Please Wait
11630
Dalam pertanyaan-pertanyaan Anda terdapat beberapa persoalan yang membutuhkan penjabaran yang sangat panjang dan terperinci kalau ingin dibahas satu per satu, akan tetapi di sini kami akan mengisyarahkan beberapa poin, dan berharap hal tersebut akan membantu kami dan Anda dalam memperoleh jalan menuju esensi dan hakikat agama.
1. Dari perspektif teoritis, dasar-dasar agama bukanlah terletak pada kasih sayang. Kata agama memiliki berbagai fungsi dan penggunaan, dimana di dalamnya menunjukkan berbagai tingkatan dan tahapan agama.
a. Agama pada tingkatan hakikinya di alam Ilahi, yaitu berkaitan dengan perjalanan awal dan akhir manusia. Dan karena esensi manusia adalah satu maka resep untuk memperoleh kesempurnaan dan kebahagiaan pun hanyalah satu. Oleh karena itulah, agama pada tahapan ini menjadi hal yang universal dan menyeluruh serta tidak bergantung pada kondisi masa dan tempat.
Agama yang seperti ini bisa diperoleh melalui tiga cara:
1. Melalui wahyu dan penyaksian dimana hal ini berlaku hanya khusus untuk sebagian.
2. Melalui teks atau nukilan, yaitu apa yang telah jelas pada metode awal (melalui wahyu dan penyaksian kalbu) akan sampai kepada kita melalui nukilan.
3. Melalui akal, yaitu akal mencari analisa-analisa teoritis dan memecahkan sebagian dari unsur-unsurnya untuk mengetahuinya, mengenai hal ini kami akan memberikan penjelasannya kemudian.
b. Agama pada tingkatan mursal (apa yang diturunkan kepada nabi dan rasul), yaitu segala yang telah dikirimkan oleh Tuhan kepada para nabi untuk membimbing manusia dalam bentuk agama. Dari satu sisi mengandung unsur-unsur yang universal dan menyeluruh, karena agama itu bersumber dari alam Ilahi, dan dari sisi lain meliputi unsur-unsur yang kondusif, karena dalam penurunan satu agama kepada manusia (walaupun kepada seorang nabi dan rasul) senantiasa memperhatikan pula kondisi zaman, tempat, dan generasi dimana agama ini diturunkan untuk mereka.
c. Agama pada tingkatan maksyuf (apa yang dipahami oleh manusia biasa), yaitu apa-apa yang akan menjadi jelas bagi seseorang dari agama pada tingkatan alam Ilahi dan pada tingkatan mursal dengan merujuk kepada akal dan teks atau nukilan.
d. Agama pada tingkatan "yang ada di dunia ini" yaitu manifestasi dari agama yang ada di alam Ilahi yang bersifat universal, dan kemudian muncul dalam bentuk suatu agama yang dianut oleh sebagian kelompok masyarakat.
Karena Islam merupakan agama terakhir yang dikirimkan oleh-Nya dan pada sepanjang sejarah merupakan penyimpul dari seluruh hal yang membutuhkan penjelasan dari agama hakiki (yang ada di alam Ilahi) dengan menggunakan wahyu dan teks, akan tetapi karena Islam merupakan agama mursal, maka ia pun disesuaikan dengan yang menjadi lawan bicaranya (audience) yaitu manusia, dan juga mengandung unsur-unsur yang kondusif. Akan tetapi, harus diperhatikan bahwa setiap unsur yang kondusif akan muncul dari kesesuaian satu atau beberapa unsur dari alam Ilahi, atau merupakan sebagian dari satu unsur. Apa yang terdapat dalam Islam dalam bentuk ajaran[1] atau ideologi[2] merupakan pengaruh dari unsur-unsur kondusif yang suci, karena unsur agama yang seperti ini akan terbentuk dengan memperhatikan dimensi kekonstanan hakikat-hakikat alam dan manusia. Memang, sistem[3] akan termanifestasi dengan sebuah bentuk pada setiap kondisi yang ditemuinya dan pada dasarnya perangkat-perangkat sistem alam Ilahi yang universal itu akan terjadi dengan bersesuaian dalam bentuk perangkat-perangkat sistem yang kondusif yang biasa kita katakan dengan kata "sesuai" atau "cocok". Sebagai contoh, perangkat-perangkat institusi politik atau perekonomian yang kita saksikan pada awal Islam, pada dasarnya sesuai dan cocok dengan politik dan perekonomian yang ada pada masa itu yang dibentuk oleh sosok mulia Rasulullah Saw dan pada setiap masa harus dirancang sesuai dengan dasar-dasar sistem Islam dengan bantuan ilmu manusia.[4]
Maka sebagaimana yang bisa kita saksikan, dasar-dasar agama tidak saja berdimensi kasih sayang, melainkan agama pun berkaitan pula dengan ilmu, sedangkan wahyu dan akal memiliki intervensi dalam masalah ini, sementara itu dari sisi yang lain rancangan unsur-unsur kondusif akan berputar dalam fakultas khasnya sendiri dan tidak akan memberikan pengaruh terhadap unsur-unsur universal agama.
