Please Wait
24400
Ilmu memiliki tiga makna dan dua terminologi:
Terkadang bermakna mengetahui dan terkadang bermakna pengetahuan, dan terkadang berarti diketahui. Karena itu, pertama adalah makna derivatifnya (masdhari) dan kedua adalah makna kata benda derivatif (ism mashdar) dan ketiga adalah penjelasan bagi objek (washf maf’uli).
Adapun ilmu yang bermakna (knowledge) pengetahuan memiliki dua terminologi, terkadang dimaksudkan untuk mutlak pengetahuan dan pemahaman, apakah ia sesuai dengan realitas atau tidak. Dan terkadang diartikan sebagai pemahaman yang (hanya) sesuai dengan realitas.
Dalam pembahasan pertentangan antara ilmu dan agama, maka yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah temuan-temuan ilmu-ilmu natural (sains) yang bersandar pada eksperimen dengan menganalisa pelbagai peristiwa dan benda-benda fisikal.
Sesuai dengan makna belakangan, pada dunia Kristen terdapat pertentangan antara ajaran-ajaran Kitab Suci dan temuan-temuan sains dimana hal ini bersumber dari distorsi yang terjadi pada kitab suci, namun pada dunia Islam tidak hanya temuan-temuan ilmu baru tidak bertentangan dengan al-Qur’an, bahkan al-Qur’an banyak mewartakan permasalahan dimana ilmu baru empirik dapat membuktikan permasalahan tersebut. Dan permasalahan-permasalahan yang diumbar al-Qur’an ini dipandang sebagai bagian dari kemukjizatan-kemukjizatan ilmiah al-Qur’an.
Namun disayangkan masalah ini juga telah menyebabkan sebagian orang tanpa memperhatikan kaidah-kaidah tafsir dan tidak membedakan antara pandangan-pandangan ilmiah antara yang bersifat definitif dan hipotesa-hipotesa ilmiah, berada pada tataran mencocokkan (tathbiq) ayat-ayat al-Qur’an dengan hipotesa-hipotesa ilmiah dan hal ini merupakan sebuah kekeliruan besar.
Kita meyakini bahwa al-Qur’an merupakan kitab petunjuk dan menjelaskan apa saja yang diperlukan oleh umat manusia. Dan apabila terkadang menyinggung masalah ilmiah maka hal itu dimaksudkan untuk membantu dalam bidang ini dan merupakan bagian dari kemukjizatan al-Qur’an.
Namun tentu saja kita tidak mesti mengklaim keunggulan dan kebenaran al-Qur’an bahwa seluruh ilmu disebutkan dalam al-Qur’an. Kendati al-Qur’an mengandung banyak muatan ilmu yang belum dikenal hingga hari ini dan pada setiap masa sebagian dari muatan tersebut tersingkap bagi umat manusia.
Adapun makna akal memiliki aplikasi yang beragam dan yang kita maksudkan dengan akal di sini adalah kekuatan untuk memahami dan mencerap hal-hal universal. Semenjak awal, pada dunia Kristen orang-orang berpandangan bahwa ajaran-ajaran Kristen tidak selaras dan sejalan dengan data-data yang dibeberkan akal serta tidak dapat dijelaskan secara rasional. Karena itu, sebagian dari mereka beranggapan bahwa iman dan akal adalah dua wilayah yang terpisah.
Akan tetapi di dunia Islam, akal memiliki kedudukan tipikal. Banyak ayat al-Qur’an yang memotivasi manusia untuk berpikir dan berrasionisasi. Islam, dalam urusan keyakinan, menolak akidah yang tidak berpijak di atas rasionisasi dan rasionalitas. Dalam bagian hukum-hukum dan cabang-cabang agama, Islam menjadikan akal sebagai salah satu sumber inferensi hukum dan bahkan disebutkan apabila di suatu tempat akal, berdasarkan penalaran (reasoning) dan pandangan definitive, sampai pada sebuah matlab yang secara lahir berseberangan dengan nash-nash lahir agama, maka nash-nash lahir tersebut dirubah untuk kepentingan akal. Dan sejatinya, maksud-maksud nash dijelaskan melalui akal.
Agama adalah sekumpulan akidah, akhlak dan aturan-aturan untuk menggembleng manusia seta mengatur urusan-urusan sosial masyarakat dan memiliki tingkatan yang beragam. Agama sebagai sekumpulan aturan, dalam ilmu Ilahi dan lauf mahfuz berbicara tentang realitas dan apa yang terkandung dalam khazanah Ilahi ini, seluruh atau sebagian dari realitas tersebut sesuai dengan kondisi dan tuntutan ruang dan waktu, dimaksudkan untuk membimbing manusia. Para rasul diutus dan kemudian orang-orang dengan merujuk kepada akal dan teks-teks agama menjadi jelas. Dan akhirnya sebagian dari aturan tersebut dapat dilembagakan dan tersajikan dalam bentuk ajaran sebuah kelompok masyarakat. Dengan demikian agama dapat disimpulkan pada tingkatan-tingkatan berikut ini:
1. Agama nafs al-amr
2. Agama mursal (yang diturunkan)
3. Agama maksyuf (yang disingkap)
4. Agama yang dilembagakan.
Untuk redaksi ilmu disebutkan tiga makna tentangnya. Terkadang ilmu memiliki makna derivatifnya yaitu mengetahui dan mengenal. Terkadang bermakna kata benda derivatif yaitu bermakna pengetahuan dan pengenalan. Dan terkadang bermakna objektif dan objek derivatif yaitu hal-hal yang diketahui atau hal-hal yang telah menjadi pengetahuan kita.
