Please Wait
35883
Potensi paling asasi manusia yang harus dibina dan ditumbuh-kembangkan adalah potensi berpendapat dan jelas bahwa pembinaan potensi ini memerlukan kebebasan berupa tiadanya halangan, rintangan dan hambatan yang menghadang dalam menyatakan dan menyampaikannya.
Dalam pandangan Islam, seorang Muslim memiliki hak dan bahkan harus berpikir dan berpendapat. Pada kebanyakan ayat-ayat al-Qur'an menyeru manusia untuk berinteleksi, berpikir, berpendapat dan berkontemplasi tentang penciptaan semesta. Manusia dituntut dengan energi akalnya, untuk mengenal segala yang menguntungkan dan merugikan bagi dirinya. Ia dituntut supaya bebas dari segala pasungan, tawanan, kesesatan dan penyimpangan, melangkah melaju menuju ke depan untuk meraup kesempurnaan.
Akan tetapi pada sebagian ayat lainnya, disebutkan batasan manusia berpikir supaya manusia terhindar dari segala musibah yang dapat menghalangi gerak lajunya menuju kesempurnaan.
Kebebasan Berpikir:
Sebelum segala sesuatunya kiranya perlu disebutkan bahwa terdapat perbedaan antara kebebasan berpikir dan kebebasan beragama.
Berpikir merupakan potensi dan energi yang harus dibina pada diri manusia dan jelas bahwa tanpa adanya kebebasan dalam berpikir maka peluang untuk maju dan menyempurna tidak tersedia. Dengan kata lain, manusia memiliki pelbagai potensi yang lebih unggul dan lebih super daripada pelbagai potensi hewan. Pelbagai potensi ini baik ia bersumber dari kategori afeksi-afeksi, pelbagai inklinasi dan kecendrungan unggul manusia atau pun berasal dari kategori pelbagai pencerapan, penerimaan, pemahaman dan pemikiran. Dari pelbagai potensi inilah yang menjadi sumber pelbagai kebebasan transendentalnya. Dengan kata lain; kebebasan berpikir berada di bawah kebebasan suci kemanusiaan dan bersumber dari potensi-potensi esensial manusia yang memberikan kepadanya kemampuan untuk berpikir dalam pelbagai hal.
Bagaimanapun pelbagai potensi manusiawi ini harus bebas dan merdeka; karena bagian terpenting yang harus dibina pada diri seorang manusia adalah berpikir dan tentu saja pembinaan untuk berpikir ini memerlukan kebebasan yaitu tiadanya halangan, hambatan, rintangan yang menghadang gerak lajunya berpikir.[1]
Adapun beragama atau berakidah yang asilnya adalah ber-i'ti-qâ-d derivasinya berasal dari klausul 'a-q-d dan in-i'-qâd yang bermakna tertutup dan terbungkus.[2] Tertutupnya hati dan keyakinan manusia terhadap sesuatu terdiri dari dua jenis: Terkadang bersumber dari pikiran yang benar dan bebas. Dan terkadang berakar pada kebiasaan, tradisi dan puritanisme yang salah; Akidah dalam artian ini tidak hanya dapat menjadi solusi bagi manusia melainkan sebaliknya termasuk tertutup dan terbungkusnya (in'iqâd) pemikiran dan konsekuensinya sangat merugikan bagi individu dan masyarakat.[3] Karena itu, antara berpikir dan berakidah terdapat perbedaan secara vertikal bukan secara horizontal; lantaran berakidah (akidah) terkadang bersumber dari berpikir (pikiran) ketika akidah dihasilkan dengan dalil dan logika yang benar. Dan terkadang dikarenakan sikap fanatik dan kebiasan batil. Jelas bahwa Islam sekali-kali tidak akan pernah menerima sebuah akidah dan keyakinan yang berakar pada perasaan, kebiasan batil, taklid buta dan fanatisme jahiliyah.
Kebebasan berpikir dalam Islam
Kendati Islam dalam beberapa hal tertentu melarang manusia untuk berpikir seperti berpikir tentang Dzat Ilahi[4] akan tetapi secara umum Islam setuju dengan kebebasan berpikir.
