Please Wait
7192
Dalam menjawab pertanyaan seperti ini harus dikatakan bahwa dalil-dalil dan riwayat-riwayat yang digunakan untuk menetapkan wali fakih tidak dapat digunakan untuk mengukuhkan kesatuan wali fakih. Riwayat-riwayat ini hanya mencukupkan diri dengan menunjukkan kriteria-kriteria dan tidak menyinggung masalah kesatuan dan kejamakan wali fakih. Sebaliknya dua opsi, kesatuan (wahdat) dan kejamakan (ta’addud) wali fakih, boleh saja dan legal bersandar pada riwayat-riwayat ini. Namun ulama harus memilih pilihan yang lebih layak.
Karena itu, dalam hal ini, Dewan Garda Konstitusi pada tahun 1358 H (1979 M), dengan menetapkan sebuah pasal berkaitan dengan dewan kepemimpinan, menyediakan ruang (membuat pasal) bagi tersedianya wali fakih yang lebih dari satu. Namun dalam meninjau kembali pasal tersebut, setelah pembahasan yang melibatkan para ahli, kesatuan pemimpin (wali fakih) telah diratifikasi dan rakyat juga memberikan suaranya memilih wali fakih tunggal.
Sebagaimana yang telah disinggung, bukan kejamakan seperti itu dan bukan kesatuan seperti ini (baca: ekstrem), tidak satu pun yang bertentangan dengan riwayat, bahkan aturan-aturan yang berkaitan dengan kesatuan dan kejamakan wali fakih telah diratifikasi berdasarkan pandangan para ahli dan suara rakyat.
Namun perlu dicamkan bahwa terdapat beberapa bukti yang dapat dijadikan sebagai dasar kesimpulan bahwa kesatuan garis komando dalam sebuah komunitas merupakan pilihan yang lebih baik daripada banyaknya garis komando. Sebagai contoh, meski Amirul Mukminin Ali As dan dua putranya demikian juga para maksum, memiliki kelayakan untuk memerintah dan menjadi imam bagi masyarakat, namun pada praktiknya, salah satunya yang menjabat secara langsung sebagai pemimpin masyarakat.
Terdapat sebuah riwayat dari Rasulullah Saw terkait dengan perang Mu’tah dimana beliau menyiapkan tiga orang (Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib dan Abdullah bin Rawaha) secara khusus bagi perang ini dan tidak dalam bentuk kolegial dan kolektif, melainkan satu setelah yang lain yang memikul tanggung jawab sebagai panglima perang dan setelah itu dalam bentuk pengangkatan umum, Rasulullah Saw menyatakan bahwa kaum Muslimin sendiri yang harus memilih satu orang sebagai pemimpin dan supaya mereka patuhi.[1]
Akan tetapi riwayat seperti ini tidak dapat dipandang sebagai sebuah dalil definitif atas keharusan adanya satu wali fakih, melainkan sebagaimana yang telah dijelaskan, kesatuan wali fakih dalam konstitusi Republik Islam Iran, tersusun oleh pandangan para pakar dalam Dewan Peninjauan Ulang Konstitusi dan pada akhirnya merupakan suara rakyat.
Jawaban Ayatullah Mahdi Hadawi Teherani (Semoga Allah Swt Merlanggengkan Keberkahannya) sekaitan dengan pertanyaan ini adalah sebagai berikut:
- Sebagian fakih telah sampai pada sebuah kesimpulan dari serentetan riwayat bahwa wilâyah (otoritas untuk memerintah) dimiliki oleh seorang juris yang lebih pandai (a’lam). Sebagaimana mayoritas juris berpandangan bahwa setiap fakih, adil, memenuhi seluruh kriteria (kelayakan ilmu, praktik dan manejerial untuk menjabat posisi sebagai pemimpin) pada masa ghaibat (okultasi) memiliki wilâyah dari sisi syara. Namun apabila seseorang dari orang-orang yang memenuhi kriteria, disebabkan oleh penerimaan masyarakat kepadanya, maka ia dapat menerapkan wilâyah (memerintah) kepada mereka. Pada bidang yang ia pimpin, tiada seorang pun juris yang memiliki hak untuk menentangnya dan hukumnya berlaku bagi setiap orang serta tiada seorang pun yang dapat menentangnya secara praktik bahkan oleh seorang wali sendiri.
- Dari sudut pandang fikih, terdapat kemungkinan mengatur masyarakat secara kolektif dan kolegial oleh para juris adil dan memenuhi syarat-syarat yang diterima oleh masyarakat dan tiada halangannya secara syar’i. Meski dalam kebanyakan kondisi sulit untuk mewujudkan hal ini atau konsep kepimpinan kolegial seperti ini tidak begitu berguna. [iQuest]
Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat beberapa indeks terkait sebagai berikut:
- Indeks: Wewenang Wilayah Fakih terkait Dengan Negeri-negeri Lainnya, Pertanyaan No. 10764 (Site: id10704)
- Indeks: Kejamakan atau Kesatuan Wali Fakih, Pertanyaan 7178 (Site: 7937)
[1]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 21, hal. 55, Hadis 9, Muassasah al-Wafa, Beirut, 1404 H.