Dalam pengucapan
Dalam masalah pengetahuan (knowledge) terdapat dua terminologi:
A. Pengetahuan dan pemahaman secara mutlak apakah ia sesuai dengan realitas atau tidak. Artinya apa saja yang disebut muncul sebagai bentuk mental pada pengetahuan sesorang (dunia kedua Popper) dan atau dalam bentuk sebuah proposisi dan matlab yang ditunjukkan pada bursa pengetahuan (dunia ketiga Popper).
B. Terkhusus pada pemahaman yang sesuai dengan realitas. Dalam pembahasan pertentangan antara ilmu dan agama, yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ilmu-ilmu tentang tabiat (natural sciences).[1] Natural sains adalah ilmu yang berasaskan pada eksperimen dan induksi dengan menganalisa peristiwa-peristiwa dan segala sesuatu yang fisikal. Dan sebagai kesimpulannya tidak termasuk dari dua terminologi ilmu yang disebutkan sebelumnya.
Penggunaan redaksi akal
Redaksi akal memiliki ragam penggunaan dan aplikasi. Dan yang kami maksud dengan akal adalah fakultas yang memberikan kemampuan untuk memahami dan mencerap segala yang universal (kulli).[2] Dan apabila pencerapan ini yang digunakan adalah premis-premis dan metodologi valid penalaran maka konklusi yang dicapai akan benar adanya. Namun harus diperhatikan bahwa siklus pencerapan akal terbatas pada hal-hal universal dan selainnya yang digunakan adalah media lain, seperti media indera. Namun analisa pencerapan-pencerapan inderawi berikut inferensinya merupakan pekerjaan akal. Karena itu, terkadang lantaran kesalahan indera maka akal juga acap kali mengalami kekeliruan dalam inferensinya.[3]
Penggunaan redaksi agama
Agama bermakna, patuh, tunduk, mengikut, taat, berserah diri dan perolehan ganjaran. Dalam al-Qur’an terkadang disebut sebagai aturan-aturan, dustur dan keputusan-keputusan yang dibuat manusia[4] dan terkadang digunakan untuk agama-agama batil. Misalnya sekumpulan aturan dan hukum yang dibuat oleh penguasa Qithbiyan atas Bani Israel[5] atau atas aturan-aturan para perompak dan para penyembah berhala Arab,[6] hal-hal ini disebut sebagai agama.
Dari sudut pandang al-Qur’an agama adalah seperangkat keyakinan, akhlak dan aturan yang berguna untuk pembinaan manusia dan pengelolaan pelbagai urusan sosial. Sejatinya, agama merupakan bahasa terang penciptaan dimana bagian fundamentalnya termasuk ilmu terhadap manusia, alam semesta dan pengetahuan tentang metode dan pendekatan sampainya manusia kepada kebahagiaan abadi. Agama yang benar adalah agama yang ditata dan diatur oleh Allah Swt.[7] Karena hanya Dia yang mengetahui seutuhnya alam dan manusia dan aturan yang diterapkan berdasarkan pengetahuan valid tentang segala kemampuan dan potensi yang terdapat pada manusia.[8]
Dengan demikian yang kami maksud dengan agama adalah terkhusus agama-agama Ilahi yang dapat ditinjau pada tingkatan dan derajat yang beragam:
1. Agama nafsul amr. Artinya apa yang terdapat pada ilmu Tuhan dan kehendak Rabbani untuk memandu manusia ke arah kebahagiaan. Dan karena substansi manusia adalah satu maka resep untuk meraih kebahagiaan juga adalah satu. Dan kesimpulannya universalitas dan tidak mengikut pada kondisi ruang dan waktu.
2. Agama mursal (yang diturunkan). Artinya apa yang datang dari Tuhan untuk memandu manusia disampaikan kepada para rasul dimana pada satu sisi sumbernya adalah agama nafs al-amr dan atas alasan ini mengandung unsur-unsur universalitas. Dan dari sisi lain, sesuai dengan generasi dimana agama ini diutus kepada mereka. Dan dengan memperhatikan kondisi ruang dan waktu orang-orang yang diserunya (mad’u) maka ia mengandung unsur-unsur situasional dan kondisional.
