Please Wait
10241
Di antara shalat-shalat mustahab (yang dianjurkan) yang ditekankan dalam al-Qur’an dan riwayat adalah shalat-shalat nawafil malam khususnya nafilah malam. Imam Shadiq As terkait dengan pengaruh shalat malam bersabda, “Shalat malam akan mengindahkan wajah, mengelokkan perilaku, menyucikan rezeki, membayarkan utang, menyingkirkan kesedihan, mencerahkan pandangan. Hendaklah kalian menunaikan shalat malam karena hal itu merupakan sunnah Rasululullah Saw dan akan melenyapkan sakit dari badanmu.”
Rasulullah Saw sangat memuji pelaksanaan qadha shalat sunnah malam dan memandangnya akan mengundang keridhaan Tuhan.
Qadha shalat-shalat nafilah hukumnya mustahab bagi setiap mukallaf. Setiap orang dapat melaksanakan qadha shalat-shalat nafilah kapan saja ia ingin. Dalam masalah ini tidak terdapat perbedaan antara orang sakit dan orang sehat. Dan alangkah baiknya urutan pelaksanaan shalat-shalat mustahab diperhatikan.
Shalat-shalat nafilah (nawâfil) dan mustahab seperti amalan-amalan mustahab lainnya memiliki tingkatan. Karena itu, dalam pelaksanaannya baik adâ’an (pada waktunya) atau qadhâ’an (di luar waktunya) sebagiannya sangat dianjurkan dan dibandingkan dengan yang lain kurang mendapat penekanan. Di antaranya shalat-shalat mustahab yang banyak ditekankan dalam al-Qur’an dan riwayat-riwayat adalah nafilah dan tahajjud pada malam hari.[1]
Allah Swt dalam al-Qur’an berfirman kepada Rasul-Nya: Dan pada sebagian malam hari, bacalah Al-Qur’an (dan kerjakanlah shalat) sebagai suatu tugas tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (Qs. Al-Isra [17]:79)
Para penafsir memandang bahwa ayat ini merupakan dalil atas keutamaan (fadhilah) shalat malam meski ayat ini tidak menegaskan masalah keutamaan ini. Namun dengan ragam indikasi yang ada nampak jelas penafsiran ini.[2]
Di antara para maksum juga terdapat banyak riwayat yang menyebutkan keutamaan shalat nafilah malam yang akan kami sebutkan beberapa di antaranya sebagai contoh seperti berikut ini:
1. Nabi Saw bersabda, “Wibawa dan kemuliaan seorang mukmin terletak pada shalat malamnya. Karena pada hari Kiamat Allah Swt mengumpulkan orang-orang awal dan akhir. Lalu seorang penyeru berteriak lantang, 'Berdirilah orang yang menyeru Tuhan (dengan menunaikan shalat) pada penghujung malam!' Maka berdirilah sekelompok kecil orang dan setelah mereka barulah diadakan perhitungan bagi orang lainnya.”[3]
2. Rasulullah Saw pada kesempatan lain bersabda, “Sesungguhnya rumah yang di dalamnya shalat malam didirikan dan al-Qur’an dibacakan, akan menerangi langit sebagaimana bintang gemintang menerangi bumi."
3. Dan juga diriwayatkan dari Rasulullah Saw bahwa beliau bersabda, "Sshalat malam merupakan pelita kegelapan kubur bagi yang mengerjakannya."[4]
4. Dari Rasulullah Saw menegaskan, "Hendaklah kalian mengerjakan shalat malam yang merupakan jalan orang-orang saleh sebelum kalian. Shalat malam adalah sebuah jalan untuk melakukan taqarrub kepada Allah Swt, menjadi kaffarah (tebusan) dosa-dosa, penahan untuk tidak melakukan dosa dan penghilang sakit dari badan."[5]
5. Imam Sajjad As dalam menjawab pertanyaan “Mengapa orang-orang yang (senantiasa) melakukan tahajjud dan ibadah pada malam hari merupakan sebaik-baik manusia?” Jawabannya, “Lantaran mereka bersendirian dengan Tuhan. Karena itu, sudah sepantasnya Allah Swt membusanainya dengan cahaya-Nya.”[6]
6. Imam Shadiq As terkait dengan pengaruh shalat malam bersabda, “Shalat malam akan mengindahkan wajah, mengelokkan perilaku, menyucikan rezeki, membayarkan utang, menyingkirkan kesedihan, mencerahkan pandangan. Hendaklah kalian menunaikan shalat malam karena hal itu merupakan sunnah Rasululullah Saw dan akan melenyapkan sakit dari badanmu.”[7]
Pelaksanaan shalat nafilah malam pada wakutnya (ada’an) sangatlah dianjurkan dan terpuji. Namun pelaksanaan shalat-shalat tersebut di luar wakutnya sangatlah baik bagi orang-orang yang, apa pun dalilnya tidak mampu, mengerjakan shalat ini pada wakutnya. Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah Swt di hadapan para malaikat-Nya merasa bangga kepada hamba yang mengerjakan shalat malam di luar wakutnya (qadha’an) pada siang hari dan berfirman, “Wahai para malaikat-Ku! Lihatlah hamba-Ku shalat yang tidak Aku wajibkan ia kerjakan di luar waktunya (qadha’). Saksikanlah sesungguhnya dosa-dosanya Aku ampuni.”[8]
Karena itu, sebagaimana qadha wajib atas mukallaf hukumnya wajib maka qadha mustahab juga hukumnya mustahab bagi mukallaf. Abdullah bin Sanan meriwayatkan dari Imam Shadiq As dan berkata, “Aku berkata kepada Imam Shadiq As bahwa seseorang telah lama meninggalkan shalat-shalat malam dan ia tidak mengetahui secara persis berapa banyak jumlah shalat-shalat tersebut yang telah ia tinggalkan. Bagaimana ia meng-qadha-nya?" Imam Shadiq As bersabda, “Dia kerjakan shalat nafilah sedemikian rupa hingga yakin bahwa seluruh shalat nafilah yang ia tinggalkan telah ia kerjakan qadhanya…”[9]
Mengingat bahwa meninggalkan amalan-amalan dan shalat-shalat mustahab tidak termasuk sebagi perbuatan dosa dan tidak mendatangkan hukuman, maka apabila seseorang ingin mengerjakan qadha-nya, ia dapat melakukannya kapan saja ia mau.
Imam Ridha As dalam menjawab pertanyaan seseorang yang bertanya, "Aku tidak mengerjakan shalat mustahab. Apabila aku ingin mengerjakan qadha-nya, kapan aku dapat mengerjakannya?" Imam Ridha menulis, “Kapan saja, engkau ingin mengerjakannya, siang atau malam hari.”[10]
Namun alangkah baiknya qadha shalat nafilah malam sebelumnya ditebus pada malam berikutnya. Dan qadha nafilah hari sebelumnya dikerjakan pada hari berikutnya. Sebagaimana Imam Shadiq As bersabda, “Apabila shalat-shalat nafilah siangmu telah lewat waktunya, maka kerjakanlah (qadhanya) pada hari berikutnya. Apabila shalat-shalat nafilah malammu telah berlalu, maka tunaikanlah (qadhanya) pada malam berikutnya.”[11]
Muhammad bin Muslim berkata, “Aku berkata di hadapan Imam As: 'Seseorang tertimpa sakit dan tercegah untuk menunaikan amalan-amalan mustahab. Sebagai hasilnya ia meninggalkan shalat nafilah. Apa yang harus ia lakukan?"
Imam bersabda, “Wahai Muhammad! Nafilah bukan merupakan kewajiban. Sekiranya ia ingin mengerjakan qadha-nya maka hal itu lebih baik baginya. Dan apabila ia tidak mengerjakan qadha-nya maka hal itu bukan menjadi taklifnya.”[12]
Namun akan lebih baik dan mustahab, jika dalam mengerjakan qadha amalan-amalan mustahab urutan pengerjaannya diperhatikan. Khususnya shalat nafilah malam, urutannya maka pengerjaanya harus dua rakaat-dua rakaat dan pada akhirnya shalat witir diqadha. Dalam meng-qadha shalat-shalat witir juga dianjurkan dua rakaat mustahab yang mengantarai keduanya.
Imam Baqir As bersabda, “Apabila dua atau tiga malam atau lebih, engkau tidak mengerjakan shalat witirmu, maka engkau harus mengerjakan (qadhanya) secara runut dan setelah engkau mengerjakan qadha shalat witir pertama, maka setidaknya engkau mengerjakan dua rakaat nafilah. Setelah dua rakaat, engkau mengqadha witir keduamu karena shalat witir harus disertai dengan shalat-shalat lainnya."[13] [IQuest]
[1]. Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. (QS. Al-Dzariyat [51]:17); Lambung mereka jauh dari tempat tidur (di pertengahan malam), sedang mereka berdoa kepada Tuhan mereka dengan rasa takut dan harap. (QS. Al-Sajdah [32]:16); Apakah orang seperti itu lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhan-nya?” (QS. Al-Zumar [39]:9); Dan orang-orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka (QS. Al-Furqan [25]:64); Bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (darinya).” (QS. Al-Muzammil [73]:4).
[2]. Tafsir Nemune, Nashir Makarim Syirazi, jil. 12, hal. 224, Dar Al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1374 S, Cetakan Pertama.
[3]. Irsyâd al-Qulûb, Sayid Abdulhusain Ridhai, terjemahan Ridhai, jil. 1, hal. 210 dan 211, Islamiyah, Teheran, 1377 S, Cetakan Ketiga.
[4]. Irsyâd al-Qulûb, terjemahan Ridhai, jil. 1, hal. 444.
[5]. Âsemân wa Jahân, Muhammad Baqir Kumrei, terjemahan Kitâb al-Samâ wa al-‘Âlam, Bihar al-Anwar, jil. 6, hal. 210, Islamiyah, Teheran, 1351 S.
[6]. Musnad al-Imâm al-Ridhâ Alaihi al-Salâm, ‘Azizullah ‘Athardi, jil. 2, hal. 178-180, Astan-e Quds (Kongre), Masyhad, 1406 H, Cetakan Pertama. ‘Ilal al-Syarâ’i, Syaikh Shaduq, terjemahan Sayid Muhammad Jawad Dzihni Tehrani, jil. 2, hal. 365, Intisyarat-e Mu’minin, Qum, 1380, Cetakan Pertama.
[7]. Âsemân wa Jahân, Muhammad Baqir Kumrei, terjemahan Kitâb al-Samâ wa al-‘Âlam, Bihar al-Anwar, jil. 6, hal. 210.
[8]. Wasâil al-Syiah, jil. 4, hal. 75 & 76. Man Lâ Yahdhuruhu al-Faqih, terjemahan Ghaffari, jil. 2, hal. 202.
[9]. Wasâil al-Syiah, jil. 4, hal. 75-85. Man Lâ Yahdhuruhu al-Faqih, terjemahan Ghaffari, jil. 2, hal. 299.
[10]. Musnad al-Imâm al-Ridhâ Alaihi al-Salâm, jil. 2, hal. 178-180.
[11]. Al-Kâfi, Kulaini, jil. 3, hal. 451, Islamiyah, Teheran, 1362 S, Cetakan Kedua, Bab Taqdim al-Nawafil wa Tak’hiruha wa Qadha’uha wa Shalat al-Dhuha. Muhammad Baqir Behbudi, Guzide-ye Kâfi, jil. 2, hal. 366-368, Markaz-e Intisyarat-e ‘Ilmi wa Farhanggi, Teheran, 1363 S, Cetakan Pertama.
[12]. ‘Ilal al-Syarâ’i, terjemahan Dzihni Tehrani, jil. 2, hal. 175-177.
[13]. Al-Kâfi, jil. 3, hal. 451, Bab Taqdim al-Nawafil wa Tak’hiruha wa Qadha’uha wa Shalat al-Dhuha; Guzide-ye Kâfi, jil. 2, hal. 366-368.