Please Wait
Hits
6656
6656
Tanggal Dimuat:
2013/01/23
Ringkasan Pertanyaan
Apakah kandungan hadis berikut ini ada benarnya bahwa Imam Ali As bersabda, “Ya Allah, perbaikilah kami, dengan apa yang engkau perbaiki dengannya para khulafa’ rasyidin?”
Pertanyaan
Tolong jelaskan hadis berikut ini. Apakah hadis seperti ini terdapat pada literatur primer dan standar Syiah?
“Ja’far bin Muhammad meriwayatkan dari ayahnya, bahwa seseorang dari Quraisy datang menghadap Amirul Mukminin, lalu berkata: aku mendengar engkau berkata dalam khotbah: “Ya Allah, perbaikilah kami, dengan apa yang engkau perbaiki dengannya para khulafa’ rasyidin”, siapakah mereka? Ali menjawab: mereka adalah kedua kekasihku, kedua pamanku, Abubakar dan Umar, dua imam yang membawa petunjuk, dua syaikhul Islam, dua ksatria Quraisy, dua orang yang menjadi panutan setelah Rasulullah saaw, siapa yang mengikuti jejak mereka, pasti terjaga (dari kesesatan).” Al-Syâfî fi al-Imâmah, Syarif Murtadha, jil. 3, hal 93-94
«وروى جعفر بن محمد عن أبیه أن رجلا من قریش جاء إلى أمیر المؤمنین(ع) فقال سمعتک تقول فی الخطبة آنفا: اللهم أصلحنا بما أصلحت به الخلفاء الراشدین فمن هم، قال: حبیبای وعمای أبو بکر وعمر إماما الهدى وشیخا الاسلام ورجلا قریش، والمقتدى بهما بعد رسول الله(ص) من اقتدى بهما عصم، ومن اتبع آثارهما هدی إلى صراط مستقیم»
Jawaban Global
Buku “al-Syâfi fi al-Imâmah” merupakan karya Sayid Murtadha dalam menjawab sebuah buku yang berjudul al-Mughni karya Qadhi Abdul Jabbar.
Kita tahu bahwa di antara dua ulama terdahulu (qadim) terdapat tradisi seperti ini bahwa dalam menyanggah sebuah buku mereka mengutip persis apa yang disebutkan dalam buku yang disanggah kemudian mereka memberikan kritikan atasnya.
Riwayat yang dijelaskan pada buku al-Syâfi pada dasarnya merupakan nukilan dari buku Qadhi Abdul Jabbar dimana Sayid Murtadha setelah menjelaskan obyek kritikan, kemudian melontarkan kritikannya.
Karena itu, sebagaimana riwayat ini tidak disebutkan dalam kitab riwayat Syiah, riwayat semacam ini tidak diterima oleh Sayid Murtadha.
Kita tahu bahwa di antara dua ulama terdahulu (qadim) terdapat tradisi seperti ini bahwa dalam menyanggah sebuah buku mereka mengutip persis apa yang disebutkan dalam buku yang disanggah kemudian mereka memberikan kritikan atasnya.
Riwayat yang dijelaskan pada buku al-Syâfi pada dasarnya merupakan nukilan dari buku Qadhi Abdul Jabbar dimana Sayid Murtadha setelah menjelaskan obyek kritikan, kemudian melontarkan kritikannya.
Karena itu, sebagaimana riwayat ini tidak disebutkan dalam kitab riwayat Syiah, riwayat semacam ini tidak diterima oleh Sayid Murtadha.
Jawaban Detil
Riwayat yang diklaim sebagai dinukil dari Imam Shadiq As dari ayah-ayahnya dari Amirul Mukminin Ali As tidak ada satu pun disebutkan dalam kitab-kitab riwayat Syiah.