2. Meskipun ilmu-ilmu empirik membutuhkan bantuan kita dalam merancang kecocokan, akan tetapi dia tidak memiliki peran dalam menjelaskan unsur-unsur universal, filosofis, dan sistem Islam. Dengan kata lain setelah menjelaskan tentang unsur-unsur universal agama dengan cara jurisprudiensial (fikih) dan analisis, sekarang tiba gilirannya untuk menjelaskannya dengan ilmu manusia dimana berdasarkan filsafat, ideologi dan sistem yang sesuai dengan rancangan kesesuaian.[5]
3. Manusia memiliki dua aktivitas, yaitu aktivitas yang dilakukan dengan bijak[6] dan aktivitas yang dilakukan dengan sesuka hati[7] dan manusia baru akan sampai pada kebahagiaan ketika aktivitas-aktivitas yang sesuka hati itu telah berada di bawah naungan aktivitas-aktivitas yang bijak, dan dalam keadaan inilah kemudian tabiat akan bersesuaian dengan akal, dan kecenderungan akan bersesuaian dengan kehendak.
Tolok ukur aktivitas-aktivitas yang bijak adalah sebuah rangkaian dari tujuan-tujuan yang jauh dari jangkauan dimana mau ataupun tidak, untuk mencapai tujuan-tujuan ini membutuhkan rancangan, program, metode dan sarana. Aktivitas-aktivitas ini tidak seharusnya berkontradiksi dengan kecenderungan-kecenderungan tinggi kemanusiaan. Namun jika tolok ukurnya adalah tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran hewani maka aktivitas-aktivitas yang sesuka hati dan bersifat hewani ini cenderung lebih berbahaya.
Yang jelas, akal tidak akan mampu memberikan rancangan dan program yang komprehensif dalam lingkaran luas dan universal sehingga bisa memenuhi kebahagiaan seluruh dimensi manusia, hal ini disebabkan karena ia tidak mempunyai penguasaan atas kehidupan secara partikular, dan dari sinilah sehingga kehadiran ideologi terasa dibutuhkan, dan ufuk wahyulah yang menentukan garis asli dari perjalanan kebahagiaan sementara tugas akal dan ilmu adalah bergerak di dalam batasan asli ini. Oleh karena itu harus dikatakan bahwa ilmu membentuk sarana dan alat, sedangkan iman membentuk tujuan. Ilmu memberikan kecepatan, sementara iman memberikan arah, ilmu tidak bisa mengemban arah dan tujuan serta rancangan yang komprehensif untuk kebahagiaan manusia.[8]
4. Meskipun telah jelas bahwa tanpa kehadiran wahyu manusia tidak akan mampu sampai pada kebahagiaan, namun kita masih saja diperhadapkan pada masalah berikut dimana mungkin saja air jernih yang berada di lintasan kita telah tercemar, dengan kata lain, berbagai budaya dan pemikiran telah mengubah wajah agama, akan tetapi dengan alasan ini kita tetap tidak bisa menyangkal akan arti penting dalam kehadiran air dan mengatakan bahwa kita tidak membutuhkan keberadaannya, melainkan yang harus kita lakukan adalah mencari solusi bagaimana supaya air yang tercemari itu menjadi bersih kembali dan bisa dimanfaatkan sebagaimana sedia kala, demikian juga halnya dengan agama, di dalam agama Islam terdapat solusi asasi untuk memecahkan dilema ini.
Kita berkeyakinan bahwa Islam adalah agama terakhir dan merupakan penutup dari agama-agama langit, dan keberakhiran ini akan terwujud dengan terpenuhinya dua unsur yaitu kesempurnaan dan terbebas serta suci dari segala penyimpangan. Untuk menjaga supaya Islam tetap aman dari tambahan dan penyimpangan dalam sepanjang zaman yang dilaluinya, ia telah memiliki dua unsur pendukung. Yang pertama adalah literatur dan sumber agama Islam yaitu al-Quran telah dijamin terjaga dari segala penyimpangan, sebagaimana hal ini tersirat dalam salah satu firman-Nya, "Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya."[9] Sedangkan unsur yang kedua adalah sejak awal Rasulullah Saw dan para Imam Maksum Ahlulbait As telah memberikan pijakan berupa metodologi khusus untuk memanfaatkan literatur Islam ini, supaya dengan hal ini terdapat kemungkinan bagi kita untuk memahami ajaran-ajaran agama secara benar sehingga pada setiap kesempatan yang manapun dengan merujuk pada literatur-literatur Islam yang tanpa penyimpangan ini, kita akan bisa menentukan lintasan Tuhan secara jelas dan menghindarkan kita dari seluruh lintasan-lintasan yang menyesatkan.[10]
5. Meskipun di sisi al-Quran dan sunnah, akal dikenal merupakan sumber makrifat dan pengenalan agama, akan tetapi pada kasus-kasus tertentu agama itu sendiri telah mengandung makrifat-makrifat dimana akal tidak mampu menggapainya.
Al-Quran telah berulang kali menyampaikan poin bahwa Rasulullah Saw telah mengajarkan sesuatu dan menjelaskan berbagai masalah kepada kalian dimana kalian tidak mampu untuk mengetahuinya, hal ini dengan tegas terlihat pada salah satu ayat-Nya, "Kami telah mengutus kepadamu seorang rasul dari kalangan kamu (sendiri) yang membacakan ayat-ayat Kami kepadamu, menyucikanmu, mengajarkan kepadamu al-Kitab dan hikmah, dan mengajarkan kepadamu apa yang kamu tidak mampu untuk mengetahuinya."[11] dan bukannya mengatakan bahwa ia telah mengajarkan sesuatu yang sebelumnya tidak kalian ketahui akan tetapi bisa kalian jangkau dengan cara pemahaman makrifat.
Dalam pembahasan keyakinan dan akidah, obyek pembicaraan yang pertama dibahas adalah akal, dan jika akal memberikan pendapat yang pasti dan meyakinkan pada sebuah kasus, kita bahkan harus mengubah lahiriah nash-nashnya untuk kepentingan akal, akan tetapi ia tidak bisa berbicara pada seluruh makrifat lalu memberikan pendapatnya. Akal bisa membuktikan terdapatnya sebuah kehidupan pasca alam dunia ini (alam akhirat), dan membuktikan bahwa kehidupan itu bersifat "jasmani" (kejasmaniannya sesuai dengan kondisi alam akhirat), akan tetapi ia tidak mampu menjelaskan tentang kekhususan-kekhususan "jasmani" dan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi pada hari kiamat.
Pada cabang ilmu agama dan fikih, akal juga dianggap sebagai salah satu dari literatur, misalnya taklid yang merupakan bagian dari kajian fikih, adalah merupakan hasil dari penegasan akal.
Dengan demikian akal pun diperhadapkan pada keterbatasan-keterbatasan, yang di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Pemahaman akal hanya terbatas pada universalitas saja dan pada selain itu ia akan digunakan sebagai alat dan sarana bagi yang lainnya seperti indera, dan karena kadangkala di dalam indera terjadi kesalahan, maka dalam analisa pemahaman indera dan penyimpulannya, meskipun hal tersebut dilakukan oleh akal, tetap saja bisa mengalami kesalahan.
b. Akal tidak memiliki hukum pada sebagian dari batasan-batasan, seperti pada detail-detail kehidupan alam akhirat.[12]
Kesimpulannya adalah bagaimana kita bisa sampai pada ma'arif yaqini dalam seluruh persoalan dengan perantara ilmu yang berdasarkan pada indera sehingga kita tidak lagi membutuhkan kehadiran agama?
6. Melakukan taklid pada cabang akidah dan keyakinan (pokok-poko akidah seperti tauhid, keadilan Ilahi, kenabian, imamah, dan kehidupan alam akhirat), merupakan hal yang tercela. Keyakinan harus didasarkan pada argumen-argumen akal, dan dalam bidang fikih serta hukum-hukum agama meskipun kita harus taklid akan tetapi selain taklid memiliki dasar-dasar logika, yakni seorang mujtahid pun tidak bisa memberikan hukum-hukumnya tanpa adanya argumen, yaitu pengeluaran hukum dan fatwa, baik dari mujtahid harus melalui metode argumentatif dan berdasarkan pada pemikiran, dan pada kedua cabang keraguan merupakan sebuah persoalan yang bisa diterima, karena keraguan merupakan tangga pertama untuk memperoleh hakikat dan manusia yang tidak memiliki keraguan dan syak, maka ia pun tidak akan berusaha untuk memperoleh hakikat. Akan tetapi harus diperhatikan bahwa keraguan merupakan tangga awal dan jembatan yang harus dilewati, karena berhenti dalam keraguan tanpa mencari jawabannya tidak saja tidak akan diterima dalam wacana agama, melainkan dalam wacana ilmiah pun dianggap sebagai suatu perbuatan yang tercela dan sia-sia.Kecuali yang telah diterima diantara kita dimana masyarakat umum dan mereka yang tidak memanfaatkan pengetahuan kedokteran, tidak akan memberikan perhatiannya pada resep yang diberikan oleh dokter dan tidak memanfaatkan obat yang telah disarankan oleh dokter hanya karena alasan ragu.
Kebanggaan seperti apakah ini sehingga manusia sedemikan ragu dalam segala sesuatunya dan tenggelam di dalamnya? Tentunya jangan dilupakan bahwa jangan karena kebaikan sehingga keraguan ini terjadi di mana saja, karena sabagian tidak memiliki pemahaman dan tidak akan mampu melewati keraguan dan menggunakannya sebagai tangga untuk memperoleh hakikat. Dari dimensi ini tidak ada perbedaan antara agama dan ilmu.[13]
7. Kami tidak sepakat bahwa agama merupakan sebuah persoalan yang bersifat selera. Agama dalam pandangan kami adalah shirathal mustaqim, jalan yang lurus untuk manusia, tauhid dengan kebahagiaan manusia terkait di dalamnya, memilih agama tidak sebagaimana memilih rumah, pakaian dan sebagainya yang bergantung pada selera seseorang.
Agama sebagaimana sebuah kebebasan yang berkaitan dengan seluruh manusia dan dari sinilah sehingga dianggap sebagai bagian dari hukum-hukum universal manusia.[14]
8. Menurut pandangan kami, Pluralisme merupakan sebuah persoalan yang tidak bisa diterima dalam persoalan agama dan tidak benar jika agama bisa muncul dalam bentuk yang manapun.[15] Apakah logis seluruh makrifat dan akidah yang saling bertentangan itu adalah benar?[16]
Ketika dikatakan bahwa pemilik akidah yang kontradiksi ini memiliki niat yang baik dan pada hakikatnya tengah mencari sesuatu, hal ini tidak akan menyelesaikan masalah benar dan batil atau benar dan bohong tahapan teoritis dan akidah.
9. Jika di dalam ilmu terdapat sebuah masalah yang menjadi kesepakatan seluruhnya, maka di dalam agama-agama Ilahi pun terdapat prinsip-prinsip yang setara dimana seluruhnya sepakat dengan hal tersebut, dan membicarakan masalah ini membutuhkan penjelasan yang tersendiri. Dan jika saat ini keragaman pendapat dalam persoalan ilmiah tidak berbahaya karena alasan akan ditemukannya hakikat pada masa mendatang, kenapa kita tidak bisa menerima pernyataan yang sama dalam kaitannya dengan persoalan agama?
Pertama, di dalam Islam dalam pokok-pokok dan persoalan-persoalan asasi tidak terdapat perbedaan dan ikhtilaf di kalangan para ulama dan jikapun terdapat ikhtilaf dalam bagian-bagiannya, hal ini tidak akan menimbulkan goncangan dan bahaya pada prinsip hidayah, bimbingan dan kebahagiaan manusia.
Kedua, perlu diketahui bahwa ikhtilaf partikular yang terjadi dalam masalah-masalah hukum fikih ini pada masa mendatang akan teratasi dengan kemunculan Imam Zaman (ajf). Dan jika dalam ilmu terdapat kemungkinan bahwa esok hari perbedaan-perbedaan asasi dalam persoalan-persoalan penting keilmuan akan tersingkirkan, maka dalam agama masalah-masalah ini akan sampai pada batas percaya dan meyakinkan.
10. Di mana "agama" telah memasuki sebuah perputaran dan bahayanya lebih banyak dari manfaatnya? Bukankah Islamlah yang telah melakukan revolusi pada awal kemunculannya dengan masuknya dalam kehidupan manusia yang saat itu menjalani kehidupannya dalam kejahilan? Dan bukankah Islam-lah yang telah meletakkan dasar-dasar budaya yang sedemikian benderang sehingga menyebabkan kelompok-kelompok lain menundukkan kepala dengan hormat di hadapannya dan mengakui kebenarannya?[17]
Orang-orang yang merasa kalah di hadapan kemajuan teknologi modern Eropa dan Amerika, sebenarnya mereka telah melupakan khasanah kemahiran, keahlian, budaya, dan bidang-bidang ilmiah kaum Muslim dan pengaruh-pengaruh jelasnya pada dimensi-dimensi barat modern, atau mereka tidak menganggap adanya kelebihan-kelebihan ini.
Gerakan yang diberikan oleh Islam kepaada manusia sedemikian kuatnya dan sedemikian mengkonstruksinya sehingga negara yang paling terbelakang sekalipun, dalam waktu yang terpendek, menjadi bangkit, lebih maju dari selainnyadan gelombangnya mampu memberikan kehidupan baru dan lompatan yang sangat terang kepada alam selama beberapa waktu.
Hari dimana Islam meletakkan tapak kakinya di ataskehidupan masyarakat, seluruhnya mengalami perubahan, perubahan dalam perasaan dan pemahaman, perubahan dalam pemikiran dan ide, perubahan dalam seluruh seluruh tiang kehidupan dan memunculkan interaksi individu dan masyarakat.
Perkembangan Islam pada kurun kedua kemunculannya, melesat dengan cepat akan tetapi tenang dan alami, yang melingkupi pantai Mediterania hingga sahara Afrika, dan dari samudera Atlas hingga tembok China. Dan sedemikian cepatnya perkembangan ini terjadi sehingga kekuasaan terluas dan terkuat pada masa itu bisa ditaklukkan. Di belahan bumi Utara, pasukan Muslim berhasil menguasai gunung Piranah setelah menaklukkan Andalusia kemudian merembet ke kota-kota besar Perancis, sementara kelompok lain yang berada di belahan timur bergerak ke arah China setelah sebelumnya menguasai Punjabi.[18]
11. Agama memiliki tiga bagian program untuk manusia dan senantiasa berusaha untuk berinteraksi dengan ketiganya secara benar:
a. Interaksi manusia dengan dirinya sendiri;
b. Interaksi manusia dengan selainnya dan selain dirinya (alam dan masyarakat);
c. Interaksi manusia dengan Tuhan.
Dengan demikian Islam selain memberikan perhatian kepada dunia, juga memberikan perhatiannya kepada akhirat. Islam mencari kesejahteraan dunia yang akan mensejahterakan akhirat dan hal seperti ini keluar dari etika duniawi dan ....
Agama memperhatikan kalbu dan juga memperhatikan akal, dan program-programnya sebagaimana yang telah disebutkan pada tiga poin di atas. Dan ilmu sama sekali tidak akan pernah mampu menggantikan kedudukan agama dalam ketiga hal di atas.[19] Bagaimana mungkin akhlak dan etika yang berdiri dengan berasaskan duniawi akan mampu menjamin pelaksanaan dan menggantikan akhlak agama?
Bagaimana mungkin ilmu yang hingga kini belum bisa menemukan dimensi wujud manusia dan mengenalnya secara sempurna akan mampu merancang program-program yang komprehensif untuk kebahagiaan manusia? Bukankah teori agama yang muncul dari empirik, pengalaman dan alam dengan maksud memperoleh hukum-hukum alam tidak dianggap sebagai agama? Kenapa Anda terpaksa harus meletakkan agama bertentangan dengan teori-teori yang dihasilkan oleh pengalaman dan alam kemudian Anda berpikir bahwa di dalam agama tidak ada tempat untuk mengenal alam?
Kami menerima bahwa ilmu-ilmu manusia itu bermanfaat, akan tetapi sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya, ilmu-ilmu sosial dan yang lainnya untuk memberikan rancangan yang cocok dan sesuai, membutuhkan kehadiran kita, karena ia tidak memiliki kemampuan dalam menyajikan ideologi, filsafat dan sistem, sementara manusia, pada tahapan awalnya lebih membutuhkan program-program ideologi dari pada yang lainnya. Agama meliputi persoalan-persoalan dimana ilmu tidak mampu menanggungnya sendirian.
Literatur-literatur untuk informasi lebih mendalam:
1. Hadawi Tehrani, Mahdi, Wilâyat wa Diyânat, hal. 13-56.
2. Hadawi Tehrani, Mahdi, Bâwarhâ wa Pursesy-hâ.
3. Hadawi Tehrani, Mahdi, Mabâni Kalâm-e Ijtihâd.
[1] . Yang dimaksud dengan ajaran adalah unsur-unsur agama yang merupakan aspek pandangan dunia Islam dalam sebuah institusi tertentu seperti politik atau perekonomian, dan hubungan yang terdapat antara unsur-unsur ini dengan pandangan dunia Islam ini adalah sebagaimana hubungan antara partikular terhadap universal.
[2] . Yang dimaksud dengan ideologi adalah unsur-unsur yang berasal dari kesimpulan-kesimpulan world view (pandangan dunia) dan filsafat, dimana "keharusan-keharusan" merupakan salah satu unsur yang termasuk di dalamnya, dan pada saat yang bersamaan juga memiliki dimensi asasi, dimana yang termasuk di dalamnya adalah dasar-dasar dan tujuan-tujuan.
[3] . Majemuk dari institusi-institusi dunia universal yang dijabarkan berdasarkan ideologi dan memiliki hubungan yang khas antara satu dengan yang lain kemudian membentuk perangkat-perangkat yang harmonis yang akan memberikan keterwujudan tujuan-tujuan berdasarkan prinsip dasar. Institusi bisa pula didefinisikan seperti berikut: kesimpulan obyektif dasar-dasar dan tujuan-tujuan ideologi tanpa bergantung dengan kondisi dan strukturisasi hukum-hukum dunia menyeluruh.
[4] . Hadawi Tehrani, Mahdi, Mabâni Kalâmi-ye Ijtihâd, hal. 383-404.
[5] . Ibid, hal. 403-404.
[6] . Perbuatan-perbuatan yang berdasar pada dasar-dasar kebaikan, dan manusia melakukannya dengan kekuatan akal dan kehendaknya sendiri.
[7] . Perbuatan-perbuatan yang berdasar pada hukum kecenderungan dan perasaan dan memiliki sumber instink.
[8] . Muthahhari, Murtadha, Muqaddimeh-i bar Jahân Bini, jil. 1, hal. 22-71, 253-262.
[9] . Qs. Al-Hijr (14): 9.
[10] . Metode ini dalam istilah fikih disebut dengan fikih jauhari atau fikih substansif. Silahkan lilhat, Hadawi Tehrani, Mahdi, Bawârhâ wa Pursesy-hâ, hal. 26-31.
[11] . Qs. Al-Baqarah (2):50 & 236.
[12] . Hadawi Tehrani, Mahdi, Bawârho wa Pursesy-hâ, hal. 46-58.
[13] . Muthahhari, Murtadha, Ponzdah Guftâr, hal. 227-247.
[14] . Muthahhari, Murtadha, Jihâd, hal. 41-55.
[15] .: Qadrdon Qaramalaki, Muhammad Hasan, Qurân wa Pluralism. Rabbani Gulpaigani, Ali, Tahlil wa Naqd Pluralisme Dini.
[16] . Silahkan lihat indeks: Pluralisme.
[17] . Pada bagian ini, mempelajari keitab-kitab berikut akan membawa manfaat: Khadâmat Mutaqâbil Islâm wa Irân, Murtadha , Muthahhari, terjemahan pendahuluan Ibnu Khaldun; Dharurat-e Muhandesi Tamaddun Islâmi, hal. 13-30; Sayyid Muhammad Mahdi Mir Baqiri, Tarikh-e Tamaddun, Will Durant, jil. 11, hal, 77; Dâiratul Ma'ârif Qarn Bistum, jil. 6, dan ... Tarikh Tamaddun Islam qa Gharb, Dr. Gustave Lebon, Mirats- Islam, Dr Mirhauf..."
[18] . Rujuklah Musawi Lari, Mujtaba, Sinemâye Tamaddune Gharb, hal. 167-346.
[19] . Silahkan lihat Indeks: Akal, Ilmu dan Agama.