Please Wait
Hits
10039
10039
Tanggal Dimuat:
2017/06/10
Ringkasan Pertanyaan
Tolong jelaskan tentang penafsiran ayat 38 surah al-Fatir khususnya sehubungan dengan “Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati?”
Pertanyaan
Tolong jelaskan penafsiran ayat 38 surah Fatir?
Jawaban Global
Pengetahuan Ilahi terkait dengan tujuh petala langit (langit-langit) dan bumi dan apa yang ada dalam hati (dzat al-shudur) adalah suatu hal yang disebutkan berulang kali dalam al-Quran. Sebagai contoh ayat 38 surah Fathir dimana Allah Swt berfirman:
«إِنَّ اللَّهَ عالِمُ غَیْبِ السَّماواتِ وَ الْأَرْضِ إِنَّهُ عَلیمٌ بِذاتِ الصُّدُور»
“Sesungguhnya Allah mengetahui yang tersembunyi di langit dan di bumi. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati.”
Ayat ini berkata kepada manusia bahwa di samping apa yang nampak dan jelas di hadapannya, dan apa yang di tujuh petala langit dan bumi yang ghaib dan tersembunyi baginya, demikian juga apa yang tersembunyi dalam hatinya terkait dengan iman, kekufuran, pikiran-pikiran setan dan lain sebagainya, seluruhnya nampak dan berada dalam cakupan ilmu azali Allah Swt.
Pada dasarnya, ayat ini berada pada tataran menjawab permintaan orang-orang kafir dan musyrik yang berada di neraka dan memohon supaya dikembalikan ke dunia:
«وَ هُمْ یَصْطَرِخُونَ فیها رَبَّنا أَخْرِجْنا نَعْمَلْ صالِحاً غَیْرَ الَّذی کُنَّا نَعْمَلُ »
“Dan mereka berteriak di dalam neraka itu, “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal yang saleh berlainan dengan yang telah kami kerjakan.” (Qs al-Fatir [35]:37)
Pada hakikatnya, makna “Sesungguhnya Allah mengetahui yang tersembunyi di langit dan di bumi” adalah dalil atas makna “Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati.” Artinya bagaimana mungkin Allah Swt tidak mengetahui apa yang ada dalam hati manusia sementara segala sesuatu yang ada di tujuh petala langit dan bumi nampak dan jelas bagi-Nya?
Dia mengetahui bahwa apabila permintaan para penghuni nereka itu dipenuhi dan dikembalikan ke dunia, maka mereka tetap akan melakukan apa yang mereka lakukan sebelumnya sebagaimana hal ini dinyatakan secara tegas pada ayat lainnya:
«وَ لَوْ رُدُّوا لَعادُوا لِما نُهُوا عَنْهُ وَ إِنَّهُمْ لَکاذِبُونَ»
“Sekiranya mereka dikembalikan ke dunia (lagi), tentulah mereka kembali melakukan apa yang mereka telah dilarang mengerjakannya. Dan sesungguhnya mereka itu adalah para pendusta belaka.”
Ayat ini pada hakikatnya merupakan sebuah peringatan kepada seluruh orang beriman supaya berusaha bersikap ikhlas dalam niat dan tidak memperhatikan segala sesuatu yang lain kecuali Allah Swt, dimana apabila terdapat secuil riya sekali pun dalam niat dan motif, maka sesungguhnya Dia mengetahui segala sesuatu yang gaib dan akan memberikan ganjaran berdasarkan niat seseorang. Allah Swt bertransaksi dengan manusia berdasarkan apa yang terpendam dalam batinnya terkait dengan keyakinan-keyakinan dan amalan-amalan kemudian berdasarkan keduanya akan diperhitungkan oleh Allah Swt , entah sejalan antara yang lahir dan batin, atau bertentangan.[1]
Ayat ini mengandung dua persoalan penting:
1. Alimun bidzat al-shudur: Apa yang dimaksud dengan dzat al-shudur ini? Sebagaimana yang diketahui bahwa kalimat dzat al-shudur berulang kali disebutkan dalam al-Quran.
Kata “dzat” yang kata kerja bentuk mudzakkarnya adalah dzu aslinya bermakna pemilik (shahib). Meski para filosof dan arif memaknai hal ini sebagai hakikat dan substansi segala sesuatu – entah itu substansi atau aksidensi, akan tetapi pemaknaan seperti ini tidak ditemukan dalam bahasa Arab.[2] Makna frase dzat al-shudur adalah bahwa Allah Swt mengetahui pemilik dan empu hati-hati. Kalimat ini merupakan bentuk kiasan dari keyakinan-keyakinan dan niat-niat manusia. Karena keyakinan-keyakinan dan niat-niat takala terpendam dalam hati seolah ia menjadi pemilik hati manusia dan berkuasa atasnya. Atas dasar itu, keyakinan-keyakinan dan niat-niat ini termasuk sebagai pemilik dan penguasa hati manusia.[3]
2. Tidak ada jalan kembali: Sudah barang tentu kiamat dan kehidupan paska kematian merupakan sebuah level penyempurnaan atas dunia dan tidak masuk akal jika manusia yang berjalan menuju kepada kesempurnaan harus kembali lagi pada titik mula (dunia). Apakah manusia dapat kembali menjalani apa yang telah dilaluinya pada hari kemarin? Apakah bayi dapat kembali ke rahim ibunya? Dan apakah buah yang telah terpisah dari pohonnya dapat dikembalikan lagi ke pohonnya? Atas dasar itu tidak mungkin manusia dapat kembali ke dunia ini sebuah tempat yang telah dilalui sebelumnya.
Terlepas dari itu semua, anggaplah ada kemungkinan manusai kembali, tentu saja manusia yang pelupa akan tetap melakukan apa yang sebelumnya telah ia lakukan sebagaimana yang disinggung pada ayat 28 surah al-An’am dimana al-Quran mendustakan orang-orang ini secara tegas dan menyatakan bahwa manusia yang memohon kembali itu akan mengulang apa yang telah dilakukan sebelumnya yang menyebabkan mereka masuk ke neraka.[4] [iQuest]
«إِنَّ اللَّهَ عالِمُ غَیْبِ السَّماواتِ وَ الْأَرْضِ إِنَّهُ عَلیمٌ بِذاتِ الصُّدُور»
“Sesungguhnya Allah mengetahui yang tersembunyi di langit dan di bumi. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati.”
Ayat ini berkata kepada manusia bahwa di samping apa yang nampak dan jelas di hadapannya, dan apa yang di tujuh petala langit dan bumi yang ghaib dan tersembunyi baginya, demikian juga apa yang tersembunyi dalam hatinya terkait dengan iman, kekufuran, pikiran-pikiran setan dan lain sebagainya, seluruhnya nampak dan berada dalam cakupan ilmu azali Allah Swt.
Pada dasarnya, ayat ini berada pada tataran menjawab permintaan orang-orang kafir dan musyrik yang berada di neraka dan memohon supaya dikembalikan ke dunia:
«وَ هُمْ یَصْطَرِخُونَ فیها رَبَّنا أَخْرِجْنا نَعْمَلْ صالِحاً غَیْرَ الَّذی کُنَّا نَعْمَلُ »
“Dan mereka berteriak di dalam neraka itu, “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal yang saleh berlainan dengan yang telah kami kerjakan.” (Qs al-Fatir [35]:37)
Pada hakikatnya, makna “Sesungguhnya Allah mengetahui yang tersembunyi di langit dan di bumi” adalah dalil atas makna “Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati.” Artinya bagaimana mungkin Allah Swt tidak mengetahui apa yang ada dalam hati manusia sementara segala sesuatu yang ada di tujuh petala langit dan bumi nampak dan jelas bagi-Nya?
Dia mengetahui bahwa apabila permintaan para penghuni nereka itu dipenuhi dan dikembalikan ke dunia, maka mereka tetap akan melakukan apa yang mereka lakukan sebelumnya sebagaimana hal ini dinyatakan secara tegas pada ayat lainnya:
«وَ لَوْ رُدُّوا لَعادُوا لِما نُهُوا عَنْهُ وَ إِنَّهُمْ لَکاذِبُونَ»
“Sekiranya mereka dikembalikan ke dunia (lagi), tentulah mereka kembali melakukan apa yang mereka telah dilarang mengerjakannya. Dan sesungguhnya mereka itu adalah para pendusta belaka.”
Ayat ini pada hakikatnya merupakan sebuah peringatan kepada seluruh orang beriman supaya berusaha bersikap ikhlas dalam niat dan tidak memperhatikan segala sesuatu yang lain kecuali Allah Swt, dimana apabila terdapat secuil riya sekali pun dalam niat dan motif, maka sesungguhnya Dia mengetahui segala sesuatu yang gaib dan akan memberikan ganjaran berdasarkan niat seseorang. Allah Swt bertransaksi dengan manusia berdasarkan apa yang terpendam dalam batinnya terkait dengan keyakinan-keyakinan dan amalan-amalan kemudian berdasarkan keduanya akan diperhitungkan oleh Allah Swt , entah sejalan antara yang lahir dan batin, atau bertentangan.[1]
Ayat ini mengandung dua persoalan penting:
1. Alimun bidzat al-shudur: Apa yang dimaksud dengan dzat al-shudur ini? Sebagaimana yang diketahui bahwa kalimat dzat al-shudur berulang kali disebutkan dalam al-Quran.
Kata “dzat” yang kata kerja bentuk mudzakkarnya adalah dzu aslinya bermakna pemilik (shahib). Meski para filosof dan arif memaknai hal ini sebagai hakikat dan substansi segala sesuatu – entah itu substansi atau aksidensi, akan tetapi pemaknaan seperti ini tidak ditemukan dalam bahasa Arab.[2] Makna frase dzat al-shudur adalah bahwa Allah Swt mengetahui pemilik dan empu hati-hati. Kalimat ini merupakan bentuk kiasan dari keyakinan-keyakinan dan niat-niat manusia. Karena keyakinan-keyakinan dan niat-niat takala terpendam dalam hati seolah ia menjadi pemilik hati manusia dan berkuasa atasnya. Atas dasar itu, keyakinan-keyakinan dan niat-niat ini termasuk sebagai pemilik dan penguasa hati manusia.[3]
2. Tidak ada jalan kembali: Sudah barang tentu kiamat dan kehidupan paska kematian merupakan sebuah level penyempurnaan atas dunia dan tidak masuk akal jika manusia yang berjalan menuju kepada kesempurnaan harus kembali lagi pada titik mula (dunia). Apakah manusia dapat kembali menjalani apa yang telah dilaluinya pada hari kemarin? Apakah bayi dapat kembali ke rahim ibunya? Dan apakah buah yang telah terpisah dari pohonnya dapat dikembalikan lagi ke pohonnya? Atas dasar itu tidak mungkin manusia dapat kembali ke dunia ini sebuah tempat yang telah dilalui sebelumnya.
Terlepas dari itu semua, anggaplah ada kemungkinan manusai kembali, tentu saja manusia yang pelupa akan tetap melakukan apa yang sebelumnya telah ia lakukan sebagaimana yang disinggung pada ayat 28 surah al-An’am dimana al-Quran mendustakan orang-orang ini secara tegas dan menyatakan bahwa manusia yang memohon kembali itu akan mengulang apa yang telah dilakukan sebelumnya yang menyebabkan mereka masuk ke neraka.[4] [iQuest]
[1] Silahkan lihat, Makarim Syirazi, Nasir, Tafsir Nemuneh, jld. 18, hlm. 277-278, Tehran, Dar al-Kutub al-Islamiyah, cet. 1, 1374 S.
[2] Raghib Isfahani, Husain bin Muhammad, al-Mufradāt fi Gharib al-Qur’ān, Riset oleh Daudi, Shafwan Adnan, hlm. 333, Damaskus, Beirut, Dar al-Qalam, Dal- Syamiyah, cet. 1, hlm. 1412 H.
[3] Fakhruddin Razi, Abu Abdillah Muhammad bin Umar, Mafātih al-Ghaib, jld. 244, Beirut, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, cet. 3, 1420 H.
[4] Tafsir Nemuneh, jld. 18, hlm. 280.
Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar