Please Wait
83349
Redaksi setan dan jin dalam beberapa kesempatan disebutkan dalam al-Qur’an, bahkan terdapat surah dengan nama Jin. Setan adalah nama umum yang dinisbahkan kepada siapa saja yang telah tergelincir dari jalan yang benar, baik itu manusia atau selain dari kalalangan manusia. Iblis juga adalah nama khusus yang merupakan nama setan yang menggoda Nabi Adam As. Bahkan saat ini juga mereka dan dengan bala tentaranya berusaha menggoda manusia.
Jin secara leksikal bermakna tersembunyi dan ditujukan kepada eksisten yang penciptaannya dari api. Jin bahannya dari materi, memiliki ruh dan badan. Jin memiliki taklif dan karena itu mereka bisa saja mukmin atau kafir dsb.
Ada sebagian orang yang mempercayai keberadaan jin dari cerita-cerita yang diambil dari khayalan orang-orang semata. Sebagiannya lagi ada yang beranggapan bahwa jin sama sekali tidak memiliki wujud luar dan jin hanyalah mitos semata.
Dari beberapa ayat dan riwayat bisa disimpulkan bahwa bangsa jin adalah makhluk yang kuat. Sebagai contoh dalam surah an-Naml, ayat 30 dimana dalam surah tersebut Nabi Sulaiman As tidak mengingkari pernyataan jin Ifrit. Tapi harus diperhatikan bahwa hal ini tidak dapat disimpulkan bahwa jin dapat melakukan segala hal, apalagi hal-hal yang dapat membuat seseorang menjadi syirik. Sebab sebagaimana kita ketahui bahwa tidak ada satupun makhluk yang bisa melakukan sesuatu kecuali mendapatkan izin dari Allah Swt. Oleh karena itu kekuatan setan dalam menyesatkan atau menggelincirkan hanya dapat terlaksana bagi orang-orang yang keluar dari wilayah penghambaan dan tauhid, dan mereka lebih memilih akan bisikan-bisikan setan. Sebagaimana setan sendiri yang menyatakan bahwa saya tidak memiliki kekuasaan terhadap hamba-hamba yang mukhlas.[i] Lagi pula wilayah setan terhadap manusia hanya dalam batasan was-was atau bisikan semata, dan tidak sampai menghilangkan ikhtiar yang ada pada manusia. Dikarenakan setan adalah wujud mitsâli dan khiyâli yang tidak akan pernah sampai kepada makam mukhlas yaitu makam akli atau makam manusia sempurna. Ketaatan manusia kepada nafsu ammarah akan memberikan jalan kepada setan untuk mendominasi manusia, kemudian secara perlahan-lahan manusia akan jatuh kedalam perangkap setan. Akhirnya manusia akan terjerembab pada jalan kesesatan. Satu satunya jalan agar bisa terhindar dari bisikan dan was-was setan adalah perhatian penuh kepada Tuhan dan mengerdilkan diri dalam berhadapan dengan Singgasana Tuhan. Allah Swt berfirman, "Bahwa sesungguhnya engkau tidak akan menguasai hamba-hamba-Ku. Kecuali orang-orang sesat yang mengikutimu." (Qs. Al-Hijr [15]:42)
Pertama-tama kita akan meneliti redaksi setan dan jin serta hubungan di antaranya termasuk batasan dominasi setan.
Makna kata setan dan jin, setan bermakna menjauhi dan memfitnah. Redaksi setan ini diucapkan sebanyak 71 kali secara tunggal dan 17 kali secara jamak dalam al-Qur’an.
