Please Wait
8882
Syubha ini boleh jadi tersimpan dalam benak setiap orang bahwa apa perlunya aturan hijab bagi kaum Muslimin dan bagi agama minoritas (orang-orang Kristen dan Yahudi)? Apa yang menjadi dasar dan sesuai dengan kaidah apa aturan ini diterapkan bagi mereka?
Dalam hal ini kami mengajak Anda untuk memperhatikan beberapa poin berikut ini:
1. Apa yang dapat disimpulkan dari al-Qur'an terkait dengan masalah hijab adalah bahwa hijab bukanlah membatasi kaum perempuan melainkan memelihara dan didasari oleh faktor ingin menjaga kemuliaan wanita.
2. Di samping itu, sebelum hijab menjadi aturan dan hukum Islam, ia merupakan anugerah dan amanah Ilahi bagi seluruh agama dan seluruh umat manusia; lantaran banyaknya manfaat yang terpendam di dalamnya.
3. Untuk mendapatkan manfaat dan pengaruh hijab pada masyarakat Islam hanya mungkin dapat terlaksana dengan menjaga seluruh aturan pada seluruh strata masyarakat di bawah pemerintahan Islam.
4. Kaum minoritas di setiap negara berkewajiban untuk mentaati aturan dan konstitusi yang berlaku di negaranya masing-masing, agama minoritas yang hidup di Iran juga demikian adanya. Mereka berkewajiban untuk mematuhi aturan dan konstitusi yang berlaku di negara Republik Islam Iran, di antaranya adalah mengenakan hijab dan busana Islami dengan maksud untuk menjaga keselamatan spirit dan jiwa masyarakat.
5. Agama minoritas sesuai dengan ajaran-ajaran agama mereka juga memiliki kewajiban untuk mengenakan hijab.
Hijab Islami merupakan manifestasi keindahan yang bersumber dari kedalaman fitrah suci seorang manusia dan keyakinan agama. Dengan mengenakan hijab upaya untuk mewujudkan dunia yang penuh keamanan, kenyamanan, kemuliaan jiwa, percaya diri dan sebagianya dapat dilaksanakan. Demikianlah hukum Islam, dengan kebijaksanaan dan pengaturan Ilahi, yang diwajibkan atas kaum perempuan. Sejatinya hijab merupakan hadiah Ilahi bagi masyarakat manusia dan Islam.
Kecendrungan kaum perempuan yang kian hari kian bertambah terhadap perkara penuh kebijaksanaan Ilahi ini di belahan dunia Barat. Hal ini kemudian menggejala di Barat setelah mereka mencicipi rasa getir tanpa hijab dan buruk hijab. Hal ini sendiri merupakan indikasi dan penjelas ungkapan yang terkenal itu bahwa hijab untuk menjaga bukan untuk membatasi.
Dengan memperhatikan manfaat dan pengaruh hijab, kedua hal ini dapat menjelaskan dengan lebih baik bahwa keharusan hijab sebagai hadiah Ilahi dari satu sisi dan keharusan implementasinya dalam format aturan dan konstitusi masyarakat manusia dan Islam dari sisi lainnya.
Manfaat dan pengaruh utama hijab
Beberapa poin berikut ini secara global adalah manfaat dan pengaruh utama hijab:
A. Menciptakan ketenangan jiwa pada diri seseorang: Di antara hasil yang dapat diperoleh dengan mengenakan hijab pada sisi personal adalah tiadanya provokasi seksual. Dan sebagai titik seberang dari poin ini yaitu tiadanya hijab dan kebebasan dan interaksi tanpa norma dan aturan antara pria dan wanita adalah munculnya provokasi seksual di antara keduanya. Dan insting seksual yang merupakan insting yang kuat dan menghancurkan. Kondisi tanpa norma dan aturan ini laksana api yang tersulut sehingga semakin banyak kayunya maka apinya akan semakin menjilat dan membakar.
B. Semakin menguatkan institusi keluarga: Manfaat lain yang penting dari hijab pada sisi keluarga, pengkhususan kelezatan seksual pada lingkungan keluarga dan alur-alurnya yang legal. Pengkhususan yang dimaksudkan menjadi penyebab eratnya dan lekatnya hubungan yang lebih kuat antara istri dan suami dan sebagai hasilnya semakin kuatnya pranata keluarga dan sebaliknya, tiadanya hijab akan menyebabkan kehancuran rumah tangga sebagai sebuah rukun dari rukun masyarakat.
Salah seorang penulis, terkait dengan pengaruh budaya telanjang atas kerusakan dan keroposnya pohon keluarga menulis sebagai berikut: Pada sebuah komunitas yang berlaku budaya telanjang di dalamnya, setiap pria dan wanita senantiasa berada pada kondisi diperbandingkan. Membandingkan apa yang ia punyai dan apa yang tidak ia punyai. Apa yang mencerabut akar keutuhan sebuah rumah tangga adalah perbandingan api hawa nafsu ini pada wanita dan suami dan khususnya pada diri suami.[1]
Sangat jelas bahwa buah beracun akibat dari perbandingan ini pada masyarakat yang terdeprivasi dari anugerah hijab. Dan apa yang disebut sebagai runtuhnya tatanan keluarga di dunia Barat adalah sebagai hasil dari jauhnya masyarakat dari hijab. Sebagai kebalikannya, masyarakat yang memandang hijab sebagai hadiah Ilahi dan memandang diri mereka wajib menjaga hijab, tidak hanya langkah perdana yang ia ayunkan dalam menjaga tatanan keluarga, akan tetapi wibawa dan kehormatan kemanusiaannya juga ia tunaikan. Demikian juga, mereka terjaga dari pelecehan, gangguan dan pandangan beracun yang berpengaruh pada diri dan masyarakat.
C. Menciptakan peluang bagi manusia untuk menyempurna dan meninggi: Dalam perspektif kita (sebagai seorang Muslim) hijab adalah untuk menjaga bukan membatasi. Pada atmosfer dimana hijab diamalkan maka peluang untuk meninggi dan menyempurna semakin terbuka lebar bagi manusia. Karena itu, kita menyebut bahwa tanpa hijab bahkan bagi masyarakat Barat adalah sebuah racun yang mematikan dan kita percaya bahwa semakin budaya telanjang ini tersebar maka manusia akan semakin menjauh dari tujuan untuk apa ia diciptakan.
Hukum ini laksana hukum-hukum yang lain dalam Islam yang bertujuan untuk menciptakan peluang yang tepat bagi manusia supaya melenggang mulus menapaki jalan kesempurnaan yang telah didesain oleh Allah Swt. Dari sudut pandang ini, wanita diumpamakan sebagai setangkai bunga yang harus dijaga dan ditutupi sehingga tidak menjadi sasaran empuk para penjarah dan pria asing.
Wanita dipandang sebagai mutiara berharga yang harus disimpan dalam peti hijab sehingga ia terjaga dari tangan para pencuri. Dengan budaya hijab, setiap wanita tidak boleh dengan kondisi yang tidak pantas (tanpa hijab) hadir di tengah-tengah pertemuan sosial bercampur dengan non-mahram. Dengan menjaga hijab, para pemuda di negeri ini dapat dengan mudah menuntut ilmu yang mereka cari dan berhasil meraih tingkatan-tingkatan tertinggi moral dan kemanusiaan. Sesungguhnya hijab banyak memiliki manfaat dan pengaruh yang, mengingat keterbatasan ruang dan waktu, hanya sebagian disebutkan di sini.
Di sini kita dapat berkata bahwa: Hukum menutupi diri dari pandangan non-mahram dan hukum hijab merupakan hukum Islam yang memiliki dalil filsafat tersendiri yang harus ditunaikan oleh kaum Muslimin dan non-Muslim pada masyarakat Islam. Dengan memperhatikan poin-poin ini Allah Swt berfirman pada ayat 31 surah al-Nur (24): " Katakanlah kepada kaum laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangan dan memelihara kemaluan mereka; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” Katakanlah kepada kaum wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangan dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang (biasa) nampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (supaya dada dan leher mereka tertutupi), dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, ayah mereka, ayah suami mereka, putra-putra mereka, putra-putra suami mereka, saudara-saudara laki-laki mereka, putra-putra saudara laki-laki mereka, putra-putra saudara perempuan mereka, wanita-wanita seagama mereka, budak-budak yang mereka miliki, laki-laki kurang akal yang ikut bersama mereka dan tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan pada saat berjalan, janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
Pada akhir ayat ini segala jenis faktor provokatif (seksual) dilarang. Dan disebutkan bahwa pada saat berjalan kaum perempuan dilarang untuk memukulkan kaki mereka aga diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Perintah ini menunjukkan bahwa sedemikian Islam menerapkan aturan ketat berkenaan dengan kesucian masyarakat secara umum sehingga yang sedemikian juga dilarang. Apatah lagi faktor-faktor lainnya yang lebih menyemburkan api syahwat. Seperti penyebaran foto-foto seksi dan film-film yang membisikkan, kisah-kisah roman dan cerita-cerita seksual. Tanpa ragu lingkungan Islami harus terjaga dari masalah-masalah seperti ini yang memancing para pelanggan kepada sentral-sentral maksiat, yang mengajak putra dan putri untuk berlaku amoral dan asusila.[2]
Jelas bahwa realisasi hukum-hukum seperti ini dapat diwujudkan ketika masyarakat mengimplementasikan hijab Islami baik dari kalangan Muslimin atau non-Muslim. Dan tidak masuk akal apabila ada orang yang berkata bahwa tidak diterapkanya aturan hijab pada masyarakat Islam tidak akan menyebabkan kerusakan di kalangan pemuda dan runtuhnya tatanan rumah tangga. Sesungguhnya pernyataan ini mirip dengan pernyataan seseorang yang berkata bahwa mengapa kaum minoritas tidak dapat meminum minuman keras di tengah masyarakat?
Dalam menanggapi pernyataan ini kita harus berkata bahwa Islam tidak membatasi kebebasan personal demi kemaslahatan sosial. Menurut kami, membiarkan masyarakat melakukan perbuatan dosa di tengah masyarakat secara terang-terangan juga tergolong sebagai perbuatan dosa yang lain; misalnya orang yang membatalkan puasa adalah sebuah perbuatan dosa dan membiarkan ia menunjukkan membatalkan puasanya di hadapan umum merupakan sebuah dosa yang lain; karena akan menyisakan efek-efek yang tidak diinginkan dalam masyarakat Islam. Asas falsafah amar makruf dan nahi mungkar berdiri di atas masalah ini. Artinya demi menjaga masyarakat dari kerusakan maka Islam mewajibkan setiap kaum Muslimin untuk menunaikan amar makruf dan nahi mungkar. Coba Anda bayangkan bahwa Anda sedang duduk di atas bahtera dan sebagian orang berada di samping Anda namun sayang Anda tidak mampu berenang. Tiba-tiba di tengah lautan, ada seseorang yang ingin melubangi bahtera, atau melakukan sebuah pekerjaan yang dapat menenggelamkan seluruh orang yang ada di atas bahtera. Dalam kondisi seperti ini apakah Anda dapat berkata bahwa ia bebas melakukan apa saja. Jangan kalian ganggu ia. Tentu saja Anda akan mencegahnya supaya bahtera tidak tenggelam dan tidak membahayakan penumpang bahtera. Apakah Anda mengharapkan orang lain membantu Anda atau membantu