Please Wait
19336
Islam membolehkan pria memiliki empat istri (poligami) secara permanen (daim) pada waktu yang bersamaan. Poligami, pada selain kemenakan dari saudara dan saudari istri, tidak memerlukan izin istri pertama. Namun apabila wanita dalam proses akad nikah mensyaratkan bahwa suaminya tidak boleh menikah dengan wanita lain, menurut sebagian juris (fakih), maka syarat ini sah dan suami tidak boleh melanggar syarat ini. Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan terhadap Keluarga (dalam Republik Islam Iran), pria tidak boleh memiliki wanita lain, ketika ia telah beristri secara permanan, kecuali dengan syarat-syarat khusus.
Adapun pertanyaan berikutnya, ia harus berusaha supaya landasan pernikahannya berdasarkan cinta dan suka sama suka. Dan apabila pernikahan dilangsungkan tanpa didasari cinta maka ia harus berupaya agar cinta dan kasih tumbuh dalam dirinya. Dan jelas bahwa niat seseorang menikah tidak berpengaruh pada sah atau tidaknya pernikahan. Meski setiap perbuatan yang dilakukan untuk Allah Swt akan memiliki ganjaran dan pahala di sisi-Nya.
Benar bahwa apabila hal itu dipaksakan maka persoalannya menjadi lain. Penyusun kitab, “Kalimat al-Taqwa” berkata bahwa akad yang dibaca karena paksaan adalah sah. Artinya apabila seseorang dipaksa menjadi wakil dalam melangsungkan akad nikah untuk selain dirinya maka akad seperti ini adalah sah dan orang ini dipaksa dalam melangsungkan akad perwakilan, apabila syarat-syarat keabsahan akad lainnya seperti menyatakannya dengan imperatif (insyâ) dan lain sebagainya, tidak akan membatalkan akad. Namun apabila seseorang terpaksa melangsungkan akad nikah untuk dirinya sendiri dan dalam kondisi seperti ini ia menyampaikan insyâ akad (menyatakannya secara imperatif), maka akad seperti ini tidak sah. Tetapi apabila setelah beberapa lama rasa terpaksa ini lenyap kemudian ridha dengan akad ini dan memberikan izin atas akad tersebut maka akadnya sah terlepas dari apakah mukrah (orang yang dipaksa) itu adalah suami atau istri.
Islam membolehkan pria memiliki empat istri (poligami) secara permanen (daim) pada waktu yang bersamaan. Poligami, pada selain kemenakan dari saudara dan saudari istri,[1] tidak memerlukan izin istri pertama. Namun apabila wanita dalam proses akad nikah mensyaratkan bahwa suaminya tidak boleh menikah dengan wanita lain, menurut sebagian juris (fakih),[2] maka syarat ini sah dan suami tidak boleh melanggar syarat ini. Berdasarkan Undang-Undang Baru Perlindungan terhadap Keluarga[3] (Republik Islam Iran) disebutkan bahwa pria tidak boleh memiliki wanita lain, ketika ia telah beristri secara permanen, kecuali dengan syarat-syarat khusus sebagaimana berikut ini:
1. Keridhaan istri pertama
2. Istri pertama tidak mampu menunaikan tugasnya sebagai istri
3. Istri pertama enggan memenuhi kebutuhan seksual suami
4. Istri tertimpa penyakit gila atau penyakit-penyakit yang susah disembuhkan
5. Istri dihukum penjara
6. Istri kecanduan NARKOBA
7. Mandul
8. Istri mengabaikan hidupnya dan sebagainya.
Dari sisi lain, dengan memperhatikan syarat-syarat dalam akad-akad yang dibacakan dewasa ini di antaranya syarat-syarat dimana wanita dapat mengajukan talak tatkala pria ingin melakukan poligami tanpa keridhaan istri pertama.[4]
Adapun terkait dengan pertanyaan kedua:
Mengingat pernikahan merupakan sebuah ikatan dan jalinan Ilahi dan abadi serta salah satu tujuannya adalah untuk mengontrol libido (syahwat) dan urusan-urusan lainnya seperti, ketenangan, reproduksi dan sebagainya seluruhnya merupakan tujuan-tujuan ikatan Ilahi ini, karena itu, pernikahan harus didasari oleh agenda yang jelas dan kecermatan dalam memilih istri yang sesuai, sehingga ruang bagi terciptanya satu kehidupan rumah tangga yang langgeng, disertai dengan cinta dan kasih sayang akan tersedia. Pernikahan harus diupayakan berdasar pada kecintaan dan apabila pernikahan diadakan tanpa rasa suka sama suka maka harus diupayakan kecintaan dan rasa suka tercipta di antara pasangan suami dan istri. Jelas bahwa niat seseorang dalam sebab pernikahan tidak berpengaruh atas sah dan tidaknya pernikahan, meski setiap amalan yang dilakukan semata-mata untuk Tuhan akan memperoleh pahala dan ganjaran di sisi-Nya.
