maha Besar dari keburukan, bisikan, pengaruh setan serta tipudaya, makar, dan tipuan jiwa yang buruk.[22]
- Memulai dengan nama Tuhan Yang Agung dan memohon pertolongan-Nya serta petunjuk-petunjuk-Nya.
- Merangkai dan menggabungkan ayat-ayat yang berhubungan satu sama lain dalam satu tema dan merujuk kepada hadis-hadis yang menafsirkan ayat-ayat itu, karena al-Quran memiliki takwil dan kedalaman batinnya yang tidak mengetahui secara pasti kecuali Rasulullah Saw dan Ahlulbait As. Dan sebagian ayat-ayatnya merupakan penjelas ayat-ayat lain al-Quran.[23]
- Menyingkirkan pikiran-pikiran pribadi untuk mengungkap maksud-maksud hakiki al-Quran. Berpijak pada ayat-ayat yang jelas dari al-Quran dan hadis-hadis yang sahih supaya tidak terbayangi oleh perspektif-perspektif individual dalam menafsirkan al-Quran. Jika pandangan al-Quran bertolak belakang dengan pikiran-pikiran pribadi maka yang dikedepankan adalah perspektif al-Quran dan mengubur sedalam-dalamnya akidah-akidah pribadi. Jangan sampai terjebak atau dengan sengaja menafsirkan ayat-ayat al-Quran berdasarkan pemikiran, akidah, dan mazhab sendiri! Kalau demikian adanya maka sesungguhnya berpegang kepada kecenderungan pemikiran pribadi dan hanya berupaya mencari justifikasi al-Quran terhadap akidah dan mazhab sendiri serta tidak mengikuti keinginan sebenarnya al-Quran!
- Pada satu sisi memiliki informasi tentang keraguan, kritikan,dan kebutuhan zaman, dan sisi lain mengetahui perkembangan-perkembangan ilmu pengetahuan dan terwujudnya sebagian janji-janji al-Quran, supaya bisa secara tepat memberikan solusi dan jawaban terhadap kebutuhan generasi baru berdasarkan ayat-ayat al-Quran. Hal ini penting supaya pemikiran dan perspektif tertentu tidak dipaksakan untuk mengarahkan maksud dan keinginan al-Quran. Ini sebagaimana yang disabdakan oleh Imam Shadiq As, “Tuhan Yang Maha Tinggi tidak memperuntukkan al-Quran bagi suatu zaman tertentu, zaman lain, kelompok tertentu, atau manusia-manusia khusus, melainkan al-Quran ini senantiasa baru untuk setiap zaman dan memiliki daya tarik baru bagi suatu komunitas.”[24] Poin lain yang perlu diperhatikan adalah berhati-hatilah supaya tidak memaksakan pandangan, perspektif, dan pemikiran lain kepada al-Quran, karena Rasulullah Saw dan Ahlulbaitnya bersabda, “Pelajarilah al-Quran itu dan bacalah. Ketahuilah bahwa al-Quran akan menyempurnakan dan mengangkat derajat kemuliaan Kalian serta merupakan perantara untuk mengingat Allah Swt. Al-Quran adalah perbekalan (makanan ruhani) bagi Kalian dan investasi (modal akhirat yang sangat berharga). Oleh karena itu, ikuti dan taatlah kepada al-Quran serta jangan jadikan ia mengikuti kehendak dan kemauan sendiri. Al-Quran akan berjalan pergi membelakanginya sehingga ia akan melemparkannya ke jurang neraka!”[25]
- Niat dan tujuan membaca dan mempelajari makrifat-makrifat dan hukum-hukum al-Quran tidak dilakukan semata-mata untuk mencari pahala dan menukilkannya ketika ceramah atau seminar, menulis makalah, mengikuti pertandingan, bukan untuk mendapatkan harta-benda, kekayaan, derajat duniawi, kekuasaan, dan kemasyhuran; melainkan dijadikan sebagai perbekalan dan investasi akhirat, yakni meniatkannya untuk mengamalkan hukum-hukum al-Quran, meraih makrifat-makrifatnya dan berpijak padanya, memperoleh pencerahan batin, dan kearifan Ilahi. Jangan sampai kita mempelajari al-Quran dan hujjahnya sempurna bagi kita, namun kita tidak beramal sesuai dengannya sehingga kita tergolong ke dalam ulama-tak-beramal yang menyebabkan terhempas dalam azab pedih api neraka, sebagaimana jika kita tidak berusaha mempelajarinya maka digolongkan sebagai seorang jahil yang juga akan tertimpa azab yang pedih!.
- Jika sampai kepada ayat-ayat yang mengandung rahmat dan janji surga dan pertolongan Tuhan, maka berharaplah dan motivasilah jiwa untuk taat kepada perintah-perintah Tuhan dan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Begitu pula, jika berhadapan dengan ayat-ayat yang berisi kebencian, kemarahan Tuhan, ancaman azab neraka, dan penjelasan sifat-sifat neraka, maka peringatkanlah diri sendiri untuk tidak meninggalkan perintah-perintah Ilahi dan melaksanakan larangan-larangan-Nya, sehingga hati menjadi tidak membatu, lembut, cerah, bersih, dan suci. Hal ini merupakan pra kondisi untuk terpancarnya cahaya-cahaya Ilahi al-Quran yang mengantarkan manusia sampai pada puncak tertinggi kebahagiaan dan kesempurnaan.
- Jika membaca ayat-ayat yang menjelaskan sifat-sifat seorang mukmin, bertakwa, dan saleh...dan juga ayat-ayat yang menguraikan karakter-karakter seorang kafir, musyrik, munafik, dan musuh-musuh kebenaran...maka jadikanlah al-Quran sebagai mizan untuk diri sendiri dan meletakkannya sebagai parameter atau alat nilai jiwa untuk proses penyempurnaannya, sebelum jiwa kita dinilai, diukur, dan dihisab di hari kiamat. Oleh karena itu, bersihkanlah jiwa kita dari kekotoran kekafiran, kemusyrikan, kemunafikan, dan keras kepala, dan hiasilah jiwa kita dengan watak-watak dan keutamaan-keutamaan seorang mukmin, bertakwa, dan saleh sedemikian sehingga melalui koridor penghambaan hakiki yang secara istiqomah kepada Tuhan kita menggapai kelayakan menyandang gelar ‘khalifah Ilahi’. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt yang berbunyi, “Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali mereka menjadi hamba.” Penghambaan Ilahi ini dikarenakan kita berada di bawah bayangan taufik dan rahmat Tuhan, kemurahan al-Quran, kebaikan-kebaikan Rasulullah saw dan Ahlulbaitnya, dan melalui ilmu dan pengamalan kepada al-Quran dan hadis-hadis Rasulullah melalui jalur suci Ahlulbaitnya As. [iQuest]
Sumber Kepustakaan:
- Abdullah Jawadi Amuli, , Tafsir Tasnim, jil. 1, Cetakan Kedua, Isra’, Qom.
- Abdullah Jawadi Amuli, Quran dar Quran, jil, 1 dan 2, Isra’, Qom, 1378 S.
- Murtadha Muthahhari, Khatamiyat, Sadra, jil, 12, Tehran, 1378 S.
- Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 2, Sehubungan dengan ayat 7 surah Ali Imran dan ayat 162 surah al-Nisa’.
[1]. “Sedangkan Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah peringatan bagi seluruh umat.” (Qs. Al-Qalam [68]: 52); “Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (Qs. Al-Saba’ [34]: 28); “Maha Agung nan Abadi Dzat yang telah menurunkan al-Furqân (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (Qs. Furqan [25]:1)
[2]. "Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan.” (Qs. Al-Maidah [5]: 15); “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang.” (Qs. Al-Nisa’ [4]: 174); “Bila demikian, maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan kepada cahaya yang telah Kami turunkan.” (Qs. Tagabun [64]: 8); “Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah peringatan dan kitab yang memberi penjelasan.” (Qs. Yasin [36]: 69).
[3]. Ibid.
[4]. Ibid.
[5].” "Sungguh telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk peringatan.” (Qs. Al-Qamar: 17, 22, 32, dan 44); “Sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur’an itu dengan bahasamu, agar dengannya kamu dapat memberi kabar gembira kepada orang-orang yang bertakwa, dan agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang membangkang.” (Qs. Maryam [19]: 97); “Sesungguhnya Kami mudahkan Al-Qur’an itu dengan bahasamu supaya mereka ingat.” (Qs. Al-Dukhan [44]: 58).
[6]. “Apakah mereka tidak merenungkan Al-Qur’an ataukah hati mereka telah terkunci?” (Qs. Muhammad [47]: 24); “Maka apakah mereka tidak memperhatikan perkataan (Kami), atau apakah telah datang kepada mereka apa yang tidak pernah datang kepada nenek moyang mereka dahulu?” (Qs. Al-Mukminun [23]: 68); “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka merenungkan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (Qs. Shad [38]:29)
[7]. “Allah adalah cahaya seluruh langit dan bumi.” (Qs. Al-Nur [24]: 35)
[8]. “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), sebagai fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus.” (Qs. Rum [30]: 30)
[9]. Poin ini juga mesti diperhatikan bahwa yang pasti mengetahui batin ayat-ayat al-Quran hanyalah Rasulullah Saw dan Ahlulbaitnya As dan tak seorangpun yang memiliki otoritas dan hak menegaskan kebenaran pemahamannya tentang batin al-Quran . Apa-apa yang kita pahami hanyalah ayat-ayat yang bersifat lahiriah dan mengenai batinnya mesti merujuk kepada Rasulullah Saw dan Ahlulbaitnya As.
[10]. Nahj al-Balâghah, Khutbah 133.
[11]. Tafsir Tasnim, jil. 1, hal. 69 – 73.
[12]. (Qs. Al-Waqiah [56]:75-79)
[13]. (Qs. Ali Imran [3]: 7)
[14]. (Qs. Ali Imran [3]: 7)
[15]. Bihar al-Anwâr, jil. 2, hal. 100.
[16]. Kulaini, Ushûl al-Kâfi, jil. 1, hal. 213.
[17]. Hadis yang dikenal sebagai ‘Tsaqalain’, Bihâr al-Anwâr, jil. . 33, hal. 100. Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemuneh, jil. 2, ayat 7 surah Ali Imran dan ayat 162 surah Al-Nisa’.
[18]. “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu (kekuatan) pembeda (antara yang hak dan yang batil di dalam hatimu), menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Qs. Al-Anfal [8]: 29)
[19]. “Kemudian, dikatakan (kepada mereka), “Inilah azab yang dahulu selalu kamu dustakan.” (Qs. Al-Muthaffifin [83]: 15)
[20]. Maka sesungguhnya kamu tidak akan sanggup memperdengarkan suara (dakwah)mu kepada orang-orang yang mati dan tidak (pula) dapat memperdengarkan seruan kepada orang-orang yang tuli, apabila mereka itu berpaling membelakang. Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang-orang yang (bermata hati) buta dari kesesatan mereka. Dan kamu tidak dapat memperdengarkan (petunjuk Tuhan) melainkan kepada orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami, dan mereka itulah orang-orang yang berserah diri (kepada Kami).“ (Qs. Al-Rum [30]: 52-53); “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memperdengarkan ucapanmu kepada orang-orang yang mati dan tidak dapat (pula) memperdengarkan ajakanmu kepada orang-orang yang tuli, apabila mereka telah berpaling membelakang. Dan kamu sekali-kali tidak dapat memberikan petunjuk kepada orang-orang buta dari kesesatan mereka. Kamu tidak akan dapat memperdengarkan ucapanmu, kecuali kepada orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami, lalu mereka berserah diri.” (Qs. Al-Naml [27]: 80-81)
[21]. "Mereka berkata, “Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya dan di telinga kami terdapat sumbatan, dan antara kami dan kamu terdapat dinding (pemisah). Maka urusilah pekerjaanmu sendiri; kami pun akan mengurusi pekerjaan kami sendiri.” (Qs. Fushshilat [41]: 5); “Dan apabila kamu membaca Al-Qur’an, niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat suatu tirai yang tertutup.” (Qs. Al-Isra’ [17]: 45)
[22]. “Apabila kamu membaca Al-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk .” (Qs. Al-Nahl [16]: 98)
[23]. Bihâr al-Anwâr: jil. 89, hal. 84 dan 91.
[24]. Bihâr al-Anwâr, jil. 89, hal. 15, Tafsir Tasnim, jld. 1, hal. 234.
[25]. Jâmi’ Ahâdits al-Syiah, jil. 15, hal. 9, dinukil dari: Tafsir Tasnim, jil. . 1, hal 243.