Please Wait
Hits
16116
16116
Tanggal Dimuat:
2013/10/26
Ringkasan Pertanyaan
Apa hukumnya nikah dengan niat talak dan nikah misyar?
Pertanyaan
Apa hukumnya nikah dengan niat talak? (menyinggung ihwal nikah misyar yang difatwakan oleh Mufti Wahabi).
Jawaban Global
Nikah (pernikahan) misyar adalah sebuah ijtihad dari pihak ulama Ahlusunnah guna menjawab kebutuhan sosial dari masyarakat sunni masa kini, yaitu sebuah kebutuhan yang telah dijawab oleh para Imam Ahlulbait As, khususnya Imam Ali As, pada masanya dengan berdalil dengan ayat dan hadis Nabi Saw, yaitu dengan mensyari’atkan (menghalalkan) nikah mut’ah.
“Nikah misyar” dan ”nikah dengan niat talak” merupakan dua istilah baru dalam fikih Ahlusunnah, yang masih diperdebatkan oleh para Ulama Ahlusunnah tentang hukumnya, meski pendapat dominan atau yang lebih bisa diterima oleh masyarakat Sunni adalah kebolehan dua jenis pernikahan tersebut.
“Nikah misyar” dan ”nikah dengan niat talak” merupakan dua istilah baru dalam fikih Ahlusunnah, yang masih diperdebatkan oleh para Ulama Ahlusunnah tentang hukumnya, meski pendapat dominan atau yang lebih bisa diterima oleh masyarakat Sunni adalah kebolehan dua jenis pernikahan tersebut.
Jawaban Detil
Salah satu yang menjadi perhatian fikih Syiah adalah nikah mut’ah, yang jika hal tersebut dilakasanakan sesuai dengan aturan dan syarat-syarat yang ada, maka akan banyak sekali permasalahan seksual yang terjadi di masyarakat yang dapat teratasi.
Imam Ali As berkata, “Kalau seandainya tidak ada larangan mut’ah dari Umar, maka tidak akan ada orang yang sampai berbuat zina kecuali orang yang hatinya keras.”[1]
Berbeda dengan mazhab Ahlulbait, Ahlusunnah bersikap keras (menolak), bahkan penolakan akan nikah mut’ah merupakan prinsip yang sama sekali tidak dapat dirubah menurut fikih dan mazhab mereka. Bertahun-tahun mereka menulis banyak buku guna menentang sunnah nabi tersebut, di samping itu mereka juga mencela Syiah, namun realitas sosial telah menyadarkan mereka bahwa saat ini mereka tidak memiliki pilihan lain selain menerima konsep pernikahan baru yang kemudian mereka sebut dengan nikah misyar.
Kalau kita telisik lebih jauh, substansi pernikahan tersebut sebenarnya adalah nikah mut’ah, hanya saja dalam nikah misyar tidak disebutkan adanya jangka waktu tertentu, meskipun temporalitasnya dapat diniatkan!
“Nikah misyar” dan ”nikah dengan niat talak” merupakan dua istilah baru dalam fikih Ahlusunnah, yang masih menjadi obyek perdebatan dan perselisihan pendapat semenjak dulu hingga sekarang di antara para Ulama Ahlusunnah tentang hukumnya, meskipun pendapat dominan atau yang lebih bisa diterima oleh masyarakat Sunni adalah kebolehan dua jenis pernikahan tersebut.
Definisi dan penjelasan (nikah misyar) menurut yang tertera di kitab-kitab Ahlusunnah:
Dua gambaran Nikah Misyar:
Pertama, nikah misyar adalah pernikahan yang memiliki segenap persyaratan seperti ijab, kabul, mahar, saksi – yang menurut fikih Ahlusunnah termasuk syarat sah nikah-, namun bedanya adalah pihak laki-laki tidak harus menanggung nafkah dan jaminan tempat tinggal bagi istri.
Kedua, kewajiban suami untuk menafkahi istrinya tidak gugur, hanya saja dengan adanya kesepakatan ketika akad, pihak laki-laki memberikan syarat untuk tidak harus bermalam di tempat istri (sebagai hak istri), bentuk kedua inilah yang lebih dominan di kalangan Ahlusunnah, karena pihak-pihak tertentu yang melakukan jenis pernikahan tersebut berkeinginan untuk menyembunyikan pernikahannya supaya mereka aman dari kemungkinan mendapat problem di kemudian hari.[2]
Adapun nikah dengan niat talak adalah masalah lain, pernikahan seperti itu baik dalam nikah permanen maupun nikah misyar bisa saja terjadi, maksudnya dalam sebuah pernikahan dengan terpenuhinya segenap persyaratan yang sah menurut Ahlusunnah, bisa saja di situ juga diniatkan untuk menalak, dan niat tersebut tidaklah merusak asas pernikahan, begitu juga dalam nikah misyar yang di dalamnya bisa diniatkan untuk menalak, atau bisa saja tanpa harus ada niat namun setelah waktu yang relatif singkat pihak laki-laki menyampaikan talaknya.[3] Meski demikian, kedua pernikahan tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu menjalin hubungan pernikahan yang mana antara laki-laki dan perempuan bersepakat ingin berpisah setelah beberapa saat dan juga supaya sebagian hak-hak yang seharusnya terpenuhi dalam hubungan pernikahan itu menjadi gugur.[4]
Hukum Nikah Misyar dalam Mazhab Ahlusunnah
Pada awal pengesahan pernikahan tersebut banyak ditentang oleh para pemuka Ahlusunnah, dalam kitab-kitab khususnya pada fatwa mereka. Mereka menyatakan pertentangannya, bahkan secara mutlak mereka mengharamkan dan mengategorikan sebagai bentuk perzinahan. Di antara fatwa yang mengharamkannya adalah yang difatwakan oleh Bin Baz:
“Ketika ditanya tentang hukum nikah misyar ia menjawab, “Setiap Muslim wajib hanya memiliki hubungan pernikahan yang syar’i dan meninggalkan hal lain yang bertentangan dengannya, baik itu bernama nikah misyar maupun nama lain, yang disebutkan itu mirip dengan zina.”[5]
Dengan memperhatikan dokumen yang dikutip pada tulisan ini, fatwa Bin Baz tersebut bertepatan pada tahun 1420 H, namun setelah tujuh tahun kemudian, yaitu pada tahun 1427 H, pihak Majma’ Fiqh Islami (Lembaga Fikih Islam) yang merupakan cabang dari Majmu’ah al-Rabithah al-Alam al-Islami (Dewan Perhubungan Dunia Islam) yang berpusat di Mekah telah menerbitkan legalitas syar’i atas nikah misyar sekaligus memberikan sederet dalil akan bolehnya nikah tersebut.[6]
Dengan demikian, sekarang ini nikah misyar merupakan pernikahan yang diterima oleh kalangan Ahlusunnah, dengan mereparasi nikah permanen, mereka ingin menyuguhkan sebuah pernikahan yang mirip dengan nikah mut’ah kepada masyarakat sunni, sehingga mereka bisa mengurangi problem yang terjadi di masyarakat karena tidak adanya konsep nikah mut’ah dalam tubuh Ahlusunnah. Guna tetap menjaga jarak batas dengan Syiah! Mereka menegaskan bahwa dalam pernikahan tersebut tidak boleh menyebutkan jangka waktu.
Dikarenakan fikih Syiah tidak memerlukan pernikahan seperti itu, maka dalam fikih Syiah tidak terdapat pembahasan hal itu, meskipun (dalam fikih Syiah juga ) tidak masalah untuk meniadakan sebagian syarat, seperti nafkah dan tempat tinggal yang merupakan hak istri, dan pernikahan yang demikian itu memang tidak bermasalah.[7] [iQuest]
Imam Ali As berkata, “Kalau seandainya tidak ada larangan mut’ah dari Umar, maka tidak akan ada orang yang sampai berbuat zina kecuali orang yang hatinya keras.”[1]
Berbeda dengan mazhab Ahlulbait, Ahlusunnah bersikap keras (menolak), bahkan penolakan akan nikah mut’ah merupakan prinsip yang sama sekali tidak dapat dirubah menurut fikih dan mazhab mereka. Bertahun-tahun mereka menulis banyak buku guna menentang sunnah nabi tersebut, di samping itu mereka juga mencela Syiah, namun realitas sosial telah menyadarkan mereka bahwa saat ini mereka tidak memiliki pilihan lain selain menerima konsep pernikahan baru yang kemudian mereka sebut dengan nikah misyar.
Kalau kita telisik lebih jauh, substansi pernikahan tersebut sebenarnya adalah nikah mut’ah, hanya saja dalam nikah misyar tidak disebutkan adanya jangka waktu tertentu, meskipun temporalitasnya dapat diniatkan!
“Nikah misyar” dan ”nikah dengan niat talak” merupakan dua istilah baru dalam fikih Ahlusunnah, yang masih menjadi obyek perdebatan dan perselisihan pendapat semenjak dulu hingga sekarang di antara para Ulama Ahlusunnah tentang hukumnya, meskipun pendapat dominan atau yang lebih bisa diterima oleh masyarakat Sunni adalah kebolehan dua jenis pernikahan tersebut.
Definisi dan penjelasan (nikah misyar) menurut yang tertera di kitab-kitab Ahlusunnah:
Dua gambaran Nikah Misyar:
Pertama, nikah misyar adalah pernikahan yang memiliki segenap persyaratan seperti ijab, kabul, mahar, saksi – yang menurut fikih Ahlusunnah termasuk syarat sah nikah-, namun bedanya adalah pihak laki-laki tidak harus menanggung nafkah dan jaminan tempat tinggal bagi istri.
Kedua, kewajiban suami untuk menafkahi istrinya tidak gugur, hanya saja dengan adanya kesepakatan ketika akad, pihak laki-laki memberikan syarat untuk tidak harus bermalam di tempat istri (sebagai hak istri), bentuk kedua inilah yang lebih dominan di kalangan Ahlusunnah, karena pihak-pihak tertentu yang melakukan jenis pernikahan tersebut berkeinginan untuk menyembunyikan pernikahannya supaya mereka aman dari kemungkinan mendapat problem di kemudian hari.[2]
Adapun nikah dengan niat talak adalah masalah lain, pernikahan seperti itu baik dalam nikah permanen maupun nikah misyar bisa saja terjadi, maksudnya dalam sebuah pernikahan dengan terpenuhinya segenap persyaratan yang sah menurut Ahlusunnah, bisa saja di situ juga diniatkan untuk menalak, dan niat tersebut tidaklah merusak asas pernikahan, begitu juga dalam nikah misyar yang di dalamnya bisa diniatkan untuk menalak, atau bisa saja tanpa harus ada niat namun setelah waktu yang relatif singkat pihak laki-laki menyampaikan talaknya.[3] Meski demikian, kedua pernikahan tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu menjalin hubungan pernikahan yang mana antara laki-laki dan perempuan bersepakat ingin berpisah setelah beberapa saat dan juga supaya sebagian hak-hak yang seharusnya terpenuhi dalam hubungan pernikahan itu menjadi gugur.[4]
Hukum Nikah Misyar dalam Mazhab Ahlusunnah
Pada awal pengesahan pernikahan tersebut banyak ditentang oleh para pemuka Ahlusunnah, dalam kitab-kitab khususnya pada fatwa mereka. Mereka menyatakan pertentangannya, bahkan secara mutlak mereka mengharamkan dan mengategorikan sebagai bentuk perzinahan. Di antara fatwa yang mengharamkannya adalah yang difatwakan oleh Bin Baz:
“Ketika ditanya tentang hukum nikah misyar ia menjawab, “Setiap Muslim wajib hanya memiliki hubungan pernikahan yang syar’i dan meninggalkan hal lain yang bertentangan dengannya, baik itu bernama nikah misyar maupun nama lain, yang disebutkan itu mirip dengan zina.”[5]
Dengan memperhatikan dokumen yang dikutip pada tulisan ini, fatwa Bin Baz tersebut bertepatan pada tahun 1420 H, namun setelah tujuh tahun kemudian, yaitu pada tahun 1427 H, pihak Majma’ Fiqh Islami (Lembaga Fikih Islam) yang merupakan cabang dari Majmu’ah al-Rabithah al-Alam al-Islami (Dewan Perhubungan Dunia Islam) yang berpusat di Mekah telah menerbitkan legalitas syar’i atas nikah misyar sekaligus memberikan sederet dalil akan bolehnya nikah tersebut.[6]
Dengan demikian, sekarang ini nikah misyar merupakan pernikahan yang diterima oleh kalangan Ahlusunnah, dengan mereparasi nikah permanen, mereka ingin menyuguhkan sebuah pernikahan yang mirip dengan nikah mut’ah kepada masyarakat sunni, sehingga mereka bisa mengurangi problem yang terjadi di masyarakat karena tidak adanya konsep nikah mut’ah dalam tubuh Ahlusunnah. Guna tetap menjaga jarak batas dengan Syiah! Mereka menegaskan bahwa dalam pernikahan tersebut tidak boleh menyebutkan jangka waktu.
Dikarenakan fikih Syiah tidak memerlukan pernikahan seperti itu, maka dalam fikih Syiah tidak terdapat pembahasan hal itu, meskipun (dalam fikih Syiah juga ) tidak masalah untuk meniadakan sebagian syarat, seperti nafkah dan tempat tinggal yang merupakan hak istri, dan pernikahan yang demikian itu memang tidak bermasalah.[7] [iQuest]
[1]. Majlisi, Muhammad Baqir, Bihâr Al-Anwâr, jil. 30, hal. 600.
[2]. Markas Fatwa Isyraf Abdullah Faqih, jil. 2, hal. 1316, fatwa nomor 3329.
[3]. Ibid, jil. 2, hal. 1690, fatwa nomor 3997.
[4]. Ayatullah Makarim Syirazi berkenaan dengan hal ini berkata: “Terdapat perdebatan di antara ulama Ahlu Sunah dikarenakan nikah misyar, apakah nikah dengan niat talak adalah sah ataukah tidak. Pembahasan ini seringnya berkenaan dengan nikah misyar, namun tidak terbatas padanya saja.” Kitâb Nikâh, jil. 5, hal. 25.
[5]. Abdul Aziz bin Abdullah Bin Baz, Kumpulan Fatwa dan Makalah Bin Baz, jil. 20, hal. 431.
[6]. Sebagian ulama, Fatawâ wa Istisyarat Mawqi’ al-Islâm al-Yaum, jil. 11, hal. 103.
[7]. Kitâb Nikâh, jil. 5, hal. 24.
Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar