Please Wait
11376
Pertanyaan ini merupakan penjelasan lain dari masalah negara ideal (madinah fadhilah) atau ideologi pembebasan. Negara ideal Plato merupakan model ideal manusia paling lama dan paling terkenal yang diungkapkan dalam Republika. Dalam kosmos Islam, filosof seperti Farabi dalam Ârâ Ahl al-Madinah al-Fâdhilah bercerita ihwal negara ideal Islam dan kepemimpinannya. Farabi sebagai salah seorang filosof terbesar dunia Islam dimana filosof menggelarinya sebagai muallim tsani (second master, guru kedua), setelah Aristoteles (first master, guru pertama), menyodorkan konsep negara ideal dalam format Islam.
Kedua konsep negara ideal Plato dan Farabi, pemimpin bijak adalah teladan kesempurnaan masyarakat yang harus menggembleng masyarakat, seperti melakukan konstruksi diri. Karena itu, pemimpin harus merupakan teladan sempurna kemanusiaan.
Pada dunia hari ini, dua ideologi negara ideal yang melakukan aktifitas di tengah masyarakat dan mengklaim salvation (keselamatan) bagi masyarakat. Liberal demokrasi (kapitalisme dan imperialisme) dan Sosialisme (dengan dua kecendrungan demokratis dan komunis). Ideologi ketiga seiring dengan meletusnya Revolusi Islam Iran adalah ideologi Islam. Namun amat disayangkan karena invasi masala politik pasca revolusi, perumusan multi dimensi ideologi ini telah diabaikan.
Dalam artikel ini, mengingat Farabi telah lebih dahulu mensketsa model ideal Islam, jawaban yang akan kami sodorkan berdasarkan pandangan filosofinya yang akan kita bahas dalam dua bagian negara ideal dan antropologi. Untuk penjelasan lebih lanjut silahkan Anda ikuti pada jawaban detil.
Pendahuluan
Pertanyaan ini merupakan penjelasan lain dari masalah negara ideal (madinah fadhilah) atau ideologi pembebasan. Negara ideal atau utopia adalah salah satu tema terpenting dalam ranah pembahasan filsafat semenjak dahulu hingga hari ini. Negara ideal Plato merupakan model ideal manusia paling lama dan paling terkenal yang diungkapkan dalam Republika.
Dalam kosmos Islam, filosof seperti Farabi dalam Ârâ Ahl al-Madinah al-Fâdhilah bercerita ihwal negara ideal Islam dan kepemimpinannya. Farabi sebagai salah seorang filosof terbesar dunia Islam sehingga sebagian filosof menggelarinya sebagai muallim tsâni (second master, guru kedua), setelah Aristoteles (first master, guru pertama), menyodorkan konsep negara ideal dalam format Islam.
Adapun masyarakat ideal Plato adalah sebuah masyarakat agraris-perbudakan. Negara ideal Plato secara asasi adalah penguat negara aristokrasi feodal dan perbudakan yang harus bersikap lembut dan kasih terhadap rakyat. Hanya saja pada pucuk pemerintahan ini harus dipimpin oleh seorang filosof.
Dewasa ini, tidak satu pun kelompok yang mau menerima jenis republik ini secara mutlak dan pada dasarnya syarat-syaratnya juga tidak tersedia. Masalah negara ideal yang telah dilupakan pasca masa keemasan filsafat Yunani kembali mengemuka pada abad pertengahan (medieval) dan pemikir seperti August Compte dalam sebuah buku The City of God mengemukakan sebuah model abstrak dari kota pilihan Tuhan.
Karena itu, konsep negara ideal Farabi lebih dekat kepada realitas dan lebih menjunjung tinggi keadilan. Pada dua konsep negara ideal Plato dan Farabi, pemimpin bijak merupakan teladan kesempurnaan masyarakat yang harus menggembleng masyarakat, seperti melakukan konstruksi diri. Dengan demikian, pemimpin harus merupakan teladan sempurna kemanusiaan.
Farabi dalam menjelaskan konsep negara ideal, ia menyerupakannya laksana sebuah badan, “Badan ini memiliki kalbu (hati) dan seluruh anggota badan mengikutinya. Pemimpin kota laksana kalbu bagi badan.”[1] Demikian juga, Farabi Farabi, mengulas tentang masalah masyarakat yang berhadapan-hadapan vis à vis dengan madinah fâdhilah dan menyebutnya sebagai madinah gâhilah, madinah fâsiqah, madinah dhâllah dan madinah mutabaddilah.
Pada dunia hari ini, kita berhadapan dengan dua ideologi negara ideal yang melakukan aktifitas di tengah masyarakat dan mengklaim salvation (keselamatan) bagi masyarakat. Liberal demokrasi (kapitalisme dan imperialisme) dan Sosialisme (dengan dua kecendrungan demokratis dan komunis). Ideologi ketiga yang mencuat ke permukaan seiring dengan meletusnya Revolusi Islam Iran adalah ideologi Islam. Namun amat disayangkan karena invasi masalah politik pasca revolusi, perumusan multi dimensi ideologi ini telah diabaikan.
Dalam artikel ini, mengingat Farabi telah lebih dahulu mensketsa model ideal Islam, maka jawaban yang akan kami sodorkan berdasarkan pandangan filosofinya yang akan kita bahas dalam dua bagian negara ideal dan antropologi.
A. Negara Ideal
Para pemikir terpenting Muslim yang membahas ihwal model ideal manusia alias negara ideal (madinah fadhilah) adalah Abu Nasir Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan Ibnu Khaldun. Di antara para pemikir ini yang paling menonjol dan berpengaruh adalah Farabi yang berperan sebagai pendiri. Farabi adalah seorang yang pertama kali memasukkan wacana filsafat politik ke dalam kebudayaan Islam dan para pemikir seperti Ibnu Sina, Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd banyak terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran politik Farabi.
Pada puncak kecerlangan kebudayaan Islam, Abu Nasir Farabi, filosof terkemuka dari Timur Iran, mengemukakan gagasan Negera Ideal dalam kitabya “Ârâ Ahl al-Madinah al-Fâdhilah” dan masyarakat ideal yang berdasarkan pemikiran filosofis dan dalam rangkuman pahaman-pahaman syariat Islam. Terma-terma filsafat politik dalam Islam, pada umumnya diadopsi dan diadaptasi dari al-Qur’an. Ajektif “Fadhilah” merupakan bukti gagasan Farabi dalam mencari kesempurnaan ideal bagi masyarakat (society).
Pandangan seperti ini, di samping bersumber dari konsep Islam “Dar al-Salam,” lebih tinggi dari batasan demarkasi geografi bangsa-bangsa. Temuan Farabi dari masyarakat sempurna adalah masyarakat besar yang menyangkut seluruh bangsa-bangsa. Apabila pemimpin ideal memerintah maka konsep negara ideal akan dapat terealisir. Negara ideal Farabi adalah masyarakat yang secara totalitas sarat dengan nilai-nilai (values) dan ajaran-ajaran spiritual-moral sehingga sangat pelik mengilustrasikannya secara detil dan partikulir. Meski pembahasannya sangat luas dan rinci, namun secara keseluruhan Farabi lebih banyak bicara secara global dan tidak menyoroti hubungan politik dan masyarakat sosial. Untuk dapat memahami sistem yang berstrata dalam negara ideal maka kiranya kita perlu mengetahui secara global model filsafat Farabi. Karena struktur negara idealnya merupakan konklusi rasionalnya atas sistem penciptaan alam semesta. Model Filsafat Farabi, menandaskan bahwa seluruh ciptaan bersumber dari emanasi Wujud Pertama atau Allah Swt. Dan seluruh entitas dan makhluk di alam semesta berada pada tingkatan rendah alam penciptaan.
Karena itu, setelah Entitas Pertama yang merupakan Sumber Segala Sumber (Mabdâ al-Mabâdi), silsilah tingkatan seluruh entitas dan makhluk alam semesta secara runut melintasi kesempurnaan menuju kekurangan demi kekurangan (al-anqâsh falanqâsh) hingga sampai pada satu tingkatan yang setingkat di atas ketiadaan murni. Dengan demikian, pada negeri ideal Farabi, khair afdhal (kebahagiaan manusia dan kebaikan orang-orang budiman) hanya dapat diperoleh dengan adanya perhimpunan madani bukan pada perhimpunan yang kurang darinya dan manusia sesuai dengan hukum fitrahnya, untuk sampai pada kesempurnaan, memerlukan dibentuknya sebuah masyarakat dan korporasi dengan yang lain. Seluruh kebutuhan manusia sedemikian beragam dan variatif sehingga tidak seorang pun yang dapat memenuhinya secara sendiri-sendiri.[2] Perhimpunan dan pembagian kerja sosial ini dimana seluruh orang dapat meraih sukses utuk meraih segala apa yang dicita-citakannya. Karena itu, masyarakat madani (civil society) merupakan hasil dari pembagian kerja sosial dan hanya melalui masyarakat madani seperti ini manusia dapat meraih kesempurnaan dan kebahagiaan.
Farabi, di samping Ibnu Sina dan Khaja Nashiruddin Thusi, sangat menaruh perhatian pada kedudukan individu dalam masyarakat berdasarkan fitrah dan potensinya masing-masing. Ia meyakini bahwa apabila seseorang dalam masyarakat melakukan pekerjaan yang sesuai dengan bakat alami yang dimilikinya dan silsilah tingkatan sosial dan politik dibentuk berdasarkan pada asas kelayakan (meritokrasi) setiap orang maka madinah fâdhilah (negara ideal) akan terealisir di muka bumi. Dalam pandangan Farabi, politik (an sich) bukan merupakan tujuan (goal). Yang menjadi tujuan adalah kebahagiaan (sa’âdah) yang hanya dapat diraih melalui adanya perhimpunan dan percampuran di dalam masyarakat.[3]
Berdasarkan tujuan dan sasaran sistem politik, Farabi membagi dua sistem-sistem politik menjadi dua jenis. Pertama, sistem politik fâdhilah (ideal atau utama). Kedua, sistem politik non-fâdhilah. Tujuan kekuasaan pada sistem politik fâdhilah adalah kebahagiaan hakiki dan pada sistem politik non-fâdhilah adalah kebahagiaan asumtif dan rekaan.”[4]
Menurut Farabi, pemerintahan negara Ideal adalah pemerintahan yang dapat melembagakan, mengukuhkan dan memiliki pelbagai aktifitas, melembagakan tradisi dan harta-harta di negeri, bangsa dan bahkan negara itu sendiri dimana manusia dan masyarakat mampu meraih kebahagiaan hakiki melaluinya. Baik pada kehidupan duniawi dan juga sebagai ikutannya adalah kehidupan ukhrawi.
Karena itu, ia menyebut pemerintahan, sistem politik dan pemerintahan yang mampu menjalankan kebijakan penting ini, sebagai sistem politik fâdhilah; yang merupakan sistem sempurna dan ekuliber. Negeri-negeri dan bangsa-bangsa yang mengikut pemerintahan seperti ini disebut sebagai negeri-negeri dan bangsa-bangsa fadhilah.[5]
Nasib para warga madinah fâdhilah saling berkaitan secara berkelindan dengan nasib madinah fâdhilah (negara ideal). Pada negera ideal Farabi, tidak mungkin terdapat satu orang bahagia dan yang lainnya sengsara. Hanya terdapat dua kondisi, apakah mereka seluruhnya bahagia atau seluruhnya sengsara dan menderita. Dengan menyebutkan hal-hal ini menjadi jelas bahwa pada madinah fâdhilah dan perhimpunan sukses masyarakat tidak akan mungkin dapat dicapai tatkala sekelompok orang menikmati kesejahteraan dan bahagia sementara kebanyakan orang telanjang, tuna wisma, dan terlantar. Karena itu, Farabi memandang masyrakat seperti ini sebagai tertolak dan meyakini bahwa kebahagiaan adalah bersifat keseluruhan dan masing-masing bagian masyarakat madani memiliki saham setara dari kebahagiaan tersebut.[6] Dengan demikian, keutamaan yang dimiliki masyarakat seperti ini merupakan hasil dari usaha kolektif.
Farabi terkait dengan pemimpin dan politik fadhilah berkata, “Pada masyarakat seperti ini, pemimpin yang memerintah adalah seutama-utama (afdhal) manusia dan politiknya adalah politik utama (fadhilah) yang hanya dapat terealisir dalam atmosfer madinah seperti ini.”[7]
Pada madinah fâdhilah Farabi yang berlaku adalah perubahan internal sebagai ganti perbaikan-perbaikan internal. Oleh itu, akal manusia untuk menerima pelbagai hakikat, memerlukan penalaran dan hatinya senantiasa menuntut untuk dipuaskan. Farabi memandang bahwa kemenangan dengan cara apa pun, baik dengan paksaan atau berpamer adalah musuh kemuliaan dan kehormatan manusia dan sebuah alternatif yang tidak cocok bagi konsep peradaban dan kemasyarakatan ideal. Apa yang membedakan warga kota negari ideal ini dari yang lain adalah pengetahuan teoritis terhadap prinsip-prinsip samawi dan berpegang teguh secara praktis kepada pelbagai keutamaan (fadhâil) dan kemuliaan-kemuliaan akhlak (makârim akhlâk). Farabi berpandangan bahwa warga negara ideal distratakan berdasarkan jenis aktifitas dan nilai pelayanan kepada negara ideal.[8]
Falsafah wujud (Reason d’etre) negara ideal (madinah fâdhilah) adalah menyampaikan manusia kepada kebahagiaan. Dan tujuan utama kepemimpinan dalam Negara Ideal adalah memudahkan jalan bagi orang-orang di dalammya meraih kebahagiaan. Karena itu, untuk memahami secara utuh falsafah madani Farabi hal itu bergantung kepada bagaimana kita memahami sistem pemikirannya. Berdasarkan definisi ini, Farabi memandang kebahagiaan adalah sejenis pencapaian, gerakan, kenaikan dari sebuah tingkatan yang memerlukan materi, kepada materi yang berbeda dari materi lainnya dan sampainya kepada kesempurnaan eksitensial manusia dan tetapnya ia pada kondisi seperti itu.
Menurut Farabi, kebahagiaan, adalah identik dengan kebaikan (khair), tujuan dan hal teragung yang dapat dan harus dicapai oleh manusia. Jalan untuk mencapai kebahagiaan juga dalam kaca mata Farabi, adalah mengerjakan pelbagai amalan ikhtiari kebaikan dan berkukuh untuk melaksanakan pelbagai aktifitas keutamaan dan menjauhi segala keburukan, perbuatan-perbuatan keji dan tercela. Kebahagiaan pada hakikatnya merupakan hasil pekerjaan baik dan mengindar dari hawa nafsu.[9]
Prinsip utama yang menjadi obyek perhatian Farabi pada kedua jenis negara adalah “kebahagiaan” (sa’âdah). Namun dalam pandangan Farabi, kebahagiaan hakiki yang dapat menyebabkan perkembangan, kesempurnaan, perluasan politik, penyebaran tradisi, kebiasaan dan kebudayaan serta pelembagaan keutamaan di setiap negeri dan bangsa, hanya dapat diperoleh pada sistem politik fadhilah.
Karena itu, prinsip pertama Farabi pada beberapa prinsip filsafat politiknya adalah kebahagiaan “sa’âdah” dan mengenal kebahagiaan serta memperkenalkan kebahagiaan demikian juga membedakan antara kebahagiaan hakiki dan kebahagiaan rekaan. Setelah menyebutkan tipologi sistem politik fâdhilah, kemudian Farabi menjelaskan beberapa tipologi madinah fâsidah (negara korup).
Dalam filsafat politiknya, ia meyakini empat tipologi madinah fâsidah sebagaimana berikut ini:
Pertama, madinah jâhilah; Sebuah negara yang masyarakatnya selain tidak mengenal kebahagiaan dan kebahagiaan juga tidak terlintas dalam benaknya. Mereka hanya mengenal kelezatan di antara seluruh kebaikan yang ada.
Kedua, madinah fâsiqah; apa yang dikenal sebagai warga negara ideal adalah terkait dengan Tuhan dan akal aktif[10] namun pada tataran perbuatan laksana orang-orang jahil dan dungu; berkata-kata tapi tidak mengamalkan.
Ketiga, madinah mutabaddilah; pendapat dan perbuatannya seperti orang-orang madinah fâdhilah namun mereka menodai segala perbuatannya dengan kerusakan.
Keempat, madinah dhâllah; mereka menyatakan akidah rusak terkait dengan Tuhan dan akal. Dan pemimpinnya juga mengklaim diri sebagai nabi dan penerima wahyu.[11]
B. Antropologi
Antroprologi Farabi mirip antropologi Aristoteles; karena esensi manusia adalah hidup bermasyarakat (madani bitabba’). Farabi meyakini bahwa untuk bertahan hidup dan mencapai kesempurnaan insaniahnya manusia memiliki banyak kebutuhan yang tidak dapat dipenuhinya seorang diri; pada hakikatnya dalam menyediakan pelbagai kebutuhan manusia hal itu berada pada pembentukan masyarakat dimana masing-masing anggota masyarakat yang mengemban tugas untuk memenuhi sebagian kebutuhan-kebutuhan ini. Karena itu, manusia berdasarkan fitrahnya memiliki kecendrungan bermasyarakat dan bersosial serta ingin hidup di sekitar orang-orang yang sejenis dengannya. Sejatinya kebutuhan timbal-balik manusia antara satu dengan yang lain merupakan faktor berdirinya masyarakat-masyarakat yang membuat manusia berkumpul di sekelilingnya dan saling tolong menolong untuk semakin mendekat kepada kesempurnaan dan kebahagiaan.[12]
Farabi memandang tidak terdapat perbedaan dan segregasi di antara konsep-konsep seperti akal, wahyu, politik dan syariat. Bahkan lebih dari itu, Farabi banyak melakukan upaya untuk menyelaraskan kesemua konsep ini. Secara asasi, asumsi utama Farabi adalah menggandengkan politik dengan filsafat; karena Farabi berpandangan bahwa tujuan manusia adalah kebahagiaan dan realisasi kebahagiaan berada pada pancaran politik yang penuh kebijaksanaan dan hikmah dimana dalam hal ini hubungan politik dan filsafat menjadi sesuatu hal yang niscaya. Menurut Farabi, jalan manusia untuk sampai kepada kebahagiaan hakiki adalah keadilan dan keadilan adalah poros gerakan manusia dalam perjalanannya meniti kesempurnaan dan kebahagiaan.[13]
Farabi meyakini bahwa suara masyarakat dan tujuan bersama warga masyarakat merupakan syarat untuk sampai kepada kebahagiaan; kepada perbaikan seorang reformis dan kelompok orang-orang yang berpikir cerlang. Reformis yang merupakan pemimpin madinah fâdhilah adalah seorang manusia sempurna yang disamping merupakan akal juga ia juga adalah ma’qul (intellegible). Orang ini adalah orang yang ruhnya bersambung dengan akal aktif dan mengadopsi makrifat melalui jalan wahyu dari akal aktif. Dalam pandangan Farabi, pemimpin negara ideal adalah seorang rasul atau seorang imam.[14] [IQuest]
[1]. Ishaq Husaini Kuhsari, Târikh Falsafeh Islâmi, hal. 89, Teheran, Nasyr Bain al-Milal, 1387 S.
[2]. Farabi, Ârâ Ahl al-Madinah al-Fâdhilah, hal. 77-78.
[3]. Ishaq Husaini Kuhsari, Târikh Falsafeh Islâmi, hal. 88.
[4]. Ishmat Kaikha, Negâhi be Paiwand-e Qudrat wa Akhlâq dar Falsafe Siyâsi Fârabi, Pegâh Hauzah, 23 Urdibehesyt, 1385 S, hal. No. 182.
[5]. Ibid.
[6]. Ibid.
[7]. Farabi, Ârâ Ahl al-Madinah al-Fâdhilah, hal. 86.
[8]. Ishmat Kaikha, Negâhi be Paiwand-e Qudrat wa Akhlâq dar Falsafe Siyâsi Fârabi
[9]. Ibid.
[10]. Akal aktif: Akal kesepuluh dalam silsilah vertikal akal-akal. Menyitir Farabi, Ruh al-Amin atau Ruh al-Qudus adalah akal terakhir yang tidak berbentuk materi dan tidak akan berbentuk materi. Akal ini senantiasa aktif. Farabi memandang akal aktif ini sebagai wahib al-shudur dimana segala sesuatu yang dipahami akal terdapat di dalamnya dan ialah yang mempersembahkannya kepada akal manusia.
[11]. Ishaq Husaini Kuhsari, Târikh Falsafeh Islâmi, hal. 89.
[12]. Farshad Nuruzi, Barrasi wa Muthâle’e Syakhshiyat wa Andisyeh-hâ-ye Siyâsi-Ijtimâi Fârabi wa Âyatullâh Khomeini, Sait Rasmi Anjuman-e Ihyagaran Falsafe-ye Nu.
[13]. Ibid.
[14]. Farabi, Ârâ Ahl al-Madinah al-Fâdhilah, hal. 86.