Please Wait
25817
Dengan memperhatikan dokumen-dokumen sejarah, kita akan mengkaji sebab-sebab berkecamuknya perang Jamal dari kedua belah pihak dan kemudian memberikan penilaian atasnya:
A. Sebab-sebab terjadinya perang Jamal dalam pandangan orang-orang Jamal:
1. Dalam penggalan khutbah Aisyah dan Thalha ditegaskan bahwa sebab terpenting berkecamuknya perang Jalam adalah karena ingin menuntut darah Utsman. Di samping itu, sebagian orang memandang Ali As sebagai orang yang bertanggung jawab atas pembunuhan Utsman.
2. Sebagian ulama Muktazilah berkeyakinan bahwa Aisyah dan para pengikutnya bermaksud ingin menunaikan tugas amar makruf dan nahi mungkar.
3. Thalha menyebutkan sebab lain yang kurang-lebih senada dengan dua sebab sebelumnya, dan sebab itu adalah ingin melakukan islah (perbaikan atas) umat Nabi Saw dan menebarkan ketaatan kepada Allah Swt.
4. Khilafah dan kepemimpinan Imam Ali As tidak sejalan dengan model dan
5. Ali As dalam pelbagai urusan pemerintahannya tidak melibatkan Thalha dan Zubair dalam musyawarah.
B. Sebab-sebab terjadinya perang Jamal menurut Ali bin Abi Thalib dan para pengikutnya:
1. Thalha dan Zubair adalah dua orang yang mencari kekuasaan: Amirul Mukminin As dalam khutbah 148 Nahj al-Balâgha bersabda: “Thalha dan Zubair masing-masing berharap kekuasaan jatuh di tangan mereka.”
2. Melanggar baiat dan ikrar: Ali As dalam pelbagai penjelasan, sembari mengumumkan keadaan siaga satu untuk perang, menuding kedua orang ini sebagai orang-orang yang melanggar janji dan baiat mereka.
3. Dendam dan kesumat: Poin ketiga ini tidak dapat diingkari bahwa terdapat banyak orang yang menaruh dendam kepada Ali As. Amirul Mukminin As menjelaskan akar persoalan ini: A. Pengkhususan persaudaraan antara Nabi Saw dan Ali As. B. Keunggulan Ali atas Abu Bakar. C. Terbukanya pintu rumah Ali ke arah masjid Nabi Saw. D. Penyerahan panji kemenangan Khaibar di tangan Ali As. Demikian juga Thalha dan Zubair berharap bahwa Ali As melibatkan keduanya dalam musyawarah dalam urusan pemerintahan dan sebagian urusan pemerintahan diserahkan kepada mereka berdua dimana tidak satu pun dari harapan ini terpenuhi dan hal ini telah menyebabkan munculnya kebencian kepada Ali As.
4. Kemunafikan: Hipokritas dan bermuka ganda merupakan salah satu sebab yang lain (yang menyebabkan meletusnya perang Jamal) sebagaimana telah disinggung oleh Imam Ali As.
5. Hilangnya keamanan di tengah kehidupan kaum Muslimin: Bukti nyata dari sebab ini adalah penyerangan orang-orang Jamal di Basrah terhadap baitulmal dan pembunuhan sebagian masyarakat.
6. Menutup-nutupi amal-perbuatan mereka: Terkait dengan masalah ini, Amirul Mukminin As dalam khutbah 137 Nahj al-Balâgha bersabda: “Mereka ingin menuntut darah yang telah mereka tumpahkan sendiri.”
Untuk mengkaji dan meriset sebab-sebab berkecamuknya perang Jamal kiranya kita perlu melongok dalil-dalil kedua belah pihak yang bertikai dalam perang lalu membandingkannya dengan fakta-fakta sejarah untuk kemudian memilih pandangan yang sahih. Pertama-tama secara global kita akan mengalokasikan pembahasan pada sebab-sebab dan dalil-dalil berkecamuknya perang Jamal menurut orang-orang yang memulai perang ini dan para pembesarnya (ashab Jamal):
A. Sebab-sebab meletusnya perang Jamal menurut para pembesarnya:
1. Setelah baiat kaum Muslimin kepada Ali, Aisyah hadir di tengah perhimpunan kaum Muslimin dan berkata, “Wahai kaum Muslimin! Sesungguhnya Ustman terbunuh dalam keadaan teranaiya.”[1] Ucapan Aisyah ini nampaknya telah menjadi batu pertama bagi penentangannya terhadap Amirul Mukminin As dan ghalibnya sebab ini dikemukakan sebagai dalih utama keluarnya Aisyah dan para anteknya untuk bangkit melawan Amirul Mukminin Ali As. Karena mereka memandang bahwa Ali As merupakan dalang utama atas terbunuhnya Utsman, dengan demikian mereka angkat senjata melawannya.
2. Sebagian ulama Muktazilah berpandangan bahwa Aisyah dan para pengikutnya bermaksud ingin menjalankan tugas amar makruf dan nahi mungkar.[2]
3. Thalha dalam menyampaikan khutbah yang ditujukan kepada masyarakat Basrah berusaha menunjukkan kepada masyarakat bahwa perlawanannya tidak dimaksudkan untuk khilafah dan harta, melainkan ia ingin meminta pertolongan dari penduduk Basrah sehingga semuanya berupaya memperbaiki umat Rasulullah Saw dan menyebarkan ketaatan kepada Allah Swt.[3]
Sebagaimana yang telah disebutkan, secara umum pada kebanyakan khutbah yang dinukil dari Aisyah dan Thalha, menuntut darah atas pembunuhan Utsman merupakan sebab utama mengapa mereka melanggar perjanjian dan baiat mereka kepada Ali bin Abi Thalib As. Namun terdapat masalah lain yang dapat disebutkan di sini dimana Thalha memprotes bahwa pemerintahan Ali tidak sejalan dan tidak mengikut model dan gaya pemerintahan tiga khalifah sebelumnya dan Ali tidak bermusyawarah dengannya dalam urusan pemerintahan.[4]
Sebelum menjelaskan sebab-sebab berkecamuknya perang Jamal menurut Ali bin Abi Thalib As kita harus memperhatikan satu poin penting yaitu faktor-faktor utama terjadinya perang. Amirul Mukminin As dalam khutbah 172 Nahj al-Balâgha bersabda, “Thalha dan Zubair menyeret istri Rasulullah Saw bersamanya bak budak yang dibawa untuk dijual di pasar.” Dari sabda Amirul Mukminin As ini dapat dipahami bahwa pelaku penting perang Jamal, tidak lain adalah Thalah dan Zubair, dan Aisyah dalam hal ini lebih banyak disalahgunakan.
B. Sebab-sebab meletusnya perang Jamal menurut Ali bin Abi Thalib dan para pengikutnya:
1. Mengejar kekuasaan: Amirul Mukminin dalam khutbah 148 Nahj al-Balâgha menjelaskan bahwa Thalha dan Zubair mengusung perang Jamal ini karena ingin mengejar kekuasaan: “Masing-masing Thalha dan Zubair berharap bahwa mereka dapat meraih kekuasaan dan harapannya tertambat pada kekuasaan serta tidak lagi memandang sahabatnya.”
2. Melanggar baiat dan ikrar: Amirul Mukminin As dalam sebuah khutbah sembari mengumumkan siaga satu kepada masyarakat bersabda: “Sesungguhnya Thalha dan Zubair melanggar baiat dan ikrar mereka serta mengeluarkan Aisyah dari rumah supaya fitnah dan pertumpahan darah tersebar.”[5]
3. Kesumat dan dendam pribadi: Poin ketiga ini tidak dapat diingkari bahwa banyak orang yang menaruh dendam pribadi pada Ali bin Abi Thalib As. Karena itu, Amirul Mukminin Ali As memandang bahwa latar-belakang kesumat dan dendam pribadi ini di antaranya: A. Karena Rasulullah Saw mengutamakan dan menggunggulkan saya daripada ayah Aisyah. B. Karena Rasulullah Saw mengkhususkan persaudaraan dengannya.[6] C. Karena Allah Swt menitahkan kepada Rasulullah Saw untuk menutup semua pintu yang berujung ke masjid bahkan pintu rumah ayah Aisyah, namun pintu rumah saya tetap terbuka.[7] D. Karena Rasulullah Saw menyerahkan panji kemenangan Khabiar kepadaku setelah menyerahkannya kepada yang lain dan akhirnya saya mencetak kemenangan pada perang Khaibar dan hal ini telah menyebabkan berdukanya mereka dan sebagainya.[8]
Di samping itu, Thalha dan Zubair berharap bahwa Ali bermusyawarah dengan mereka dalam urusan pemerintahan. Karena Thalha dan Zubair memandang diri mereka sederajat dengan Ali As dan bahkan lebih tinggi darinya. Dan berharap bahwa setelah kematian Utsman sebagian urusan pemerintahan diambil alih oleh keduanya. Namun tidak satu pun dari harapan ini terpenuhi dan hal telah menjadi sebab timbulnya dendam pribadi keduanya terhadap Ali bin Abi Thalib As.
4. Kemunafikan: Ali As dalam khutba 13 Nahj al-Balâgha bahwa agama orang-orang ini adalah berwajah ganda.
5. Melenyapkan keamanan kaum Muslimin: Setelah para pembesar Jamal mengambil alih kekuasaan di Basrah, mereka menyerang gudang dan menjarah baitulmal. Demikian juga mereka menyerang masyarakat dan menyiksa sebagian orang serta membunuh sebagian.[9]
6. Menutup-nutupi tindakan mereka sendiri: Tatkala Amirul Mukminin mendengar kabar bahwa Thalha dan Zubair bangkit mengadakan pemberontakan untuk menuntut darah Utsman, beliau tersenyum dan bersabda, “Tiada orang lain selain mereka yang telah membunuh Utsman. Dan juga kandungan ucapan ini disebutkan dalam khutbah 137 Nahj al-Balâgha, “Mereka ingin menuntut darah orang yang telah mereka tumpahkan darahnya sendiri.” Amirul Mukminin As dengan baik mengetahui bagaimana Thalha memainkan peran penting dalam pembunuhan Utsman; karena mereka menutupi wajah mereka dengan kedok sehingga tidak dikenal dan setelah menutup pintu rumah Utsman, adalah Thalha yang membimbing para penyerang melalui rumah tetangga Utsman. Dialah yang melontarkan anak panah ke rumah Utsman.[10]
Dalam kondisi seperti ini Imam Ali bersabda: Thalha memulai perang supaya ia tidak ditanyai terkait pembunuhan Utsman.[11] Dengan memperhatikan secara seksama beberapa poin di atas maka menjadi jelas bahwa:
Pertama, kebanyakan kesalahan dan cercaan yang dialamatkan Amirul Mukminin kepada para pembesar Jamal adalah ucapan beliau kepada Thalha dan Zubair. Beliau nampaknya memandang pelaku, aktor intelektual dan sebab utama perang adalah kedua orang ini. Dengan kata lain, Aisyah hanya memerankan peran figuran dalam kekisruhan ini dan telah disalahgunakan oleh keduanya.
Kedua, nampak jelas bahwa tiada satu pun sebab dan dalil yang disebutkan oleh para pembesar untuk tindakan mereka dapat dibenarkan. Khusunya tatkala kita tahu bahwa pembunuhan dan menuntut darah Utsman tidak lain dalih semata. Karena Aisyah tidak memiliki hubungan baik dengan Utsman. Disebutkan bahwa Aisyah membawa pakaian Rasulullah Saw ke hadapan Utsman dan berkata kepadanya, “Kafan Rasulullah Saw belum lagi kering, engkau telah menyelewengkan hukum-hukumnya.”
Karena itu, jelas bahwa para pembesar Jamal, dengan alasan yang sepintas elok dan benar, memberontak melawan Ulil Amrinya dan melanggar baiat serta ikrar mereka, yang tidak lain bahwa alasan yang sepintas elok dan benar ini adalah kedok dan dalih semata.[]
[1]. Al-Jamal, Syaikh Mufid, hal. 228; menukil dari Târikh Thabari, jil. 4, hal. 448-450; al-Syâfi, jil. 4, hal. 357-358.
[2]. Ibid, hal. 64; menukil dari Masâil al-Imâmah, hal. 55; Fadhl al-I’tizâl, hal. 72.
[3]. Ibid, hal. 304; yang menukil dari Ansâb al-Asyrâf, hal. 226 dan 229.
[4]. Ibid, hal. 306; yang menukil dari Ansâb al-Asyrâf, hal. 226.
[5]. Al-Jamal, Syaikh Mufid, hal. 240; yang menukil dari Târikh Thabari, jil. 4, hal. 455 & 480; Ansab al-Asyrâf, hal. 233.
[6]. Ibid, hal. 409 yang menukil dari Sirah Ibnu Hisyam, jil. 2, hal. 150; Sunan Tirmidzi, jil. 5, hal. 595.
[7]. Ibid, hal. 410 yang menukil dari Musnad Ahmad, jil. 4, hal. 369.
[8]. Ibid, yang menukil dari Musnad Ahmad, jil. 1, hal. 99; Shahih Bukhari, jil. 5, hal. 76.
[9]. Nahj al-Balâgha, Sayid Radhi, khutbah 218.
[10]. Ibid, hal. 255 yang menukil dari Târikh Thabari.
[11]. Ibid, khutbah 174.