Please Wait
30941
Secara umum yang dimaksud dengan "sanad" dari soal yang diajukan sangat tidak jelas dan masih kabur. Dan zahirnya pertanyaan begini tidak memiliki jawapan khusus. Namun boleh jadi tujuan dari pengajuan pertanyaan tersebut adalah ingin memahami sebab-sebab penurunan ayat tersebut (sya'n an-nuzul) atau penafsiran dari ayat yang dimaksudkan. Atau karena adanya bacaan (pemahaman) yang berbeza-beza pada sebagian ayat-ayat suci al-Qur'an atau terdapat sebahagian riwayat yang dinukil dari para Imam Maksum As yang mana ia menunjukkan kepada bentuk bacaan (makna) yang lain; baik dari sudut penafsiran mahupun tatbik (pemahaman atau penyesuaian ayat dengan misdaq ayat di luar).
Secara umumnya, apa yang disebut sebagai ayat-ayat al-Qur'an di dalam Kitabullah adalah firman Allah dan kalam Ilahi yang ianya disandarkan (mustanad) kepada Allah Swt.
Di dalam Kitab tersebut tidak terdapat perbezaan pada ayat-ayatnya. Keseluruhan ayat-ayat suci al-Qur'an dengan berdasarkan argument-argument rasional (akal) dan referensial (hujjah naqli atau hujjah ayat dan riwayat) terpelihara dari sebarang penyelewengan dan diantaranya adalah kedua-dua ayat terakhir dari surah al-Taubah tersebut.
Namun tentang peristiwa apa yang terjadi pada kedua-dua ayat tersebut, jika yang dimaksudkan adalah sebab penurunan (sya'n an-nuzul) kedua-dua ayat tersebut secara khusus, maka dapat dikatakan di sini bahawa kita tidak mempunyai sebarang nukilan (riwayat) khusus tentang sebab penurunan kedua-dua ayat tersebut. Namun surah al-Taubah secara keseluruhannya di tempat menjelaskan tentang kondisi kaum musyrikin dan berlepas diri (bara'ât) dari mereka, serta menceritakan tentang peperangan dengan orang-orang kafir, sifat kemunafikan mereka, tingkah-laku mereka; baik dari sudut individu, sosial, politik, ekonomi, ketenteraan dan kebudayaan orang-orang munafik, khususnya tindakan dan konspirasi mereka terhadap pribadi Rasulullah Saw dan keluarganya a.s.
Allah Swt mengkhabarkan Nabi-Nya ihwal tindak-tanduk mereka dan di samping menjelaskan berita-berita rahsia dan agenda di balik tabir mereka, khususnya perbuatan mereka dalam perang Tabuk, juga menjelaskan tentang sebagian dari sifat-sifat Rasulullah Saw yang dipersenda-sendakan dan disakiti oleh orang-orang munafik. Dan dengan mengemukakan kepentingan bertawassul kepada Rasulullah Saw dan keluarganya, dan pada akhir surat al-Taubah, Allah Swt mengakhiri perkara ini dengan masalah tauhid murni, tawakkal kepada-Nya dan kebergantungan mutlak kepada Allah Swt dari yang lain. Dengan pengertian bahawa Rasulullah Saw yang berasal dari diri (bangsa) kamu sendiri yang sangat mengambil berat akan penderitaan dan kesusahan kamu dan sangat menginginkan hidayah dan petunjuk bagi kamu serta sangat belas kasihan kepada orang-orang Mukmin. Oleh itu, jika kamu berpaling darinya katakanlah (wahai Muhammad) bahawa cukuplah Allah bagiku; tiada Tuhan selain-Nya. Hanya kepada-Nya aku bertawakal. Dan Dialah Tuhan yang memiliki arasy yang agung.
Dalam menjawab pertanyaan di atas, sebelum menjelaskan persoalan ini, kiranya kita perlu memperhatikan noktah ini dimana secara umum, maksud penanya tentang "sanad" (sandaran) di sini tidak jelas dan masih kabur. Dan secara zahirnya jenis pertanyaan ini tidak akan memiliki jawapan yang khusus. Namun boleh jadi tujuannya adalah ingin memahami sebab penurunan atau penafsiran dari dua ayat yang dimaksudkan. Atau kerana adanya perbezaan pemahaman pada sebagian ayat atau riwayat yang dinukilkan dari para Imam Maksum a.s. yang berada pada posisi penafsiran ayat dan menjelaskannya dalam bentuk pemahaman yang lain. Atau ….
Walau bagaimanapun, tidak terdapat sebarang perbezaan diantara kedua-dua ayat ini dengan ayat-ayat suci yang lain. Oleh itu, setiap apa yang terdapat dalam kitab Ilahi ini, yang disebut sebagai al-Qur'an ia adalah firman Tuhan dan kalam Ilahi dan disandarkan kepada Tuhan[1]. Dan seluruh ayat-ayat suci al-Qur'an yang ada, terpelihara dari segala penyelewengan. Hal ini didukung dengan argument akal (aqli) dan referensial (naqli) di mana masalah ini memerlukan pembahasan yang berbentuk independent yang lain di bawah judul "Tiadanya penyelewengan pada al-Qur'an al-Karim."[2]
Maka itu, jika terdapat sebagian orang membaca ayat ini dengan bacaan "مِنْ اَنْفَسِکم" di tempat "مِن انفُسِکم",[3] atau di dalam sebagian riwayat para Imam Maksumin a.s. yang berada pada kedudukan penafsiran dan penjelasan dibaca dalam bentuk pemahaman tertentu atau ucapan tertentu, ia sama sekali tidak akan merosakkan ketulinan ayat-ayat tersebut dari sudut pewahyuannya (qathi' al-shudur)[4]. Seperti yang telah diriwayatkan dalam kitab Raudha al-Kâfi yang dinukilkan dari Imam Shadiq a.s. yang bersabda: "Demikian Allah Swt menurunkan ayat-ayat suci: "laqad ja'ana rasulun min anfusina 'azizun 'alaihi maa anittum harishun 'alaina bilmu'minin raufun rahim."[5] (Sesungguhnya telah datang kepada kami Rasul dari kalangan kami sendiri, yang sangat mengambil berat dengan penderitaan dan kesusahan kami, serta sangat menginginkan atas kami (dalam membimbing kami) dan amat belas kasihan lagi penyayang kepada orang-orang Mukmin).
Secara ringkasnya, soalan tentang kedua-dua ayat surah at-Taubah yang diajukan tadi adalah berkenaan dengan sanad dan sumber ayat tersebut. Abdullah Sinan meriwayatkan dari Abu Ja'far yang mana Hazrat a.s membaca ayat tersebut (mentafsirkan) : "Laqad jaa'akum rasulun min anfusikum" (Sesungguhnya telah datang kepada kamu Rasul dari kalangan kamu sendiri). bersabda: "Min anfusina." (dari diri kami). Kemudian melanjutkan bacaannya, "azizun 'alaihi mâ 'anittum". (yang sangat mengambil berat dengan penderitaan dan kesusahan kamu). Bersabda: "maa 'anittnâ." (…dengan penderitaan kami). Lalu membaca: "Harhisun 'alaikum.". (serta sangat menginginkan atas kami (dalam membimbing kami)). Bersabda: "'alainâ." (ke atas kami). Dan terakhir, "Bil mu'minin raufun rahim." (dan amat belas kasihan lagi penyayang kepada orang-orang Mukmin). Bersabda, "Bisyia'tinâ raufun rahim.". (dan amat belas kasihan lagi penyayang kepada syiah-syiah kami). Oleh karena itu, untuk kami 3/4 ayat tersebut dan 1/4 yang lain untuk Syiah kami.[6]
Atau riwayat yang diriwayatkan dalam Tafsir 'Ayyâsyi yang menukil dari Tsa'labah dari Imam Shadiq As yang mana Hazrat a.s. bersabda: "Allah Swt berfirman: "Laqad jaa'akum rasulun min anfusikum." Bersabda: "fiina". "Azizun 'alaihi maa Anittum." Bersabda, "Fiina". "Harishun 'alaikum." Bersabda: "Fiina." "Bilmu'minina raufun rahim." Orang-orang Mukmin telah bergabung kepada kami pada peringkat yang keempat dari ayat ini (بالمؤمنین رؤف رحیم) , dan tiga yang pertama adalah khusus buat kami."[7]
Sebagai hasilnya, sandaran (sanad) dua ayat yang disebutkan adalah sandaran seluruh al-Qur'an yang merupakan wahyu Ilahi dan firman Allah Swt. Dan adapun yang berkait dengan sebab penurunannya (sya'an al-nuzul) tidak disebutkan secara khusus.
Adapun yang disebut sebagai penafsiran dan peristiwa dua ayat yang menjadi fokus pembahasan, dapat dikatakan bahawa sebagian orang percaya bahawa dua ayat terakhir surat al-Taubah (Barâ'at) adalah ayat-ayat terakhir yang diturunkan kepada Rasulullah Saw dan keluarganya, sebagaimana surat terakhir yang diturunkan adalah surat Barâ'at.[8]
Namun sebagian penyelidik (Muhaqqik) di antaranya Allamah Thaba'thaba'i tidak menerima pandangan ini.[9] Bagaimanapun, surat al-Taubah menjelaskan beberapa peristiwa tertentu di antaranya: berlepas tangan dari orang-orang musyrik dan menjelaskan tentang kondisi mereka, peperangan dengan orang-orang kafir, peristiwa kemunafikan dan perilaku individu, sosial, politik, ekonomi, militer dan kebudayaan orang-orang munafik khususnya pada perang Tabuk di mana Allah Swt mengkhabarkan Rasulullah Saw ihwal konspirasi mereka. Dan juga menjelaskan sebagian masalah yang lain, di antaranya ayat-ayat dalam surah ini adalah ayat-ayat yang menjelaskan tentang persendaan dan ganguan[10] orang-orang munafik terhadap Rasulullah Saw dan keluarganya, dan juga menjelaskan tentang sifat-sifat dan karakter Rasulullah Saw dan keluarganya.
Akan tetapi tema terpenting dalam surat ini di samping tema-tema lainnya yang menjadi pemerhatian Allah Swt adalah masalah orang-orang munafik.[11]
Surat al-Taubah ini turun setelah perisitwa penaklukan kota Mekkah (Fathu Makkah) pada tahun sembilan Hijrah. Ertinya di saat-saat kaum munafikin yang berada di tengah-tengah muslimin sibuk melakukan konspirasi dan pelangaran perjanjian dan melakukan gerakan bawah tanah. Dari sudut lain, mereka menjalinkan hubungan dengan pihak-pihak asing dan musuh-musuh Islam yang berusaha untuk menjatuhkan pemerintahan Islam. Namun walaupun begitu, dengan seluruh pelangaran dan konspirasi ini, seperti tidak bersama dalam peperangan Tabuk, tidak membantu militer dan ekonomi Rasulullah s.a.w., Allah Swt masih lagi dalam beberapa perkara berbicara tentang rahmat, pegampunan dan taubat di samping itu, juga berfirman tentang kemurkaan dan kemarahan. Dan melarang mereka untuk tidak hipokrit dalam masalah sosial dan agama.
Namun Rasulullah s.a.w. dan keluarganya dengan berperantara khabar ghaib yang dapat mengetahui perbuatan orang-orang munafik masih lagi tetap dengan sikap biasanya dengan mereka di dalam banyak hal. Oleh itu, mereka (mengambil kesempatan) menyakiti Hazrat s.a.w. dan berkata: "Udzunun" (apapun yang kami katakan Nabi akan cepat mempercayainya).[12] Oleh karena itu Allah Swt berfirman: "Udzunun khair", "Ia mempercayai semua yang baik bagimu, ia beriman kepada Allah, mempercayai orang-orang beriman dan menjadi rahmat bagi orang-orang beriman di sekitarmu." (Qs. Al-Taubah [9]:61)
Oleh karena itu, dengan memperhatikan perkara-perkara yang ada dalam surat al-Taubat pada ayat-ayat terakhir surah ini, dapat disimpulkan dan diambil natijahnya bahawa seluruh peristiwa tersebut pada posisi menjelaskan kemuliaan akhlak Rasulullah Saw dan keluarganya, serta tawassul kepada kedudukan Ilahiah dan juga rahmat Rububiah. Kemudian mengemukan masalah tauhid dan bahkan tawassul kepada Rasulullah Saw juga berada di bawah naungan lintasan tauhid. Hazrat s.a.w. adalah merupakan sumber segala kebaikan yang melimpah dan merupakan udzunun khair (mempercayai segala yang baik bagimu) dan sangat peduli dengan penderitaan dan kesusahan manusia serta sangat menginginkan keimanan dan keselamatan bagi mereka. Dia amat belas kasihan lagi penyayang kepada orang-orang mukmin. Akan tetapi dengan semua ini, beliau adalah mazhar Ilahi (pancaran sempurna sifat-sifat Ilahi).[13] Sedemikian sehingga Allah Swt berfirman kepada Nabi-Nya: "Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah, “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal.” (Qs. Al-Taubah [9]:129)
Dan tiada satu pun kewujudan yang memiliki kemandirian meskipun sebesar zarah (atom) di hadapan Allah Swt. Dan untuk menjelaskan kekuasaan, keagungan, kerajaan dan pengaturan Ilahi, Allah Swt berfirman: "Dia-lah Tuhan yang memiliki ‘Arasy yang agung." (Qs. Al-Taubah [9]:129) yang menyebut arasy tanpa menyebut kursi padahal tingkatan arasy lebih tinggi dari tingkatan dan kedudukan kursi.[14] Semua ini adalah untuk menyampaikan kepentingan masalah-masalah ini.
[1]. Allamah Thaba-thabai Ra, Tafsir al-Mizân, jil. 2, hal. 126
[2]. Allamah Thaba-thabai Ra, kitab yang sama, hal. 104 & 126 dan Qur'an dar Islam, hal. 196 dan seterusnya. Abddullah Jawadi Amuli, Qur'ân dar Qur'ân, hal. 315 dan seterusnya. Tafsir Tasnim, jil. 1, hal. 98 dan seterusnya. Mahdi Hadavi Tehrani, Mabâni Kalâmi Ijtihâd, hal. 33 dan seterusnya.
[3]. Al-Zamahksyari, Abu al-Qasim Muhammad bin 'Umar, al-Kasyyâf, jil. 2, hal. 223. Al-Thabarsi, Abu Ali al-Fadhl bin al-Hasan, Majma' al-Bayân, jil. 5, hal. 128. Al-Qummi, Ali bin Ibrahim, Tafsir al-Qummi, jil. 1, hal. 308.
[4]. Yakin bahwa ayat-ayat ini merupakan firman Allah Swt.
[5]. Tsiqat al-Islam Kulaini, Raudhâ al-Kafî, jil. 8, hal. 378, Hadis: 570.
[6]. Al-'Ayyasyi, Muhammad bin Mas'ud, Tafsir al-'Ayyâsyi, jil. 2, hal. 118.
[7]. Ibid.
[8]. Al-Thabarsi, Abu 'Ali al-Fadhl bin al-Hasan, Majma' al-Bayân, jil. 5, hal. 128. Hadi Ma'rifat, al-Tamhid, jil. 1, hal. 96.
[9]. Allamah Thaba-thabai, op cit, jil. 9, hal. 414, Hadi Ma'rifat, op cit, hal. 98.
[10]. Qs. Al-Taubah [9]:61.
[11]. Allamah Thaba-thabai, op cit, jil. 9, hal.146
[12]. Qs. Al-Taubah [9]:61
[13]. Abdullah Jawadi Amuli, Sirah Rasul-e Akram, Tafsir-e Maudhui Qur'an, jil. 8, hal. 61
[14]. Syaikh Shaduq, al-Tauhid, bâb al-Arsy wa Shifâtihi, hal. 1