Benar dalam buku al-Syâfi fi al-Imâmah karya Sayid Murtadha riwayat ini dijumpai seperti ini. Sayid Murtadha yang lebih dikenal sebagai Alamal Huda merupakan salah seorang ulama besar Syiah dan salah seorang murid Syaikh Mufid.
Sebelum membahas riwayat ini ada baiknya kami jelaskan sedikit tentang kitab “al-Syafi fi al-Imamah” sebagai berikut:
“Salah satu hal yang menjadi perhatian Sayid Murtadha adalah menjawab pelbagai masalah dan kesamaran dalam bidang akidah. Qadhi Abdul Jabbar Muktazili, salah seorang ulama besar Muktazilah Ahlusunnah, menulis sebuah buku bernama al-Mughni. Dalam buku ini Qadhi Abdul Jabbar berusaha merobohkan fondasi keyakinan mazhab Imamiyah Sayid Murtadha sebagai lawannya menulis sebuah buku al-Syâfi fi al-Imamah yang dapat dengan baik menolak pelbagai tuduhan dan khayalan Qadhi Abdul Jabbar. Seorang alim Sunni lainnya bernama Abul Hasan Bashri menulis bantahan atas kitab al-Syafi karya Sayid Murtadha. Kemudian, Sayid Murtadha menginstruksikan salah seorang muridnya bernama Salar bin Abdul Aziz untuk menulis buku menjawab pelbagai pertanyaan Abul Hasan Bashri. Salar dalam membantah buku Abul Hasan Bashri menulis sebuah buku bernama “Al-Radd ‘ala Abi al-Hasan al-Bashri fi Naqdhihi Kitâb al-Syâfi fi al-Imâmah.”[1]
Syaikh Thusi, yang meringkas kitab ini, berkata tentang buku ini, “Tatkala saya melihat buku Sayid Murtadha ini, saya menemukan sesuatu yang saya cari-cari selama ini. Buku ini telah sampai pada tujuan finalnya. Buku ini mengumpulkan pelbagai kesamaran (syubhat) baru dan lama para penentang kemudian memberikan jawaban atasnya. Namun objeksi yang terdapat pada kitab ini tidak ditulis berdasarkan metode para penulis kitab standar; karena mereka pertama-tama mengemukan pelbagai syubhat dan kemudian menjawabnya dengan dalil-dalil, namun model singkret yang dilakukan oleh Sayid Murtadha ini tidak akan begitu jelas kecuali bagi sebagian orang ahli ilmu; karena itu para alim besar menginstruksikan untuk meringkas buku ini kemudian saya pun mulai meringkas buku ini.”[2]
Seorang alim kontemporer, Syaikh Mughniyah menyampaikan pendapatnya tentang tentang buku ini, “(Dengan segala kebaikan dan keunikan buku ini) sayang sekali literatur-literatur buku ini tidak dicatat dan dicetak. Bab-bab buku ini terkadang tidak runut dan sistematis. Buku ini dengan segala kebesarannya yang hamper mencapai seribu halaman, ‘apabila tiada “bismillah” pada awalnya dan doa pada akhirnya, maka awal dan akhirnya juga tidak ketahuan. Ucapan Abdul Jabbar bercampur satu sama lain dengan ucapan Syarif Murtadha sehingga seolah-olah ucapan satu orang, atau seolah sebuah baju yang dijahit dengan satu kancing.” Sebagimana yang dapat dipahami dari ucapan Syaikh Mughniyah dalam buku ini, ucapan-ucapan Qadhi Abdul Jabbar bercampur satu sama lain dengan ucapan Sayid Murtadha, sedemikian sehingga terkadang cukup susah membedakan mana ucapan Sayid Murtadha dan mana ucapan Qadhi Abdul Jabbar.”[3]
Nah dengan memperhatikan pelbagai tipologi buku maka kita dapat dengan mudah memberikan penilaian terhadap riwayat yang diajukan pada pertanyaan di atas.
Riwayat tersebut disebutkan pada jilid ketiga buku ini. Sayid Murtadha berkata, “Dan disebutkan: Ikutilah kedua khalifah setelahku dan diriwayatkan bahwa Ja’far bin Muhammad meriwayatkan dari Amirul Mukminin bahwa…”[4] Sebagaimana jelas dari teks buku ini, Sayid Murtadha dalam hal ini berada pada tataran menukil ucapan Qadhi Abdul Jabbar dan jelas bahwa hal itu bukan merupakan ucapan Sayid Murtadha.
Sayid Murtadha pada halaman ini, secara berurutan mengutip ucapan-ucapan Qadhi Abdul Jabbar terkait dengan masalah khilafah Rasulullah Saw[5] dan kemudian pada beberapa halaman berikutnya ia mulai melontarkan kritikan terhadap ucapan-ucapan tersebut.[6]
Sayid Murtadha dalam melontarkan kritik terhadap ucapan-ucapan Qadhi Abdul Jabbar. Ia membantah riwayat ini dan semisalnya kemudian berkata, “Riwayat-riwayat yang kami jadikan sebagai sandaran dalil adalah riwayat-riwayat yang diterima oleh kedua belah pihak (Syiah dan Sunni) dan riwayat yang Anda kutip ini hanya diterima oleh Anda sendiri. Tentu sangat berbeda. Dari sisi lainnya, kami memiliki riwayat mutawatir dan masyhur terkait dengan khilafah Amirul Mukminin Ali As karena beberapa riwayat ini tidak dapat Anda bantah.[7] [iQuest]
Benar dalam buku al-Syâfi fi al-Imâmah karya Sayid Murtadha riwayat ini dijumpai seperti ini. Sayid Murtadha yang lebih dikenal sebagai Alamal Huda merupakan salah seorang ulama besar Syiah dan salah seorang murid Syaikh Mufid.
Sebelum membahas riwayat ini ada baiknya kami jelaskan sedikit tentang kitab “al-Syafi fi al-Imamah” sebagai berikut:
“Salah satu hal yang menjadi perhatian Sayid Murtadha adalah menjawab pelbagai masalah dan kesamaran dalam bidang akidah. Qadhi Abdul Jabbar Muktazili, salah seorang ulama besar Muktazilah Ahlusunnah, menulis sebuah buku bernama al-Mughni. Dalam buku ini Qadhi Abdul Jabbar berusaha merobohkan fondasi keyakinan mazhab Imamiyah Sayid Murtadha sebagai lawannya menulis sebuah buku al-Syâfi fi al-Imamah yang dapat dengan baik menolak pelbagai tuduhan dan khayalan Qadhi Abdul Jabbar. Seorang alim Sunni lainnya bernama Abul Hasan Bashri menulis bantahan atas kitab al-Syafi karya Sayid Murtadha. Kemudian, Sayid Murtadha menginstruksikan salah seorang muridnya bernama Salar bin Abdul Aziz untuk menulis buku menjawab pelbagai pertanyaan Abul Hasan Bashri. Salar dalam membantah buku Abul Hasan Bashri menulis sebuah buku bernama “Al-Radd ‘ala Abi al-Hasan al-Bashri fi Naqdhihi Kitâb al-Syâfi fi al-Imâmah.”[1]
Syaikh Thusi, yang meringkas kitab ini, berkata tentang buku ini, “Tatkala saya melihat buku Sayid Murtadha ini, saya menemukan sesuatu yang saya cari-cari selama ini. Buku ini telah sampai pada tujuan finalnya. Buku ini mengumpulkan pelbagai kesamaran (syubhat) baru dan lama para penentang kemudian memberikan jawaban atasnya. Namun objeksi yang terdapat pada kitab ini tidak ditulis berdasarkan metode para penulis kitab standar; karena mereka pertama-tama mengemukan pelbagai syubhat dan kemudian menjawabnya dengan dalil-dalil, namun model singkret yang dilakukan oleh Sayid Murtadha ini tidak akan begitu jelas kecuali bagi sebagian orang ahli ilmu; karena itu para alim besar menginstruksikan untuk meringkas buku ini kemudian saya pun mulai meringkas buku ini.”[2]