3. Agama maksyuf (yang disingkap). Artinya apa yang datang dari agama nafs al-amr atau agama mursal dengan merujuk kepada akal atau naql (Qur’an dan Sunnah) yang menjadi jelas bagi manusia.
4. Agama yang terlembagakan. Artinya bagian dari agama yang disingkap yang menjadi umum dan terlembagakan dan berbentuk ajaran kolektif manusia.
Al-Qur’an menegaskan “Sesungguhnya agama yang diterima di sisi Allah hanyalah Islam.” (Qs. Ali Imran [3]:19) menyiratkan pada agama nafs al-amr. Dan tatkala disebutkan bahwa, “Agama Islam adalah penutup agama-agama dan sebagainya, yang dimaksud dengan agama di sini adalah agama yang diturunkan dan terkadang yang menjadi sorotan adalah agama orang-orang dimana yang dimaksud dengan agama di sini adalah agama yang disingkap.”[9]
Sebagian orang memandang bahwa agama adalah Kitab dan Sunnah (teks) yang bercorak tetap. Makrifat agama adalah makrifat yang bergantung pada Kitab dan Sunnah, dengan penegasan bahwa makrifat ini tidak bergantung pada pikiran orang-orang dan merupakan perkara yang bersifat umum (dunia ketiga Popper) dan karena itu ia berubah-ubah.[10]
Namun harus diperhatikan bahwa penggunaan semacam ini, dengan memperhatikan matlab yang disebutkan di atas, telah membatasi lafaz agama pada salah satu tingkatannya dan di samping itu, apabila agama, adalah kitab dan sunnah serta bukan realitas luaran yang terdapat dalam ilmu Ilahi, lauh mahfuzh dan alam realitas dan juga bersifat tetap, maka tetap harus dikatakan bahwa perubahan akan tetap melanda agama sedemikian. Dan agama tidak dapat terhindar dari perubahan ini. Karena Kitab dan Sunnah mengisahkan tentang agama nafs al-amr maka makrifat terhadap kitab dan sunnah adalah makrifat terhadap makrifat yang lain. Dan dengan adanya pandangan beragam pada ilmu Kalam, Ushul, Rijal dan Filsafat agama, maka hal itu telah merubah cakupan Kitab dan Sunnah. Misalnya apabila dalam ilmu Ushul Fiqih kita memandang orang yang tsiqah (dipercaya) sebagai hujjat dan muktabar, maka cakupan agama dengan makna yang telah disebutkan akan berubah.[11]
Agama dalam pandangan Barat
Pelbagai definisi yang diutarakan di Barat terkait dengan agama, umumnya berangkat dari sudut pandang khusus. Misalnya dari sudut pandang psikologi disebutkan bahwa agama adalah kumpulan perasaan, perbuatan dan eksperimen orang-orang tatkala sendiri, kemudian menemukan diri mereka di hadapan apa yang mereka sebut sebagai Tuhan. (William James)
Dari sudut pandang sosiologi agama didefinisikan sedemikian, “Sekumpulan keyakinan, perbuatan, slogan dan lembaga agama yang dibangun oleh manusia.” (Talcott Parsons)
Dalam perspektif Naturalisme agama adalah sekumpulan perintah dan larangan yang menjadi penghalang kebebasan dan segala potensi manusia. (Salomon Reinach)
Dari sudut pandang keagamaan, agama mengakui pada realitas ini bahwa seluruh eksisten merupakan manifestasi kekuatan yang lebih unggul dari ilmu dan pengetahuan kita. (Herbert Spencer)[12]
Nampaknya definisi yang lengkap dan menyeluruh tentang agama disebutkan sebagai berikut bahwa agama adalah terbentuk dari sekumpulan keyakinan, perbuatan dan perasaan (personal dan kolektif) yang berputar pada pemahaman mencari hakikat. Keyakinan-keyakinan merupakan proposisi yang dapat benar dan salah. Keyakinan setiap agama adalah segala perbuatan khusus yang diterima oleh agama dan yang membangkitkan perasaan-perasaan.[13]
Adapun ilmu sesuai dengan salah satu terminologinya adalah pemahaman yang sejalan dan selaras dengan realitas. Kendati penggunaan terminologi ilmu ini di Barat dibahas pada mengemuka pembahasan hubungan atau pertentangan antara ilmu dan agama, khususnya ilmu tentang tabiat (sains). Dan akal juga merupakan kekuatan untuk mencerap segala yang universal. Agama adalah sekumpulan panduan Ilahi yang sampai kepada masyarakat melalui wahyu yang disampaikan oleh para nabi.
Untuk mengkaji perbedaan-perbedaan dan pertentangan-pertentangan antara ketiga masalah ini, kami akan mengemukakan pembahasan ini dalam dua sub-pembahasan.
