Please Wait
7837
Muslim bin Aqil hidup semasa dan mendapatkan tiga Imam Maksum As (Amirul Mukminin, Imam Hasan dan Imam Husain As). Pada masa imâmah Imam Ketiga, Imam Husain As, Muslim berangkat menuju kota Kufah sebagai utusan dan duta Imam Husain As. Muslim mempersembahkan jiwanya untuk memenuhi tujuan imamnya. Ia gugur sebagai syahid setelah Ubaidillah bin Ziyad menitahkan pasukannya untuk menghabisi Muslim.
Muslim pada masa ini berangkat ke Kufah sebagai utusan Imam Husain As, namun setelah itu, beliau menerima kenyataan bahwa orang-orang Kufah tidak setia kepada baiat mereka dan akhirnya memutuskan untuk sendiri bertarung dengan para lasykar Ubaidillah bin Ziyad.
Setelah bertarung dengan sengit, akhirnya Muslim ditangkap dan dibawa ke hadapan Ibnu Ziyad. Ia memerintahkan kepada pasukannya supaya Muslim dibawa ke atas istana dan kepalanya dipenggal. Tidak lama kemudian, perintah Ibnu Ziyad dijalankan dan Muslim akhirnya menggondol gelar syahid. Pusara sucinya terletak di kota Kufah dan menjadi tempat ziarah para pecinta Ahlulbait As.
Muslim adalah putra seorang pria bernama Aqil. Di antara putra Aqil, Muslim adalah yang paling sempurna. Aqil adalah saudara Baginda Ali As dan merupakan anak kedua dari Abu Thalib.[1] Karena itu, Muslim dengan satu perantara (Aqil bin Abi Thalib) adalah hasil gemblengan dan tarbiyah Abu Thalib dan istrinya Fatimah binti Asad.
Ibunya bernama Khalilah (atau Halilah). Ia adalah seorang kanizah (budak perempuan) yang dibeli oleh Aqil dari Syam (Suriah).[2] Istri Muslim adalah Ruqayyah yang merupakan salah satu putri Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As.[3] Dengan demikian, Muslim mendapatkan kehormatan sebagai menantu Baginda Ali As.
Muslim tidak mendapatkan masa Rasulullah Saw karena tatkala kesyahidannya (tahun 60 Hijriah) usianya tidak lebih dari empat puluh tahun. Artinya semenjak masa wafatnya Rasulullah Saw hingga tahun enam puluh Hijriah telah berlalu lima puluh tahun lamanya.[4] Berdasarkan perhitungan ini, Muslim lahir sepuluh tahun pasca wafatnya Rasulullah Saw.
Putra-putra Muslim adalah sebagai berikut:
Pertama dan kedua, Abdullah dan Ali hasil dari pernikahannya dengan Ruqayyah.
Ketiga, Muslim bin Muslim hasil pernikahan dengan Bani Amir.
Keempat, Abdullah yang ibunya bernama Ummu Walad.
Kelima, Muhammad.
Keenam, Ibrahim.
Seluruh putranya gugur sebagai syahid di Karbala, kecuali dua anaknya yang bernama Muhammad dan Ibrahim. Kedua putra ini, kabur dari penjara setelah menanggung penderitaan selama setahun penjara. Namun setelah berapa lama, keduanya gugur sebagai syahid di tangan seorang zalim bernama Harits bin Ziyad.[5] Dengan demikian, Muslim tidak memiliki anak cucu sebagai generasinya yang tersisa.[6]
Masa Hidup Muslim bersama Imam Maksum As
Muslim hidup semasa dan mendapatkan tiga imam:
1. Pada masa Imam Ali As: Muslim memiliki kehormatan sebagai menantu Baginda Ali As pada masa ini. Beliau menikah dengan salah seorang putri Amirul Mukminin Ali As yang bernama Ruqayyah yang dengan perantaranya membuat ia lebih dekat dengan gemblengan dan tarbiyah di madrasah Alawi.
Sesuai dengan nukilan sejarawan pada masa pemerintahan Amirul Mukminin As (antara tahun 36 hingga 40) Muslim menerima sebagian tugas militer dari Imam Ali pada jajaran pasukannya. Di antaranya pada perang Shiffin tatkala Amirul Mukminin As mempersiapkan lasykarnya, Imam Hasan, Imam Husain, Abdullah bin Ja’far dan Muslim bin Aqil ditempatkan pada sayap kanan pasukannya.[7]
2. Pada masa Imam Hasan As: Muslim pada masa ini juga berada di jalan benar dan termasuk di antara sahabat yang paling setia dan sahabat khusus Imam Hasan As.[8]
3. Pada masa Imam Husain As: Kecintaan dan sokongan Muslim bin Aqil terhadap Imam As tidak pernah surut. Muslim mendapatkan kehormatan untuk menjadi pandu gerakan Karbala dan orang yang pertama gugur sebagai syahid dalam karavan dan gerakan Imam Husain. Muslim beserta 8 orang saudaranya semuanya dipersembahkan di jalan Imam Husain As.[9]
Peristiwa Kesyahidan Muslim bin Aqil
Tindakan pertama Imam Husain As setelah menerima surat dari warga Kufah adalah mengutus Muslim ke Kufah. Setelah meninggalkan Mekah ke Medinah dan dari Medinah, Muslim bergerak menuju Irak. Sesampaianya di Kufah, ia bermukim di rumah Mukhtar.
Selama tiga puluh lima hari psaca masuknya Muslim (5 Syawal 60 H) terdapat kurang lebih delapan belas ribu orang yang menyatakan baiat kepadanya hingga Gubernur Kufah dimakzul dan digantikan dengan Ubaidillah bin Ziyad.
Ubaidillah dengan menerbarkan ancaman dan umpan harta kepada masyarakat, berhasil mencerai beraikan para pemimpin kabilah dari sisi Muslim dan meninggalkan Muslim seorang diri. Tatkala Ubaidillah bahwa mengetahui bahwa Muslim telah ditinggal seorang diri, ia mengirim pasukan untuk menangkapnya. Ketika itu Muslim berlindung di kediaman seorang wanita bernama Tu’ah.
Sewaktu mendengarkan suara pasukan Ubaidillah bin Ziyad, Muslim mempersiapkan diriinya untuk bertarung. Melihat banyak lasykar musuh yang tumbang di tangan Muslim, mereka melakukan muslihat dan Muslim tidak memilih jalan lain untuk melanjutkan pertarungan dan menyerahkan diri.
Muslim dibawa ke hadapan Ubaidillah bin Ziyad, setelah berlangsung dialog sengit dan kasar di antara keduanya, Ubadilllah memerintahkan untuk membawanya di atas istana sehingga orang yang terluka karena Muslim memenggalnya dan perintah Ubaidallah pun dilaksanakan.[10]
Keutamaan Baginda Muslim
A. Garis Keturunan
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa Muslim adalah putra seseorang yang dibina dan digembleng oleh Abu Thalib As. Muslim juga mendapatkan kehormatan menjadi seorang menantu bagi Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As. Pengaruh gemblengan dan tarbiyah kedua orang ini tentu saja menyisakan pengaruh yang dalam pada Muslim demikian juga pada ketinggian derajatnya.
B. Muslim dalam Lisan Para Maksum
Rasulullah Saw bersabda, “Putranya (Aqil) akan terbunuh di jalan kecintaan putramu. Orang-orang beriman akan menangisinya dan para malaikat akan menyampaikan salam kepadanya.”[11]
Imam Husain As dalam sebuah surat yang ditujukan untuk warga Kufah menulis bahwa “Qad ba’atstu ilaikum akhi wabna ‘ammi watsaqati min Ahli baiti.” Aku mengutus seseorang kepada kalian yang merupakan saudaraku, putra pamanku dan orang kepercayaanku dari Ahlulbaitku.”[12]
Sabda Imam Maksum As menunjukkan kehormatan dan kebanggaan bagi Baginda Muslim:
1. Saudara: Imam Husain As memberikan sandaran persaudaraan kepadanya sementara Muslim bukanlah saudara nasabnya. Hal ini disebabkan oleh loyalitasnya sehingga mendapatkan gelar saudara Imam Husain.
2. Orang kepercayaan: Sekiranya hanya ucapan ini yang disampaikan oleh Imam Husain As terkait dengan Muslim maka hal itu telah mencukupi untuk menetapkan keutamaan Baginda Muslim.
3. Ahlulbaitku: Ucapan ini sama dengan ucapan Rasulullah Saw terkait dengan Salman Farsi.
C. Surat Ziarah kepada Baginda Muslim
Dalam surat ziarah Muslim bin Aqil disebutkan banyak keutamaan Baginda Muslim bin Aqil. Barangkali di antara yang paling penting dari keutamaan tersebut adalah, “Al-Salâm Alaikum Ayyuhâ al-‘Abd al-Shaleh al-Muthi’ LiLlâh wa Lirasûluhi wa li Amir al-Mu’minin wa al-Hasan wa al-Husain ‘alaihim al-salâm.”[13] Salam padamu wahai hamba shaleh yang taat kepada Allah, Rasul-Nya dan kepada Amirul Mukminin dan Hasan dan Husain (Semoga Allah melimpahkan salam dan shalawat kepada mereka). Allahummah! Kumpulkanlah ruhnya bersama ruh para Imam Maksum As. [IQuest]
[1]. Ansâb al-Asyrâf, Ahmad bin Yahya Baladzuri, jil. 2, hal. 77.
[2]. Terjemahan Ali Abi Thalib, Jawad Fadhil, terjemahan Maqâtil al-Thâlibin, jil. 2, hal. 119.
[3]. Maqâtil al-Thâlibin, Abu al-Faraj Isfahani, 86, terjemahan Maqâtil al-Thâlibin, 1/119.
[4]. Ta’ammuli dar Nehdhat ‘Asyurâ, Rasul Ja’fariyan, diadaptasi dari hal. 164.
[5]. Ansâb al-Asyrâf, Ahmad bin Yahya Baladzuri, jil. 2, hal. 71 (Nama ibu Muhamamad tidak disebutkan dan nama dari saudara Muhammad yaitu Ibrahim tidak disebutkan. Sementara yang masyhur bahwa syahadah Ibrahim bersama Muhammad). Zendegâni Hadhrat Imâm Husain As, Muhammad Jawad Najafi, hal. 131.
[6]. Maqâtil al-Thâlibin, Abu al-Faraj Isfahani, 86, Farzandân-e Abi Thalib, jil. 1, hal. 119.
[7]. Site Hauzah, tanpa tahun, sesuai nukilan dari Kâmil Ibnu Atsir.
[8]. Ibid.
[9]. Ibid, dari Maqâtil al-Thâlibin, terjemahan Rasuli.
[10]. Ta’ammuli dar Nehdhat ‘Asyurâ, Rasul Ja’fariyan, diadaptasi dari hal. 165 sampai 171.
[11]. Site Hauzah dengan alamat sebelumnya.
[12]. Al-Imâmah wa al-Siyâsah, Dainawari, jil. 2, hal. 8.
[13]. Mafâtih al-Jinân, Syaikh Abbas Qummi, hal. 402.