Dalam pandangan Islam, seorang Muslim, di samping ia memiliki hak untuk berpikir ia juga harus menerima keyakinan dan prinsip-prinsip agama (tauhid, keadilan, kenabian, imamah dan hari kebangkitan) dengan berpikir dan argumentasi. Tatkala ia menemukan kritikan dalam benaknya, ia memiliki hak untuk melontarkan kritikan tersebut di hadapan orang-orang berilmu sehingga kritikannya dapat dijawab dan seterusnya. Berbeda dengan disebutkan dalam agama Kristen dimana mereka meyakini tentang adanya daerah terlarang dan mereka menyebut daerah terlarang ini sebagai iman sedemikian sehingga di tempat tersebut akal tidak boleh campur tangan.
Pada kebanyakan ayat al-Qur'an manusia diseru untuk berpikir, berinteleksi dan berkontemplasi di alam semesta. Manusia dituntut dengan energi akalnya, untuk mengenal segala yang menguntungkan dan merugikan bagi dirinya. Ia diminta untuk bebas dari segala pasungan, tawanan, kesesatan dan penyimpangan, sehingga ia dengan mudah melenggang melaju ke depan untuk meraup kesempurnaan. "Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap penjuru dunia dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhan-mu tidak cukup (bagimu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?" (Qs. Fusshilat [41]:53)
"Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan?" (Qs. Al-Dzariyat [51]:20-21)[5]
Pada kebanyakan riwayat juga berpikir banyak mendapatkan penegasan; seperti riwayat yang diriwayatkan dari Imam Shadiq yang menukil dari Imam Ali As: "Berilah cahaya pada hatimu dengan berpikir."[6] Dalam hadis ini, Imam Shadiq As memandang terjaganya dan berpengetahuannya hati dengan berpikir; karena tatkala seorang manusia berpikir tentang sesuatu maka hal itu akan menjadi keyakinannya dan beramal sesuai dengan keyakinan tersebut. Atau Imam Shadiq As bersabda: "Senantiasa berpikir tentang Allah Swt dan kekuasaan-Nya merupakan sebaik-baik ibadah."[7]
Para Nabi Allah juga pada masanya adalah satu-satunya orang yang memiliki sebuah pikiran bebas dan melihat seluruh manusia terjerat dalam sebuah rantai keyakinan yang lemah dan semata-mata bertaklid buta yang sama sekali tidak berpikir. Para nabi Allah berupaya untuk melepaskan mereka dari jeratan keyakinan model ini.
Akan tetapi harus diperhatikan bahwa berpikir sucilah yang memainkan peran penting dan memiliki pengaruh praktis dalam pembinaan dan perjalanan manusia menuju kesempurnaan. Atas dasar ini, Islam melarang orang untuk berpikir pada sebagian hal tertentu dan memandangnya sebagai jeratan setan untuk menyesatkan manusia. Islam melarang umatnya untuk tidak berpikir tentang sesuatu yang tidak mungkin dapat ia capai pada dunia material ini[8] atau berpikir tentang dzat Ilahi. [IQuest]
[1]. Murtadha Muthahhari, Peiramun-e Inqilâb-e Islâmi, dengan sedikit perubahan, hal. 7-8, Intisyarat-e Shadra, cetakan 16, 1378 S.
[2]. Lisân al-'Arab, jil. 3, klausul 'a-q-d.
[3]. Peiramun-e Inqilab-e Islami, hal. 8.
[4]. Larangan ini disampaikan karena mengingat manusia adalah makhluk yang terbatas dan berpikirnya makhluk yang serba terbatas pada Zat yang serba tak-terbatas adalah suatu hal yang mustahil.
[5]. Diadaptasi dari Indeks 1619 (Site: 1671).
[6]. Ushûl Kâfi, jil. 2, hal. 54, Kitab Iman wa Tafakkur, bab Tafakkur.
[7]. Ushûl Kâfi, jil. 2, hal. 55.
[8]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, hal. 58, hal. 209-210, Muassasah Wafa, Beirut, Libanon.