1. Akal dan agama (akal dan iman)
Dalam kebudayaan Kristen lantaran terjadinya penyimpangan (distorsi) pada agama Nabi Isa As dirasakan bahwa antara data-data rasional dan ajaran-ajaran Isa terdapat pertentangan dan perbedaan. Dan sebagai akibatnya, dua pertanyaan asasi mengedepan di kalangan para cendekiawan dan ilmuwan bahwa apakah akal memiliki tempat pada domain agama atau tidak? Kendati secara lahir mereka tidak berkomentar tentang penggunaan asli akal untuk memahami iman, namun pertanyaan yang paling fundamental adalah tentang bagaimana kedudukan akal dalam domain iman? Artinya apakah seseorang harus memiliki dalil-dalil yang memuaskan (rasional) untuk kebenaran imannya?
Dalam menjawab pertanyaan ini muncul tiga kelompok pada dunia Barat:
1. Rasionalisme maksimalis; artinya setiap keyakinan yang tidak bersandar pada petunjuk-petunjuk yang tidak memadai (baca: rasional) maka ia adalah keyakinan tercela. Dan sistem keyakinan agama apabila ia ingin diterima maka ia harus dapat memuaskan orang-orang berakal. Clifford, matematikawan Inggris, dan John Locke adalah orang-orang yang memiliki keyakinan seperti ini. Aquianus juga berkata bahwa hakikat agama Kristen dapat diargumentasikan dengan riset rasional yang tepat dan memuaskan. Namun jalan akal dan iman terpisah. Dan kita harus menuntut dan mencari iman bukan akal. Sikap Swinburne juga sangat dekat pada rasionalisme maksimalis ini.
2. Fideisme; Pandangan ini, tidak memandang sistem-sistem keyakinan agama dapat ditelaah dan ditelisik melalui teraju rasionalitas. Puak Fideisme mengklaim bahwa sistem-sistem keyakinan agama sedemikian fundamental sehingga tiada yang lebih fundamental yang dapat menetapkannya. Kierkegaard adalah salah seorang penyokong pandangan ini dan ia yakin bahwa akal bertentangan dengan iman.
Namun pandangan ini telah lalai terhadap poin ini bahwa keyakinan-keyakinan seorang beriman bermakna fundamental tatkala memberikan petunjuk asasi dan menyeluruh untuk kehidupan seseorang dan baginya ia memberikan tujuan dan dalil-dalil, akan tetapi tidak dapat diambil kesimpulan bahwa keyakinan ini adalah fundamental.
3. Rasionalisme kritis: Pandangan ini menjelaskan bahwa sistem-sistem keyakinan agama dapat dan harus ditelisik dan dikritisi secara rasional, meski mustahil untuk dapat menetapkan sistem-sistem seperti ini. Dalam metode ini, Pertama: alih-alih menetapkan dan membuktikan untuk semua orang malah mencukupkan diri dengan menetapkan dan membuktikan untuk orang-orang tertentu. George I Mavrodes berkata, “Pemahaman tentang penetapan dan pembuktian ini harus kita pandang sebagai bergantung pada seseorang.” Kedua, sekali-kali tidak dapat dihukumi secara definitif bahwa pembahasan tentang hakikat dan kebenaran keyakinan-keyakinan agama telah sampai pada kesimpulan finalnya.” Terminologi ini pada batasan tertentu sejalan dengan makna yang disepakati oleh Popper.[14]
Akan tetapi dalam Islam, akal dipandang sebagai salah satu sumber untuk mengenal agama. Dan dalam pembahasan-pembahasan keyakinan, akal berada di front terdepan dan terpuji[15] sedemikian sehingga keyakinan yang berdasarkan taklid tanpa dasar-dasar penalaran berulang kali dicela dan dicemooh[16] oleh al-Qur’an.[17] Dan bahkan lantaran pandangan definitif, lahiriyah nash-nash akan berubah untuk kepentingan akal.
Dalam masalah hukum dan cabang (fikih) juga, akal dipandang sebagai salah satu nara-sumber fikih dan istinbath hukum-hukum. Artinya pelbagai hukum dan pakem yang jelas (bayyin) dan menjelaskan (mubayyin) secara rasional yang dihasilkan dengan metode argumentatif dalam bentuk definitif dan niscaya. Dimana hal berpengaruh sebagai indikasi-indikasi lubbi muttasil (bersambung) dan munfasil (terputus) dalam hal-hal lahir syar’i dan penyingkapan makna-makna agama.
Akal juga sebagai media untuk mengakses kepada agama nafs al-amr dan juga sebuah dalil untuk menyingkap agama mursal; karena melalui tiga jalan agama nafs al-amr itu dapat diakses:
Pertama, jalan wahyu dan syuhud yang terkhusus untuk orang-orang tertentu.
Kedua, naql; yaitu apa yang terang dijelaskan melalui jalan wahyu dan syuhud.
Ketiga, akal.
Namun untuk mengetahui agama mursal dapat ditempuh dengan dua jalan: Naql yang muktabar dan akal. Dan apabila (al-Qur’an dan hadis) menjelaskannya dimana akal sekedar menyingkapnya, hal ini menunjukkan pada fungsi dalil naqli yang memberikan petunjuk dan bimbingan.[18]
Dengan kata lain, akal dalam kaitannya dengan sebagian pengetahuan agama adalah standar dan terkait yang lainnya adalah pelita dan pada sebagian lainnya adalah kunci syariat.