Seorang alim kontemporer, Syaikh Mughniyah menyampaikan pendapatnya tentang tentang buku ini, “(Dengan segala kebaikan dan keunikan buku ini) sayang sekali literatur-literatur buku ini tidak dicatat dan dicetak. Bab-bab buku ini terkadang tidak runut dan sistematis. Buku ini dengan segala kebesarannya yang hamper mencapai seribu halaman, ‘apabila tiada “bismillah” pada awalnya dan doa pada akhirnya, maka awal dan akhirnya juga tidak ketahuan. Ucapan Abdul Jabbar bercampur satu sama lain dengan ucapan Syarif Murtadha sehingga seolah-olah ucapan satu orang, atau seolah sebuah baju yang dijahit dengan satu kancing.” Sebagimana yang dapat dipahami dari ucapan Syaikh Mughniyah dalam buku ini, ucapan-ucapan Qadhi Abdul Jabbar bercampur satu sama lain dengan ucapan Sayid Murtadha, sedemikian sehingga terkadang cukup susah membedakan mana ucapan Sayid Murtadha dan mana ucapan Qadhi Abdul Jabbar.”[3]
Nah dengan memperhatikan pelbagai tipologi buku maka kita dapat dengan mudah memberikan penilaian terhadap riwayat yang diajukan pada pertanyaan di atas.
Riwayat tersebut disebutkan pada jilid ketiga buku ini. Sayid Murtadha berkata, “Dan disebutkan: Ikutilah kedua khalifah setelahku dan diriwayatkan bahwa Ja’far bin Muhammad meriwayatkan dari Amirul Mukminin bahwa…”[4] Sebagaimana jelas dari teks buku ini, Sayid Murtadha dalam hal ini berada pada tataran menukil ucapan Qadhi Abdul Jabbar dan jelas bahwa hal itu bukan merupakan ucapan Sayid Murtadha.
Sayid Murtadha pada halaman ini, secara berurutan mengutip ucapan-ucapan Qadhi Abdul Jabbar terkait dengan masalah khilafah Rasulullah Saw[5] dan kemudian pada beberapa halaman berikutnya ia mulai melontarkan kritikan terhadap ucapan-ucapan tersebut.[6]
Sayid Murtadha dalam melontarkan kritik terhadap ucapan-ucapan Qadhi Abdul Jabbar. Ia membantah riwayat ini dan semisalnya kemudian berkata, “Riwayat-riwayat yang kami jadikan sebagai sandaran dalil adalah riwayat-riwayat yang diterima oleh kedua belah pihak (Syiah dan Sunni) dan riwayat yang Anda kutip ini hanya diterima oleh Anda sendiri. Tentu sangat berbeda. Dari sisi lainnya, kami memiliki riwayat mutawatir dan masyhur terkait dengan khilafah Amirul Mukminin Ali As karena beberapa riwayat ini tidak dapat Anda bantah.[7] [iQuest]
[1]. Diadaptasi dari Pertanyaan 5085.
[2]. Muhammad bin Hasan Thusi, Talkhish al-Syafi, jil. 1, hal. 61, Intisyarat Muhibbin, Qum, 1382 S.
[3]. Diadaptasi dari Pertanyaan 5085.
[4]. Sayid Murtadha, al-Syafi fi al-Imamah, jil. 3, hal. 93 dan 94, Ta’liqihi Abduzahra al-Husaini, Markaz Abhats al-‘Aqaidiyyah, Qum, Tanpa Tahun.
[5]. Al-Syafi fi al-Imamah, jil. 3, hal, hal. 93 – 96.
[6]. Ibid, jil. 3, hal. 96.
[7]. Ibid, hal. 98, 101 dan 102.
Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar