Advanced Search
Hits
12494
Tanggal Dimuat: 2012/02/14
Ringkasan Pertanyaan
Apa makna kaidah fikih yang menyatakan al-hâkim wali al-mumtani’ ?
Pertanyaan
Apa makna kaidah fikih yang menyatakan al-hâkim wali al-mumtani’?
Jawaban Global

Definisi dan makna jelas dan ringkas kaidah ini adalah bahwa penguasa kaum Muslimin dapat memaksa seseorang yang menolak memenuhi hak-hak (dalam artian umum) seseorang untuk memenuhi hak-hak tersebut.

Tanpa harus merujuk terlalu panjung dan jeluk pada turats fikih (litetarur fikih), kaidah ini  akan meyakinkan manusia pada kesimpulan bahwa otoritas (wilayah) hakim atas mumtani’ merupakan sebuah aksioma (prinsip yang telah diterima) di kalangan seluruh juris (fakih) dan tidak terdapat perdebatan di sini. Meski dalam sebagian obyek partikular tetap saja terlihat perbedaan.

Jawaban Detil

Penjelasan dan Penjabaran Kaidah

Pembahasan otoritas penguasa (wilâyah hakim) merupakan sebuah pembahasan yang telah ada dan mengemuka semenjak dahulu yang dapat dijumpai pada literatur-literatur (turats) fikih. Corak aturan-aturan Islam dan risalah besarnya, di samping selaksa dalil lainnya telah menjadikan pembahasan ini sebagai sebuah pilar dan sandaran dalam fikih.

Tanpa harus menelusuri terlalu panjang dan jeluk pada turats fikih (litetarur fikih) kaidah ini meyakinkan manusia pada kesimpulan bahwa otoritas (wilayah) hakim atas mumtani’ (orang-orang yang menolak untuk memenuhi hak seseorang) merupakan sebuah aksioma (prinsip yang telah diterima) di kalangan seluruh juris (fakih) dan tidak terdapat perdebatan di sini. Meski dalam sebagian obyek partikular tetap saja terlihat perbedaan.

Definisi dan makna jelas dan ringkas kaidah ini adalah bahwa penguasa kaum Muslimin dapat memaksa seseorang yang menolak memenuhi hak-hak seseorang (dalam artian umum) untuk memenuhi hak-hak tersebut.[1]

 

Siapa Penguasa itu?

Apakah setiap penguasa dan hakim memiliki wewenang seperti ini? Dan semata-mata karena ia seorang Muslim dan memerintah atas kaum Muslimin dapat memiliki wewenang seperti ini? Atau yang dimaksud sebagai penguasa dan hakim adalah orang-orang yang menguasai seluruh hukum dan masalah-masalah ibadah dan muamalah dalam Islam juga dan memahami dengan baik prinsip-prinsipnya?

Setelah mengkaji secara luas makna hakim dan penguasa dalam riwayat-riwayat dan tuturan-tuturan para fakih, Muhaqiq Damad, dalam Qawâid Fiqh, menulis, “Singkatnya, dengan memperhatikan hal-hal lain terkait dengan penggunaan kata hakim dalam Fikih, nampaknya yang dimaksud dengan hakim oleh para fakih adalah fakih yang memenuhi selaksa persyaratan di samping memangku jabatan peradilan dan pengadilan juga jabatan penguasa dalam artian umum dan juga memiliki kelayakan mengatur secara luas.”[2]

 

Dalil-dalil Riwayat

A.            Dalil Umum (Dalil Rasional dan Akal Sehat):

Menjaga sistem sosial masyarakat dan penegakan keadilan merupakan cita-cita dan dambaan seluruh umat manusia. Karena itu, secara rasional, akal menghukumi adanya penegakan keadilan seperti ini. Dari satu sisi, dalam masyarakat yang menerima pengamalan aturan dan tugas-tugas legal sebagai infrastruktur seluruh hubungan sosial kemasyarakatan, mau tak mau harus berhadapan dengan keharusan-keharusan untuk berkonfrontasi dengan orang-orang yang melanggar hukum dan peraturan; sehingga pelanggaran mereka tidak melebihi batas yang telah ditetapkan dari lembaga-lembaga pembuat hukum dan peraturan sehingga tidak menimbulkan kekacuaan dan anarki dalam masyarakat. Demikian juga supaya tidak memotivasi orang lain untuk melakukan pelanggaran.

Berdasarkan penalaran sederhana hukum seperti ini menjadi cikal-bakal munculnya kaidah fikih yang menjadi obyek bahasan.

Karena itu, kebanyakan fakih (juris), untuk dapat bersandar pada kaidah ini, tidak memandang perlu beragumentasi panjang lebar dan mengujukkan dalil. Dan mereka menyusun sebuah kaidah otoritas hakim atas mumtani’ yang merupakan sebuah aksioma yang diterima oleh seluruh anggota masyarakat dan tidak dapat digerusi. Rahasia kesimpulan seperti ini adalah adanya kejelasan hukum dan pijakan rasional atas kaidah ini atau mereka berpandangan bahwa dalil-dalil wilayah fakih sudah mencukupi atas persoalan ini.[3]  

 

B.            Dalil Khusus:

Meski redaksi kalimat al-hâkim wali al-mumtani’” tidak disebutkan dalam satu riwayat pun, namun kandungannya dapat ditemukan pada sebagian riwayat:

1.             Riwayat Salma bin Kuhail: Salma bin Kuhail meriwyatkan bahwa Ali As berkata kepada Syarih: “Perhatikanlah orang-orang yang memandang enteng menyerahkan hutang-hutang masyarakat meski ia memiliki kemampuan finansial. Serahkanlah hak-hak masyarakat dengan menjual harta dan benda orang tersebut; karena aku mendengar dari Rasulullah Saw yang bersabda, “Sikap memandang enteng orang yang mampu adalah kejahatan terhadap seorang Muslim yang menagih.”[4]

Meski sebagian sikap memandang enteng dipandang lemah namun dengan memperhatikan terhadap teks riwayat, riwayat ini adalah riwayat yang diterima oleh fukaha.[5]

2.             Riwayat Hudzaifah: Diriwayatkan dari Imam Shadiq As yang bersabda bahwa pada masa Rasulullah Saw gandum langka ditemukan di pasar. Kaum Muslimin datang menghadap beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah Saw!” Gandum kini langka ditemukan di pasar. Gandum hanya dapat ditemukan pada seseorang dan tidak pada yang lain. Instruksikanlah orang itu untuk menjual gandumnya. Rasulullah Saw berkata kepada orang itu, “Kaum Muslimin melaporkan bahwa gandum langka ditemukan di pasar dan hanya engkau yang memilikinya. Gelarlah untuk dijual dan juallah berapapun yang engkau mau. Janganlah engkau simpan gandum itu.”[6]

Namun pada teks riwayat di atas tidak disebutkan adanya penjelasan tentang adanya penolakan untuk menjual gandum sehingga keluar penerapan wilayah yaitu penjualan secara langsung oleh Rasulullah Saw. Namun dalam kondisi yang serupa apa yang dideskripsikan dalam riwayat, penolakan pemilik gandum untuk menjual gandumnya merupakan hal yang wajar. Hal ini teratasi setelah kaum Muslimin merujuk kepada Rasulullah Saw dan meminta beliau untuk menginstruksikan penjual gandum itu untuk menjual gandumnya.[7]

3.             Riwayat Abu Bashir: Imam Baqir As bersabda, “Barang siapa yang menolak untuk memenuhi kebutuhan sandang dan pangan istrinya maka imam memiliki hak untuk memisahkan keduanya. Riwayat ini, terlepas apakah kita memandangnya terkait dengan ketidakmampuan memberikan nafkah atau adanya penolakan, menunjukkan secara lahir suami menolak untuk memberikan talak kepada istrinya.”[8] Dalam kondisi seperti ini, imam dapat memisahkan keduanya sekiranya suami menolak memberikan nafkah kepada istrinya.  

4.             Konsensus (ijmâ’): Dalam tuturan-tuturan para fukaha kaidah ini diklaim telah tercapai konsensus (ijmâ).[9] Konsensus ini, meski tidak diungkapkan dengan menggunakan nama kaidah ini sendiri, namun paling tidak obyek-obyeknya telah banyak diklaim oleh para fukaha.[10]

 

Dengan memperhatikan hal-hal yang telah dijelaskan makna kaidah dan dalil-dalinya telah menjadi jelas. Namun sebagaimana yang telah disampaikan kaidah ini memiliki penyelarasan yang banyak dalam fikih yang disebutkan secara terpisah dalam pembahasan-pembahasan yang detil. [iQuest]

 

 



[1]. Fattah Syahid Tabrizi, Hidâyat al-Thâlib ila Asrâr al-Makâsib, jil. 3, hal. 605, Itthila’at, Tabriz, 1375 H.

[2]. Sayid Mustafa Muhaqqiq Damad, Qawâid Fiqh, jil. 3, hal. 213, Markaz Nasyr ‘Ulum Islami, Teheran, 1406 H.

[3]. Silahkan lihat, Muhammad Husain Isfahani, Hâsyiyah Kitâb al-Makâsib, jil. 2, hal. 399, Anwar al-Huda, Qum, Cetakan Baru, 1418 H.  

[4]. Muhammad bin Ya’qub Kulaini, Al-Kâfi, jil. 7, hal. 412, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1407 H.  

[5]. Qawâid Fiqh, jil. 3, hal. 205.  

[6]. Al-Kâfi, jil. 5, hal. 164.  

[7]. Qawâid Fiqh, jil. 3, hal. 206.  

[8]. Muhammad bin Ali Shaduq, Man La Yahdhur al-Faqih, jil. 3, hal. 441, Daftar Intisyarat-e Islami, Qum, 1413 H.  

[9]. Muhammad Hasan Najafi, Jawahir al-Kalam, jil. 22, hal. 485, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, Beirut, Tanpa Tahun.  

[10]. Syaikh Muhammad Husain Gharawi Isfahani dalam hal ini berkata, “Otoritas penguasa dalam kebanyankan hal ini (dan obyek-obyek ini) adalah merupakan sebuah consensus dan dalam tuturan-tuturan ulama mengemuka sebagai hal yang telah diterima secara umum sedemikian sehingga tidak perlu ditetapkan dan dapat dijadikan sandaran. Silahkan lihat Hâsyiyyah Kitâb al-Makâsib, jil. 2, hal. 399.  

Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar
Jumlah Komentar 0
Silahkan Masukkan Redaksi Pertanyaan Dengan Tepat
contoh : Yourname@YourDomane.ext
Silahkan Masukkan Redaksi Pertanyaan Dengan Tepat
<< Libatkan Saya.
Silakan masukkan jumlah yang benar dari Kode Keamanan

Klasifikasi Topik

Pertanyaan-pertanyaan Acak

Populer Hits

  • Ayat-ayat mana saja dalam al-Quran yang menyeru manusia untuk berpikir dan menggunakan akalnya?
    261083 Tafsir 2013/02/03
    Untuk mengkaji makna berpikir dan berasionisasi dalam al-Quran, pertama-tama, kita harus melihat secara global makna “akal” yang disebutkan dalam beberapa literatur Islam dan dengan pendekatan ini kemudian kita dapat meninjau secara lebih akurat pada ayat-ayat al-Quran terkait dengan berpikir dan menggunakan akal dalam al-Quran. Akal dan pikiran ...
  • Apakah Nabi Adam merupakan orang kedelapan yang hidup di muka bumi?
    246230 Teologi Lama 2012/09/10
    Berdasarkan ajaran-ajaran agama, baik al-Quran dan riwayat-riwayat, tidak terdapat keraguan bahwa pertama, seluruh manusia yang ada pada masa sekarang ini adalah berasal dari Nabi Adam dan dialah manusia pertama dari generasi ini. Kedua: Sebelum Nabi Adam, terdapat generasi atau beberapa generasi yang serupa dengan manusia ...
  • Apa hukumnya berzina dengan wanita bersuami? Apakah ada jalan untuk bertaubat baginya?
    230030 Hukum dan Yurisprudensi 2011/01/04
    Berzina khususnya dengan wanita yang telah bersuami (muhshana) merupakan salah satu perbuatan dosa besar dan sangat keji. Namun dengan kebesaran Tuhan dan keluasan rahmat-Nya sedemikian luas sehingga apabila seorang pendosa yang melakukan perbuatan keji dan tercela kemudian menyesali atas apa yang telah ia lakukan dan memutuskan untuk meninggalkan dosa dan ...
  • Ruh manusia setelah kematian akan berbentuk hewan atau berada pada alam barzakh?
    214886 Teologi Lama 2012/07/16
    Perpindahan ruh manusia pasca kematian yang berada dalam kondisi manusia lainnya atau hewan dan lain sebagainya adalah kepercayaan terhadap reinkarnasi. Reinkarnasi adalah sebuah kepercayaan yang batil dan tertolak dalam Islam. Ruh manusia setelah terpisah dari badan di dunia, akan mendiami badan mitsali di alam barzakh dan hingga ...
  • Dalam kondisi bagaimana doa itu pasti dikabulkan dan diijabah?
    176215 Akhlak Teoritis 2009/09/22
    Kata doa bermakna membaca dan meminta hajat serta pertolongan.Dan terkadang yang dimaksud adalah ‘membaca’ secara mutlak. Doa menurut istilah adalah: “memohon hajat atau keperluan kepada Allah Swt”. Kata doa dan kata-kata jadiannya ...
  • Apa hukum melihat gambar-gambar porno non-Muslim di internet?
    171533 Hukum dan Yurisprudensi 2010/01/03
    Pertanyaan ini tidak memiliki jawaban global. Silahkan Anda pilih jawaban detil ...
  • Apakah praktik onani merupakan dosa besar? Bagaimana jalan keluar darinya?
    168007 Hukum dan Yurisprudensi 2009/11/15
    Memuaskan hawa nafsu dengan cara yang umum disebut sebagai onani (istimna) adalah termasuk sebagai dosa besar, haram[1] dan diancam dengan hukuman berat.Jalan terbaik agar selamat dari pemuasan hawa nafsu dengan cara onani ini adalah menikah secara syar'i, baik ...
  • Siapakah Salahudin al-Ayyubi itu? Bagaimana kisahnya ia menjadi seorang pahlawan? Silsilah nasabnya merunut kemana? Mengapa dia menghancurkan pemerintahan Bani Fatimiyah?
    158043 Sejarah Para Pembesar 2012/03/14
    Salahuddin Yusuf bin Ayyub (Saladin) yang kemudian terkenal sebagai Salahuddin al-Ayyubi adalah salah seorang panglima perang dan penguasa Islam selama beberapa abad di tengah kaum Muslimin. Ia banyak melakukan penaklukan untuk kaum Muslimin dan menjaga tapal batas wilayah-wilayah Islam dalam menghadapi agresi orang-orang Kristen Eropa.
  • Kenapa Nabi Saw pertama kali berdakwah secara sembunyi-sembunyi?
    140830 Sejarah 2014/09/07
    Rasulullah melakukan dakwah diam-diam dan sembunyi-sembunyi hanya kepada kerabat, keluarga dan beberapa orang-orang pilihan dari kalangan sahabat. Adapun terkait dengan alasan mengapa melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi pada tiga tahun pertama dakwahnya, tidak disebutkan analisa tajam dan terang pada literatur-literatur standar sejarah dan riwayat. Namun apa yang segera ...
  • Kira-kira berapa usia Nabi Khidir hingga saat ini?
    133980 Sejarah Para Pembesar 2011/09/21
    Perlu ditandaskan di sini bahwa dalam al-Qur’an tidak disebutkan secara tegas nama Nabi Khidir melainkan dengan redaksi, “Seorang hamba diantara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (Qs. Al-Kahfi [18]:65) Ayat ini menjelaskan ...