A. Parameter dan standarnya akal dalam masalah-masalah seperti keharusan syariat atau invaliditas syirik dimana dalam hal ini, apabila wahyu mengungkapkan pandangan, ungkapannya adalah khazanah yang tertimbun pada akal-akal manusia. Imam Ali As bersabda, “
B. Akal adalah pelita: Akal terkait dengan istinbath hukum-hukum syariat laksana pelita dan memiliki hujjiyah (layak dipertanggungjawabkan secara argumentatif). Dan di samping Al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’, Akal tergolong sebagai salah satu nara-sumber fikih.
Pemetaan ini dapat dijalankan dengan dua cara: Terkadang berlaku sebagaimana ijma’. Artinya sebagaimana ijma’ berfungsi untuk menyingkap ucapan para maksum memiiliki hujjah dan konsideran (i’tibar), akal juga terkadang berfungsi untuk menyingkap Kitab dan Sunnah. Dan dalam wilayah ini, akal menggunakan paradigma-paradigma yang diambil dari al-Qur’an dan Sunnah (ghair mustaqillât ‘aqliya). Dan pada waktu yang lain, akal menyuguhkan sumber-sumber dan media-media rasional yang berfungsi sebagaimana fungsi al-Qur’an dan Sunnah dalam hukum-hukum syariat. (mustaqillât ‘aqliya)
C. Akal sebagai kunci. Artinya bahwa akal tatkala disebut sebagai pelita bagi aturan-aturan dan hukum-hukum syariat pada cakrawala keberadaannya maka ia mengungkapkannya dalam bentuk pahaman-pahaman universal, abstrak dan bersifat tetap. Selain itu, ia tidak memiliki hak untuk intervensi dalam batasan-batasan syariat. Misalnya akal bertugas hanya dengan bersandar pada ucapan para maksum sehingga ia dapat membahas masalah-masalah hukum. Dan selain itu, tidak berada di pundak akal.[21]
Bagaimanapun, hukum akal terkait dengan masalah yang dijelaskan diterima dalam pandangan Islam. Kita tidak hanya memerlukan afirmasi akal dalam pelbagai proposisi benar dan salah (masalah keyakinan), namun juga dalam ranah cabang-cabang (amal-perbuatan) dan domain akhlak, akal dipandang sebagai salah satu nara-sumber.
Iya, sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa akal tidak memiliki kemampuan untuk mengekspresikan pandangannya misalnya ada keyakinan-keyakinan yang berada di atas akal dimana dalam hal ini kita tidak memerlukan penegasan dan afirmasi akal. Namun pada saat yang sama, akal tidak boleh mengingkari hal itu. Misalnya masalah-masalah dan tipologi-tipologi yang terkait dengan akhirat. Sejatinya, tujuan para nabi adalah mengajarkan segala sesuatu dimana untuk mendapatkannya tidak melalui jalan akal “Yu’allimukum ma lam takun ta’lamun” (Dan mengajarkan kalian apa yang kalian tidak ketahui) (Qs. Al-Baqarah [2]:150) Allah Swt dalam ayat ini tidak berfirman, “Yu’allimukum ma lam ta’lamun.” Artinya Tuhan tidak berfirman mengajarkan apa yang kalian tidak ketahui, namun berfirman “Mengajarkan sesuatu kepadamu yang engkau tidak memiliki jalan untuk mengetahuinya.”[22]
2. Ilmu dan agama
Sebelum kita membahas pandangan Islam dalam masalah ini kiranya perlu kita meninjau akar munculnya permasalahan ini yaitu dunia Barat dan pendapat cendekiawan Barat.
Dalam peristiwa percekcokan antara gereja dan cendekiawan seperti Galileo, dan sikap tak simpatik gereja terhadap ilmuwan empirik, dan dari sisi lain telah terbukti dan tertetapkannya data-data sains, memunculkan tiga pendekatan dan peristiwa asasi di dunia Barat:
Pertama, Pandangan dan kelompok yang berpandangan kompetisi dan bahkan kontradiksi antara ilmu (sains) dan agama.
Sebagian orang seperti kaum Kristen fundamentalis dalam pertentangan antara ilmu dan agama mengklaim bahwa yang harus dikedepankan adalah kitab suci. Sebagian lainnya, berada pada kutub yang lain, lebih memilih pandangan naturalisme dan dengan menerima kehidupan yang menyempurna, disertai dengan masalah filosofis yang hanya menerima tabiat fisikal sebagai realitas, sebagaiman klaim Huxley.
Menafikan ajaran Kristen disertai dengan seluruh objeksi keyakinannya kepada Tuhan dan berkata bahwa manusia tidak memiliki tujuan tersembunyi di hadapannya.
Kedua, pandangan yang meyakini bahwa dua domain ini (sains dan agama) dari sudut pandang yang beragam berbeda satu dengan yang lain. Neo-ortodoks dan Eksistensialisme agama, Positivisme dan filsafat yang bersandar pada bahasa umum, termasuk dalam bagian ini. Karel Batt, salah seorang penyokong Neo-Ortodoks, berkata bahwa dari sisi subjek teologisnya Yesus merupakan manifestasi Tuhan dan subyek keilmuannya adalah dunia natural. Dari sudut pandang metodologi, Tuhan hanya dapat dikenal melalui manifestasi-Nya pada kita. Namun dalam domain tabiat (nature) Dia dapat dikenal melalui bantuan akal manusia. Dan tujuan agama juga adalah mempersiapkan orang untuk berhadapan dengan Tuhan, namun pengetahuan berupaya mengenal paragon-paragon yang berlaku di dunia empirik, karena itu dua masalah ini dari tiga sudut pandang berbeda dan dengan demikian berbenturan (tashadumi) antara satu dengan yang lain.
Kierkegaard yang merupakan pendiri mazhab Eksistensialisme berkata, "Pengetahuan keilmuan (saintifik) adalah pengetahuan non-personal dan sifatnya luaran. Namun makrifat agama (religious) merupakan makrifat yang sangat personal dan tertimbun dalam benak."
Obyek sains adalah benda-benda, peran dan aplikasi material. Dan obyek agama adalah realitas-realitas personal dan moral. Tujuan makrifat agama sejatinya bergantung pada hubungan antara orang beriman dan Tuhan. Dan agama tidak dapat dipahami dalam format kategori-kategori keilmuan dan terlepas dari faktor afeksi dan intelegensi.
Positivisme berkeyakinan bahwa tipologi pembeda keilmuan adalah: Dapatnya diuji secara umum di altar laboratorium empirik. Karena itu, sains adalah satu-satunya metode rasional untuk memperoleh pengetahuan. Hanya kuiditas empiriklah sebagai satu-satunya rujukan yang memiliki makna. Dan karena bahasa agama secara asasi berurusan dengan hal-hal non-empirik, misalnya Tuhan, ruh dan keabadian jiwa, dan dari sudut pandang pengetahuan tidak memiliki makna dan kebenaran.
Wittengstein yang filsafatnya bersandar pada bahasa konvensional berkata, “Bahasa memiliki aplikasi beragam. Tujuan bahasa keilmuan adalah prediksi dan pengendalian. Namun dalam pembahasan teologi bahasa digunakan untuk tujuan-tujuan seperti munajat dan mendapatkan ketenangan. Karena itu, sains dan agama, dua kegiatan yang sama sekali berbeda dimana subyek-subyek, metodologi dan tujuannya berbeda.
Ketiga, pandangan-pandangan yang memandang hubungan erat antara sains dan agama. Whitehead, mewakili pandangan ini, berusaha berdasarkan pada data-data empirik ilmu dan agama kemudian menyuguhkan interpretasi menyeluruh atas realitas.
Mccay berkata, sains dan teologi berupaya menunjukkan dasar-dasar pelbagai metodelogi dan tujuan untuk obyek-obyek tunggal dengan jenis beragam penjelasan. Sains berada pada tataran menyingkap sebab-sebab pelbagai peristiwa. Dan teologi berada pada arsy makna pelbagai peristiwa. Karena itu, kita mencari pemahaman yang lebih sempurna yang tersedia. Kita memilih hajat pada interpretasi-interpretasi teologis dan juga pada penafsiran-penafsiran saintifik.
Poin dimana McCay tidak mampu menjawabnya terletak pada masalah bahwa pada akhirnya apa yang harus dilakukan tatkala ktia berhadapan dengan pertentangan antara sains dan agama?
Swinburne berkata bahwa, sains dan teologi berdasarkan metodelogi tipikalnya ketika menjelaskan masing-masing subyek, tujuan dan pendekatannya yang masing-masing berbeda satu dengan yang lain. Penjelasan saintifik menyoroti segala potensi dan bakat, obyek-obyek fisikal makhluk yang tidak memiliki intelegensia. Namun penjelasan agama, berkenaan dengan realitas-realitas khusus yang bersumber dari perbuatan Tuhan (seperti perbuatan seorang berakal).
Akan tetapi sebagian orang menolak bahwa tugas sains adalah menjelaskan. Mereka berpandangan bahwa kemampuan sains terletak pada prediksi dan kontrol. Sebagian juga berkata pada masalah agama, tugas asli agama bukanlah menjelaskan, melainkan memikul tugas lain seperti menata kehidupan pribadi dan kolektif masyarakat.[23]
Akan tetapi dalam Islam, berkat terjaganya al-Qur’an dari penyimpangan dan distorsi, jauh dari atmosfer kontradiksi sains dan agama yang terjebak pada pelbagai ungkapan “katanya” (qil wa qâl) dengan intensitas dan keluasannya. Yang dirasakan, dalam Islam, tidak hanya temuan-temuan sains modern yang tidak bertentangan dengan al-Qur’an justru temuan-temuan sains modern tersebut semakin mengungkap kemukjizatan al-Qur’an dalam masalah-masalah ilmiah. Namun patut diingat sebagaimana telah disinggung bahwa lebih dari sepuluh persen dari ayat-ayat al-Qur’an yang menyoroti masalah-masalah ilmiah dalam bidang yang beragam.
Dalam masalah penafsiran ilmiah al-Qur’an terdapat tiga pendekatan:
1. Sebagian orang berkata bahwa al-Qur’an memuat seluruh ilmu dan pengetahuan. Karena itu, dengan maksud penafsiran ayat-ayatnya, al-Qur’an membahas temuan-temuan ilmu pengetahuan (sains).
2. Kelompok lainnya menentang penafsiran ilmiah al-Qur’an. Mereka berpandangan bahwa penafsiran ilmiah berseberangan dengan tujuan-tujuan dan maksud-maksud al-Qur’an.
3. Kelompok lainnya dengan sikap hati-hati dan memberikan probablitas menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan temuan-temuan pasti ilmu pengetahuan.
Kelompok pertama dengan bersandar pada ayat-ayat al-Qur’an[24] mengklaim bahwa segala sesuatu disebutkan dalam al-Qur’an, “Menjelaskan segala sesuatu.” (Qs. Al-Nahl [16]:89) Namun tidak memperhatikan bahwa al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk dan bimbingan bagi manusia. Al-Qur’an bukanlah sebuah ensikolpedia ilmu pengetahuan yang meniscayakan adanya pelbagai beragam disiplin ilmu kiwari. Yang dimaksud dengan “segala sesuatu” adalah segala sesuatu yang bertautan dengan petunjuk, “Menjelaskan segala sesuatu, petunjuk dan rahmat.” Artinya serba meliputinya al-Qur’an pada tataran memberikan petunjuk kepada manusia,[25] seperti pelbagai pengetahuan hakiki yang bertalian dengan mabda’, ma’ad, akhlak mulia dan sebagainya dimana manusia berhajat padanya dalam mendapatkan petunjuk dan bimbingan. Dimana dalam hal ini, al-Qur’an merupakan tibyan likulli syai (penjelas segala sesuatu). Akan tetapi untuk sampai pada tujuan edukatifnya, acapkali al-Qur’an memanfaatkan masalah-masalah natural dan ontologikal.[26]
Dalam pancaran ilmu pengetahuan kemukjizatan ilmiah al-Qur’an menjadi tampak. Kebenaran al-Qur’an dan Islam menjadi benderang bagi mereka yang dahaga ilmu pengetahuan dan sains baru.
Kelompok kedua lantaran takut jangan-jangan penafsiran ilmiah berujung pada ketidaksejalanan alam dan agama sehingga mereka menentang penafsiran sedemikian. Namun mereka lalai bahwa apabila al-Qur’an ditafsirkan berdasarkan pada realitas-realitas pasti dan niscaya (musallam) maka tidak akan muncul pertentangan. Karena itu, kelompok ketiga mengajukan sederetan syarat untuk penafsiran ilmiah al-Qur’an dimana pada gilirannya secara detil akan dibahas pada lain waktu.[27]
Di samping itu, dalam membandingkan dengan agama yang disingkap boleh jadi dirasakan pertentangan ini, bukan pada agama nafs al-amr atau agama mursal. Tidak seorang pun yang mengklaim bahwa seluruh penyingkapanya terkait dengan agama adalah seratus persen benar.[]
[1]. Ilmu wa Din, Ian G. Barbour, terjemahan, Bahauddin Khuramsyahi, hal. 9
[2]. Muhammad Husain Zadeh, Mabâni Ma’rifat-e Dini, hal. 36-44.
[3]. Mahdi Hadavi Tehrani, Bawârhâ wa Pursesyhâ, hal. 16-17.
[4]. “Maka mulailah Yusuf (memeriksa) karung-karung mereka sebelum (memeriksa) karung saudaranya sendiri, kemudian dia mengeluarkan piala raja itu dari karung saudaranya. Demikianlah Kami tunjukkan jalan keluar kepada Yusuf. Yusuf tidak mungkin dapat mengambil saudaranya menurut undang-undang raja (Mesir), kecuali Allah menghendakinya. Kami tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki, dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui.” (Qs. Yusuf [12]:76)
[5]. “Dan berkata Firaun (kepada pembesar-pembesarnya), “Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Tuhan-nya, karena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi.” (Qs. Al-Ghafir [40]:26)
[6]. (Jika demikian), untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku.” (Qs. Al- afirun [109]:6)
[7]. Qs. Al-Nashr (110):2; Qs. Al-Baqarah (2):193; Qs. Al-Anfal [8]:39; Qs. Al-‘Araf [7]:29; Qs. Al-Taubah [9]:29 & 33; Qs. Al-Hajj [22]:62.