Makna leksikal
Menurut Thabarsi, Raghib serta Ibn Atsir dan lainnya huruf “nun“ yang ada dalam redaksi kata “syaitan adalah susunan asli dan termasuk dalam suku katanya, maksudnya bahwa kata “syaitan“ berasal dari “syatana yasytunu“ yang bermakna menjauhi (syatana 'anhu artinya ba'uda). Karena itu setan bermakna menjauhi dari kebaikan.[1] Dari beberapa ayat dan riwayat dapat dipahami bahwa setan berasal dari bangsa jin.[2]
Harus dipahami bahwa setan adalah kata umum sedangkan iblis kata khusus. Dalam kata lain setan dinisbahkan kepada setiap makhluk yang menyesatkan, thagut dan memfitnah, baik itu dari golongan manusia ataupun selainnya. Sedangkan iblis adalah nama dari golongan setan yang menggoda Nabi Adam As dan saat ini pun mereka dengan bala tentaranya senantiasa menggoda manusia.[3]
Kata jin
Kata ini disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 22 kali. Jin secara leksikal bermakna tersembunyi. Jin ini diciptakan dari api[4] atau dicampur dengan api.[5] Jin dalam bahasa al-Qur’an diperuntukkan pada sebuah makhluk yang memiliki kesadaran dan iradah, namun dikarenakan tabiat yang ia miliki maka jin tidak bisa diindrai oleh manusia. Dalam artian lain bahwa dalam kondisi biasa jin tidak dapat dipersepsi dengan persepsi indrawi. Akan tetapi di sisi lain jin seperti manusia karena jin juga diberikan taklif dan juga akan dibangkitkan kelak di akhirat. Oleh karen itu jin bisa saja taat dan bisa juga bermaksiat, bisa mukmin dan bisa juga musyrik.[6]
Dalam pandangan Mulla Sadra, “jin adalah sebuah wujud yang hidup di alam materi dan di alam ghaib atau mitsal, akan tetapi wujudnya di alam ini tidak memiliki materi seperti yang dimiliki manusia, namun jin juga diberikan ruh dan jiwa. Berkenaan dengan sebab kemunculannya di waktu tertentu hal itu dikarenakan bahwa jin memiliki materi yang sangat halus dan lembut. Oleh karena itulah jin bisa memisahkan dan mengumpulkan badannya, dan di saat jin mengumpulkan badannya ia bisa tegak dan dapat disaksikan oleh manusia. Namun tatkala ia memisahkan badannya menjadi sangat halus, ringan dan akhirnya tersembunyi dari penglihatan manusia. Persis seperti udara dimana disaat mengalami pengembunan maka bisa disaksikan oleh manusia karena berbentuk seperti awan namun di saat terpisah maka akan kembali menjadi sangat halus dan tidak dapat diindrai oleh manusia.[7] Pada hakikatnya jin seperti manusia memiliki ruh dan badan, memiliki kesadaran, iradah dan gerak. Sebagian dari mereka laki-laki dan sebagian dari mereka perempuan, mereka berkembang biak, memiliki tugas dan taklif. Dalam kehidupan mereka ada hidup dan mati dan berlaku juga keimanan dan kekufuran.
Hubungan antara konsep jin dan setan
Setan dalam makna aslinya adalah sebuah konsep penyifatan yang bermakna busuk atau jahat. Dalam al-Qur’an pun mencirikan setan sedemikian. Akan tetapi terkadang dikhususkan kepada iblis dan terkadang juga digunakan lebih umum lagi kepada siapa saja yang telah dirasuki sifat jahat tersebut dalam jiwanya, bahkan al-Qur’an menegaskan bahwa setan itu bisa saja dari jin dan bisa saja dari manusia.[8]
Di antara golongan setan jin terdapat derajat-derajat dalam kesetanannya, makam setan yang paling tinggi diduduki oleh Iblis. Dalam Al-qur’an banyak dibahas mengenai iblis, salah satu pembahasannya adalah bahwa iblis berasal dari bangsa jin.[9]
Batasan dominasi setan
Dalam agama Dualis Iran kuno diyakini bahwa Ahriman adalah pencipta segala keburukan dan kejelekan termasuk makhluk-makhluk yang bisa membawa bencana seperti ular, kalajengking dll. Oleh karena itu boleh jadi ada yang menganggap bahwa setan yang disebutkan dalam al-Qur’an sama dengan Ahriman yang ada dalam agama Persia kuno. Tapi tentunya anggapan ini adalah anggapan yang salah karena jin dan setan sama sekali tidak berperan dalam penciptaan. Pencipta segala sesuatu adalah Allah Swt. Tidak ada sesuatu pun kecuali Allah Swt yang mampu untuk menciptakan dan memelihara. Al-Qur’an dalam menampik anggapan tersebut berkata, “Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, padahal Allah-lah yang menciptakan jin-jin itu, dan mereka membohong (dengan mengatakan) bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan, tanpa (berdasar) ilmu pengetahuan. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari sifat-sifat yang mereka berikan“. (Qs. Al-An'am [6]:100)
