Please Wait
18672
Pada kondisi seperti itu, maka yang harus dimenangkan dan dibela adalah ucapan seseorang atau pihak yang mengklaim bahwa akad itu telah dilakukan secara sah. Tetapi di samping itu, ia pun dituntut untuk mengucapkan sumpah. Sementara pihak yang mengklalim bahwa dalam akad tersebut telah terjadi paksaan, maka ia harus menghadirkan saksi.
Di dalam masalah ini terdapat beberapa asumsi:
1. Salah satu dari kedua belah pihak yang telah berdamai (melakukan akad shulh) mengklaim bahwa shulh itu telah terjadi karena adanya paksaan. Sementara pihak kedua mengingkari adanya paksaan tersebut.
2. Pihak kedua pun mengakui adanya paksaan tersebut.
3. Pihak kedua diam dan no comment, ia mengatakan “saya tidak tahu”.
Pada asumsi pertama, ucapan pihak yang mengingkari adanya paksaan harus didahulukan dan dimenangkan. Karena ucapannya itu sesuai dengan ashalatu as-shihhâh (hukum asal keabsahan) dalam perbuatan seorang Muslim. Mengingat bahwa kedua belah pihak telah mengakui bahwa shulh dan damai telah disepakati. Hanya saja salah satu pihak mengakui bahwa hal itu terjadi secara benar dan pihak lainnya mengatakan bahwa shulh itu telah batal. Berdasarkan kaidah ashalu as-shihah, shulh telah terjadi secara benar, sah dan tidak terjadi paksaan[1]. Kecuali jika pihak yang mengklaim adanya unsur paksaan itu menghadirkan saksi dan saksi tersebut mendukung bahwa dalam shulh itu telah terjadi karena unsur paksaan.
Hukum dan ketetapan atas masalah ini dapat dilihat secara cermat dalam seperangkat pembahasan ilmu Usul Fikih. Begitu pula dalam kitab-kitab Fikih, seperti Syaikh Muhaqqiq al-Hilli dalam kitabnya Syarâi’ul Islâm pada pembahasan ikhtilâful mutabayi’ain (ketika terjadi ikhtilaf antara penjual dan pembeli). Beliau menulis: “Keempat: Apabila seseorang berkata: “Aku jual kepdamu seorang hamba”, kemudian pihak kedua berkata: “tidak, tetapi yang dijual adalah seorang merdeka, atau sebotol cuka, atau sebotol khamr”, atau ia berkata: “Aku telah membatalkan akad tersebut sebelum berpisah”, sementara pihak lainnya mengingkarinya, maka dalam hal ini yang harus dibela dan dimenangkan adalah pihak yang mengklaim bahwa akad itu telah terjadi secara sah dan benar yang ditambah dengan ucapan sumpahnya. Kecuali jika pihak lawannya itu menghadirkan saksi.[2]
Pengarang kitab Al-Jawahir juga menulis: “Masalah itu aku dapati tanpa adanya ikhtilaf yang berarti di antara ulama……..dan tidak ada masalah dalam menerapkan kaidah ashâlatu as-shihhâh. Karena hal itu sudah sangat jelas, walaupun hanya dengan sedikit merenungkannya[3]. Adapun asumsi yang kedua, hukumnya sudah sangat jelas, yaitu apabila pihak kedua juga mengakui adanya unsur paksaan dalam akad shulh tersebut, maka akad shulh tersebut tidak lagi mempunyai nilai dan harga. Tetapi sesuai dengan undang-undang perdata Islam terdapat sanksi bagi pihak yang melakukan paksaan. Di dalam poin 668, pasal 22 dalam undang-undang perdata Islam disebutkan bahwa: “Barangsiapa yang memaksa atau menekan atau mengancam orang lain untuk memberikan tulisan atau memberikan dokumen atau menandatangani atau men-stempel atau menyerahkan dokumen dan tulisan yang berkaitan dengannya atau mengalihkan simpanan kepadanya, maka diancam akan dikenakan sanksi berupa kurungan penjara selama tiga bulan sampai dua tahun dan 74 kali pecutan”[4]
Adapun asumsi yang ketiga mengandung beberapa bagian dan pecahan yang bermacam-macam. Untuk mengetahui hal ini lebih jauh lagi, silahkan rujuk kitab Tahrirul Wasilah.[5] []
[1] . Dalam hal ini sebelum si hakim menetapkan hukum yang menguntungkannya harus menuntut pihak yang mengklaim sah agar mengucapkan sumpah. Karena sekedar klam saja tidak bisa didukung.
[2] . Lihat Syarâi’ul Islâm hal. 287 dan 288.
[3] . Jawâhirul Kalâm, juz 23, hal. 194 – 198.
[4] Hujjati Asyrafi, Ghulam Ridha, Rangkuman Lengkap Undang-undang dan Ketetapan Perdata.
[5] . Imam Khomeini, Tahrirul Wasilah, jilid 2, hal. 383 dan 384.