[8]. Abdullah Jawadi Amuli, Syari’at dar Aini Ma’rifat, hal. 93-97. Mahdi Hadavi Tehrani, Bawârha wa Pursesyhâ, hal. 16-17.
[9]. Hadavi Tehrani, Mabâni Kalâmi Ijtihâd, hal. 384-389.
[10]. Soroush, Qabdh wa Basth Syariat, hal. 182, 184 dan 245.
[11]. Hadavi Tehrani, Bawârha wa Pursesyhâ, hal. 153-162.
[12]. John Hick, Falsafe-ye Din, terjemahan Bahram Rad, hal. 23-24. Hadavi Tehrani, Mabâni Kalâmi Ijtihâd, hal. 384.
[13]. Michael Peterson, ‘Aql wa I’tiqad-e Dini, hal. 18-22.
[14]. Michael Peterson, Op Cit, hal. 69-95. Hadavi Tehrani, Bawârha wa Pursesyhâ, hal. 49-58.
[15]. Dalam Al-Qur’an surah al-Zumar (39) ayat 17-18 menegaskan: “Sebab itu sampaikanlah berita gembira itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” Imam Ridha As bersabda kepada Hisyam ihwal ayat ini: Allah Swt memberikan berita gembira kepada orang-orang berakal. Tuhaf al-Uqul, hal. 404. Dan ayat ini menengarai beberapa poin di antaranya: 1. Demikianlah hamba Allah dan demikianlah keniscayaan penghambaan. 2. Antara mendengarkan (sima’) dan mendengarkan dengan seksama (istima’) terdapat perbedaan. 3. Mereka yang dengan kritis yang memilih dan mengikuti yang terbaik. 4. Kendati pada ayat ini adalah petunjuk akal namun Tuhan memandangnya sebagai petunjuk Ilahi. 5. Mereka yang tidak tercerahkan dengan akal dan pikiran maka tiada berarti dan nihil.”Mereka adalah ulul albab.”
[16]. Tuhaf al-‘Uqul, hal. 404-452. Ta’lim wa Tarbiyat dar Islâm, Syahid Muthahhari, hal. 17, 30, 175 dan 195.
[17]. Qs. Al-Baqarah (2):170; Qs. Al-Maidah (5):104; Qs. Al-Anbiya (21):53-54; Qs. Syu’ara (26):74; Qs. Zukhruf (43):23.
[18]. Abdullah Jawadi Amuli, Op Cit, hal. 335. Mahdi Hadavi Tehrani, Mabâni Kalâmi Ijtihâd, hal. 384-389.
[19]. Nahj al-Balâghah, Khutbah Pertama.
[20]. Imam Ridha As bersabda kepada Hisyam, “Allah Swt memiliki dua hujjah pada Bani Adam. Pertama hujjah batin (akal) dan hukkah lahir (wahyu). Tuhaf al-‘Uqul, hal. 407. Ta’lim wa Tarbiyah dar Islâm, Syahid Muthahhari, hal. 17, 30, 175, dan 195. Akhlâq-e Islâmi, Muhyiddin Hairi Syirazi, hal. 5-17.
[21]. Abdullah Jawadi Amuli, Op Cit, hal. 190-194.
[22]. Ushul Kâfi, Kitâb ‘Aql wa Jahl, jil.1, hal. 12, hadits 12. Syariat dar ‘Aine Ma’rifat, hal. 110 dan 344. Bawârhâ wa Pursesyhâ, hal. 48.
[23]. Aql wa I’tiqad-e Dini, hal. 358-396.
[24]. Qs. Al-Nahl (16):89; Qs. Al-An’am (6):38 & 52; Qs. Al-Saba (34):3; Qs. Al-A’raf (7):52; Qs. Al-Furqan (25):6.
[25]. “Hai ahli kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi al-Kitab yang kamu sembunyikan dan membiarkan (pula) banyak hal (yang tidak bermaslahat bila dibeberkan). Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridaan-Nya ke jalan keselamatan, mengeluarkan mereka dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Qs. Al-Maidah [5]:15-16)
[26]. Allamah Thaba-thabai, al-Mizân, jil. 12, hal. 325.
[27]. Sederatan syarat itu adalah 1.Mengamalkan aturan-aturan tafsir. 2. Bersandar pada aturan-aturan ilmiah yang definitif bukan pelbagai asumsi dan konsepsi terkaan dan asumtif. 3. Memperhatikan derajat dan kedudukan al-Qur’an. 4. Mengamalkan keselarasan dan kesesuaian ayat-ayat. 5. Tiadanya pertentangan dengan realitas-realitas definitif syariat. 6. Menghubungkan aturan-aturan ilmiah dengan ayat terkait. Untuk telaah lebih jauh silahkan baca, Kitâb Tafsir Ilmi Qur’ân, Nashir Rafi’i Muhammadi, jil. 2, hal. 176 & 219.