Batasan pengaruh setan adalah memberikan was-was dan mengajak[10] serta menunjukkan sesuatu yang seolah-olah baik padahal hakikatnya buruk begitupun sebaliknya. Hanya ini saja batasan pengaruh setan terhadap manusia dan tidak ada satupun makhluk yang dapat memaksa seseorang untuk mengerjakan sesuatu. Oleh karena itu apa pun yang dikatakan oleh Al-qur’an berkenaan dengan perbuatan jin maka kembali kepada prinsip di atas.[11]
Tentunya baik malaikat maupun jin masing – masing memiliki kekuatan dan masing – masing memiliki kemampuan untuk turun kepada manusia. Turunnya malaikat tidak hanya berlaku pada kondisi ihtidhar ( kesadaran ilahiyyah ), akan tetapi siapa saja yang mengucapkan “Allahu Akbar“ dalam keadaan berdiri maka malaikat akan turun kepadanya.[12] Demikian pula dengan jin memiliki kekuatan terbatas tertentu. Salah satu kekuatannya jin mampu mengerjakan dengan cepat pekerjaan yang diluar kebiasaan. Walaupun dalam berfikir jin tergolong lemah namun kekuatan geraknya luar biasa. Jin bisa memindahkan batu yang sangat berat dalam waktu yang sangat singkat. Akan tetapi pencerapan akalnya sangat lemah dan paling maksimal pencerapannya hanya bisa sampai pada imaginasi dan delusi (wahm). Berkenaan bahwa jin hidup di alam materi bisa kita dapatkan dari al-Qur’an. Dalam cerita Nabi Sulaiman As ketika jin Ifrit mengatakan bahwa ia dapat memindahkan Istana Balqis sebelum Nabi Sulaiman As bangkit dari tempatnya.[13] Nabi Sulaiman As tidak menafikan kekuatan jin tersebut, walaupun tidak ditegaskan dalam al-Qur’an apakah jin tersebut memindahkannya atau tidak.[14] Jin dan setan-setan dari golongan jin mungkin juga mendengarkan al-Qur’an ataupun lainnya.
Cara setan menggoda
Setan bisa menyerang manusia dengan berbagai cara, terkadang dari depan, terkadang dari belakang, dari kanan dan kiri. Sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an: “Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka.“ (Qs. Al-A'raf [7]:17)
Pekerjaan yang paling penting yang dikerjakan setan setelah mendekati manusia adalah mendominasi pikiran dan imajinasi manusia.[15] Pada hakikatnya setan memiliki beberapa tempat penyerangan dan dalam kesempatan kali ini akan kami angkat beberapa hal tersebut:
1. Setan terkadang menyerang dalam wilayah ketaatan sehingga mengeluarkan manusia dari wilayah ketaatan. Setan berusaha agar manusia beramal namun tidak berdasarkan wahyu, akan tetapi dikarenakan keinginannya (hawa nafsu) sendiri. Padahal dalam wilayah ketaatan, manusia adalah hamba Tuhan dimana seluruh perbuatannya dilakukan berdasarkan wahyu.
2. Terkadang setan menyerang ke wilayah akal. Setan berusaha agar supaya manusia tidak berfikir dengan menggunakan burhan dalam hal-hal yang berkaitan dengan ketuhanan, agar manusia cukup meyakininya saja. Dalil yang kurang sempurna setan tunjukkan kepada manusia seolah-olah dalil tersebut adalah dalil yang sempurna agar manusia jauh dari pemikiran yang murni.
3. Terkadang setan menyerang pada wilayah penyingkapan (syuhud). Manusia mampu menyaksikan alam rububiyyah sebagaimana adanya dengan hati dan tanpa perantara lafaz, pahaman dan dalil-dalil. Setan akan menyerang manusia dalam wilayah syuhud agar manusia tidak bisa menyaksikan realitas sebagaimana adanya (as it is) atau bahkan mempengaruhi manusia untuk tidak meyakini apa yang manusia saksikan. Pada hakikatnya usaha pertama setan adalah mempengaruhi manusia dalam penyaksiaannya kemudian pada pemikirannya baru kemudian masuk ke wilayah amal perbuatan.[16]
Dari beberapa ayat dan riwayat oleh para maksumin As kita dapat menyimpulkan bahwa setan dan para bala tentaranya hanya dapat mempengaruhi dan menggoda orang-orang yang telah keluar dari wilayah ketaatan atau penghambaan kepada Tuhan. Tentunya karena kelalaiannya pula mereka menyembah diri dan hawa nafsunya, dan pada akhirnya memberikan ruang pada setan untuk mempengaruhinya. Namun jika seseorang benar-benar hamba yang shaleh dan mukhlas maka ia aman dan selamat dari godaan setan. Sebagaimana yang di jelaskan dalam al-Qur’an bahwa setan tidak mampu untuk menggoda orang-orang yang mukhlas, “Iblis menjawab, “Demi kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlas (yang benar-benar ikhlas ) di antara mereka."