Benar bahwa apabila hal itu dipaksakan maka persoalannya menjadi lain. Penyusun kitab, “Kalimat al-Taqwa” berkata bahwa akad yang dibaca karena paksaan adalah sah. Artinya apabila seseorang dipaksa menjadi wakil dalam melangsungkan akad nikah untuk selain dirinya maka akad seperti ini adalah sah dan orang ini dipaksa dalam melangsungkan akad perwakilan, apabila syarat-syarat keabsahan akad lainnya seperti menyatakannya dengan imperatif (insya) dan lain sebagainya, tidak akan membatalkan akad. Namun apabila seseorang terpaksa melangsungkan akad nikah untuk dirinya sendiri dan dalam kondisi seperti ini ia menyampaikan insyâ akad (menyatakannya secara imperatif), maka akad seperti ini tidak sah. Tetapi apabila setelah beberapa lama rasa terpaksa ini lenyap kemudian ridha dengan akad ini dan memberikan izin atas akad tersebut maka akadnya sah terlepas dari apakah mukrah (orang yang dipaksa) itu adalah suami atau istri.[5]
Jawaban Hadhrat Ayatullah Mahdi Hadawi Tehrani (Semoga Allah Memanjangkan Keberkahannya) terkait dengan pertanyaan yang dimaksud sebagai berikut:
1. Dalam poligami, keridhaan istri pertama hanya diperlukan apabila seseorang ingin menikah dengan kemenakan dari saudara atau saudari istri pertama.
Namun apabila dalam akad pernikahan pertama disebutkan syarat bahwa pernikahan-pernikahan lainnya harus seizin istri pertama maka wajib, mengikut hukum taklifi, baginya melaksanakan syarat ini. Kendati pernikahan (poligami) sah, mengikut hukum wadh’i, walau tanpa izin istri pertama. Kecuali hukum negara Islam (sistem Wilayah Fakih) memandang batal pernikahan ini.
2. Terkait dengan keabsahan pernikahan, kecintaan tidak turut campur. Meski tanpa ragu kecintaan diperlukan untuk kelanggengan dan keselamatan sosial pernikahan ini. [IQuest]
Jawaban terkait: 3103 (Site: 3368)
[1]. Taudhi al-Masâil (al-Muhasysyâ li al-Imâm al-Khomeini), jil. 2, hal. 466.
[2]. Fatwa-fatwa para marja terkait dengan masalah apakah istri pertama dapat mensyaratkan bahwa untuk melakukan poligami diharuskan minta izin dari istri, atau mensyaratkan apabila suami menikah lagi, pihak istri yang menjadi wakil untuk memberikan talak kepada dirinya. Berikut ini adalah fatwa-fatwa marja dalam masalah ini:
Ayatullah-Ayatullah Agung Imam Khomeini, Bahjat, Khamenei, Fadhil, Makarim dan Nuri Hamadani: Tidak. Syarat ini tidak sah dan tidak berlaku. Namun sah apabila ia mensyaratkan bahwa “wanita menjadi wakil atas suaminya, apabila istrinya ingin melakukan poligami, ia menalak sendiri dirinya” Istiftâ’at, Imam Khomeini, jil. 3, Pertanyaan 55. Istiftâ’at, Ayatullah Makarim Syirazi, jil. 2, Pertanyaan 907. Istiftâ’at, Ayatullah Khamenei, Pertanyaan 7. Jami’ al-Masail, Ayatullah Fadhil, jil. 1, Pertanyaan 1533. Istiftâ’at, Ayatullah Nuri Hamadani, jil. 2, Pertanyaan 637 dan Taudhi al-Masail, masalah 2534. Kantor Ayatullah Bahjat. Dengan memanfaatkan Software Pârsemân.
Ayatullah-Ayatullah Agung Tabrizi, Siistani dan Shafi. Benar. Syarat ini sah dan berlaku. Apabila suami setelah menikah tidak mengamalkan syarat ini dan melakukan poligami maka ia telah berbuat dosa. Minhâj al-Shâlihin, Ayatullah Siistani, jil. 2, Masalah 333. Minhâj al-Shâlihin, Ayatullah Tabrizi, jil. 2, Masalah 1395. Jami’ al-Ahkam, Ayatullah Shafi, jil. 2, Masalah 5521. Dengan memanfaatkan Software Pârsemân.
Ayatullah Wahid Khurasani, sesuai dengan ihtiyâth wâjib, syarat ini tidak sah dan tidak berlaku. Namun sah apabila istri pertama mensyaratkan “Istri menjadi wakil bagi suaminya, apabila suaminya melakukan poligami, untuk menalak dirinya sendiri.” Minhâj al-Shâlihin, Ayatullah Wahid Khurasani, jil. 3, Masalah 9531. Dengan memanfaatkan Software Pârsemân.
[3]. Huqûq Khânewâdeh, Sayid Husain Shafai, hal. 101, Cetakan Keduabelas, Nasyr Mizan, Tabistan 86.
[4]. Ibid, hal. 512.
[5]. Kalimat al-Taqwa, jil. 7, hal. 31, al-Mas’alah 71.