Oleh karena itu setan hanya bisa sampai pada alam mitsal dan alam barzakhi, namun setan tidak akan bisa menembus sampai pada alam akal. Hal inilah yang membuat setan tidak dapat mempengaruhi manusia sempurna (insan kamil) dan hamba yang mukhlas, dikarenakan setan tidak sampai pada makam akal. Baik itu dalam akal teoritis maupun dalam akal praktis. Akan tetapi setan dapat menembus alam setelahya yaitu pada alam mitsal dan alam materi. Setan senantiasa menyerang manusia dan sangat hasud terhadap manusia sempurna.
Orang-orang awam acapkali membuat cerita-cerita fiktif yang berkenaan dengan jin yang sama sekali tidak sesuai dengan akal dan logika. Misalnya jika ada orang yang membuang air panas maka akan membuat rumah-rumah jin terbakar, akibatnya jin akan marah dan akan mengganggu orang tersebut. Hal ini sungguh jauh dari logika. Namun jika kita bisa menjauhkan cerita-cerita fiktif tersebut maka kita akan mengetahui hakikat jin yang sebenarnya. Berkenaan dengan mereka yang mengingkari jin kita bisa mengatakan kepada mereka bahwa tidak ada dalil sama sekali untuk membuktikan sebuah asumsi yang menganggap bahwa keberadaan ini hanya meliputi kepada sesuatu yang di indrai semata, bahkan keberadaan yang tidak dapat diindrai derajatnya lebih banyak. Salah satu riwayat dari Rasulullah Saw, "Allah Swt menciptakan jin dengan lima golongan. Satu golongan seperti angin di udara (non-kasat mata), satu golongan seperti ular, satu golongan seperti kalajengking, satu golongan seperti serangga, dan satu golongan laksana Bani Adam Adam yang terdapat perhitungan dan balasan pada mereka."[17]
Sebagaimana yang dinukil oleh sejarah bagaimana orang-orang menceritakan tentang jin, mulai sejak dahulu hingga sekarang. Kita akan melihat bahwa cerita-cerita tersebut dipenuhi dengan cerita-cerita takhayul. Akhirnya terdapat sebagian orang yang mengingkari keberadaan jin. Mereka menganggap bahwa jin hanyalah takhayul semata yang sengaja dibuat oleh orang-orang tertentu. Di sisi lain ada juga orang yang menceritakan jin dengan melampaui batas. Keduanya kelompok tersebut jatuh pada dua titik ekstrim. Agama Islam menjelaskan dan membuktikan hakikat keberadaannya serta membersihkan pemahaman manusia tentang jin yang banyak dicampur dengan cerita-cerita takhayul. Oleh karena itu dalam al-Qur’an terdapat surah khusus yang berkenaan dengan jin.[18]
Perlu kami ingatkan bahwa dalam sistem alam semesta, baik itu malaikat, jin dan manusia dan seluruh eksisten yang kasat mata dan non-kasat mata semuanya berasal dari Tuhan. Semua makhluk akan memberikan pengaruh hanya jika mendapatkan izin dari Allah Swt, tentunya dengan batasan yang dimiliki oleh makhluk itu sendiri.
Dalam al-Qur’an Tuhan senantiasa mengingatkan kita bahwa sebab-sebab materi dan sebab-sebab non-materi tidak ada yang independen dan mandiri. Kehidupan, kematian, untung dan rugi semuanya berada dalam kuasa Ilahi. Oleh karena itu kita harus senantiasa mengingat-Nya dalam seluruh kondisi dan bertawakkal kepada-Nya serta memohon perlindungan kepada-Nya. Jika kita mampu melakukannya maka tidak satupun makhluk yang akan mampu menghancurkan kita, sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an, “Sedang pembicaraan itu tidaklah memberi mudarat sedikit pun kepada mereka, kecuali dengan izin Allah." (Qs. Al-Mujadilah [58]:10)
Allah Swt senantiasa memperingatkan manusia untuk menjauhi setan dari kalangan jin maupun dari golongan manusia. Allah Swt berfirman, "Jangan sekali-kali kalian mendekati mereka, setan adalah musuh Allah dan musuh kalian yang sangat jelas." Setan pun telah berjanji bahwa mereka akan menggelincirkan manusia. akan tetapi kekuatan setan terbatas hanya dalam membisikkan atau mewas-wasi manusia dan setan sama sekali tidak mampu untuk menghilangkan ikhtiyar manusia. Pusat pemikiran setan pada nafsu ammarah, oleh karena itu nafsu ammarah sebagai faktor utama sehingga setan dapat mempengaruhi manusia. sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-qur’an, “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat nadinya.“ (Qs. Al-Qaf [50]:16) Dalam ayat yang lain Allah Swt berfirman, “Bahwa sesungguhnya engkau tidak akan dapat menguasai hamba-hamba-Ku, kecuali orang-orang sesat yang mengikutmu." (Qs. Al-Hijr [15]:42)
Literatur untuk telaah lebih jauh:
1. Gharâib wa 'Ajâib al-Jin, Badaruddin bin Abdullah as-Syabli, diterjemahkan dan dikomentari oleh Ibrahim Muhammad Al-jamal.
2. Jin wa Syaita, Ali Ridha Rijali, Nasyr-e Nubugh.
3. Al-Jin fi al-Kitâb wa al-Sunnah, I’dad Zaribn Syahzuddin, Beirut, 1996.
4. Al-Jin fi al-Qur’ân wa al-Sunnah, Abdul Amir ‘ala muhanna, beirut, 1992.
5. Al-Jin bain al-Isyârat al-Qarâniyah wa ‘ilm al-Fiziya, Abdurrahman Muhammad al-Rifa’i. 1997.
6. Indeks: Setan, dari golongan malaikat atau jin?
[1]. Sayyid Ali Akbar Qarasyi, Qâmus al-Qur’ân, klausul sya-t-n
[2]. "Aku sekali-kali tidak menghadirkan mereka (iblis dan anak cucunya) untuk menyaksikan penciptaan langit dan bumi dan tidak (pula) penciptaan diri mereka sendiri; dan tidaklah Aku mengambil orang-orang yang menyesatkan itu sebagai penolong." (Qs. Al-Kahfi [18]: 51)
[3]. Makarim Syirazi, Tafsir Nemuneh, jil. 29, hal. 192.
[4]. "Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas." (Qs. Hijr [15]: 27)
[5]. "Dan Dia menciptakan jin dari nyala api." (Qs. Al-Rahman [55]:15)
[6]. Qamus al-Qur’an, klausul j-i-n
[7]. Ibrahim Ababsi, Dustan-e Syegift Angiz-e darbare Din, hal. 25.
[8]. "Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin; sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah menawan untuk menipu (manusia). Jika Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya (dan Dia pasti mencegah mereka). Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. " (Qs.Al-An’am [6]:112)
[9]. "Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam.” Maka sujudlah mereka kecuali iblis. Dia adalah dari golongan jin, lalu mendurhakai perintah Tuhannya." (Qs. Al-Kahfi [18]:50)
[10]. "Dan setan berkata tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan, “Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan aku pun telah menjanjikan kepadamu, tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekadar) aku menyerumu, lalu kamu mematuhi seruanku. Oleh sebab itu janganlah kamu mencercaku, akan tetapi cercalah dirimu sendiri." (Qs. Ibrahim [14], 22
[11]. Kamus al-Qur’an, klausul syai-t-an
[12]. "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan) , “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu." (Qs. Fusshilat [41]:30)
[13]. Lihat Qs. an-Naml (27):30-40.
[14]. Abdullah Jawadi Amuli, Tafsir-e Mau'dhui, jil. 1, hal. 119.
[15]. Abdullah Jawadi Amuli, Tasnim, jil. 3, hal. 393
[16]. Abdullah Jawadi Amuli, Tafsir Maudhui', jil. 12, hal. 400.
[17]. Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemuneh, jil. 29 hal. 157. Bihâr al-Anwâr, jil. 60, hal. 268
[18]. Sayyid Quthub, Tafsir fi Zhilâlil Qur’ân, jil. 6 , hal. 27 - 28