orang yang ingin melubangi bahtera? Namun boleh jadi Anda tidak memandang masyarakat laksana bahtera di atas laut dimana dalam hal ini orang-orang harus mencari selamat ke dermaga sendiri-sendiri. Pandangan ini memiliki dasar tersendiri yang akan dibahas pada kesempatan mendatang. Al-Qur'an dalam surah Ali Imran (3) ayat 110 menyebutkan: "Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah." Dalam ayat ini, amar makruf dan nahi mungkar dijelaskan sebagai perintah umum dan tugas ini merupakan salah satu tipologi umat Islam. Pada ayat 104 pada surah yang sama, Allah Swt berfirman, " Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung." Urusan ini merupakan tanggung jawab sekelompok masyarakat dalam Islam atau dengan kata lain aparat dan pemerintah.[3]
Akan tetapi hal ini tidak bermakna bahwa kewajiban Ilahi ini tidak terdapat pada umat terdahulu; karena Allah Swt berfirman pada ayat 113 dan 114 surah Ali Imran, "Di antara ahli kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud. Mereka beriman kepada Allah dan hari akhir, mereka menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan bersegera (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh."[4]
Karena itu pemerintahan Islam dan para penguasanya bertanggung jawab dalam hal pengajaran dan tarbiyah remaja dan para pemudanya serta umumnya masyarakat. Menurut syariat dan hukum mereka tidak boleh menyediakan sebab-sebab dan faktor-faktor kurangnya warna agama dan akhlak pada masyarakat. Mereka harus berupaya menjaga keselamatan ruh dan jiwa masyarakat dan kesempurnaan akhlak dan kemuliaan manusia.
Di samping itu asas ayat-ayat al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Saw yang menyediakan keamanan dan sebagainya untuk kaum minoritas, dalam sebuah kontrak sosial sebagai Ahli Dzimmah (orang-orang yang dilindungi) dan menyepakati perdamaian dengan mereka merupakan salah satu tugas pemerintahan Islam. Menjaga hudud Islam pada masyarakat juga merupakan salah satu tugas dan kontrak mereka. Karena itu, penguasa Islam tidak memiliki hak untuk menerima kontrak-kontrak dalam perjanjian ini yang bertentangan dengan aturan-aturan Islam.[5]
Pengarang kitab Jawâhir berkenaan dengan masalah ini berkata: "Kaum minoritas tidak dapat melanggar aturan-aturan yang berlaku pada sebuah masyarakat Islam dan sesuai dengan kontrak mereka dengan pemerintahan Islam mereka tidak dapat melanggar hudud dan hukum-hukum Islam.[6]
Akan tetapi masalah ini tidak terkhusus hanya pada negara-negara Islam. Pada setiap negara terdapat aturan dan norma yang harus dipatuhi dan ditaati oleh seluruh warga negara termasuk kaum minoritas.
Demkian juga dengan melihat secara selintasan terhadap sejarah hijab dapat dikatakan bahwa "Hijab kaum perempuan merupakan tradisi lawas peradaban-peradaban manusia. Dan pada agama-agama Ilahi khususnya Zoroaster, Yahudi dan Kristen terdapat aturan hijab. Dan pada sebagian agama seperti Yahudi masalah hijab lebih pelik dari hijab yang diperkenalkan Islam.[7]
Dengan demikian mereka apabila ingin mengamalkan ajaran-ajaran agamanya maka mereka harus mengindahkan aturan hijab pada masyarakat.
Akhir kata, harus diingat bahwa mereka yang menganggap enteng keharusan mengenakan hijab Islami bagi kaum minoritas bagaimana mereka dapat mengamalkan aturan-aturan dan norma-norma yang berat dan tidak logis negara-negara Barat yang secara tegas berseberangan dengan slogan-slogan demokrasi dan kebebasan beragama yang senantiasa mereka propagandakan dengan nyaring, menentang kaum minoritas khususnya kaum Muslimin yang ingin menunaikan aturan agama mereka mengenakan hijab. Dan salah satu contohnya adalah pelarangan hadirnya kaum muslimah dengan hijab Islami di tengah-tengah masyarakat. Padahal sesuai dengan definisi-definisi mereka tentang kebebasan, maka sekali-kali hijab Islami tidak akan menciderai kebebasan personal dan kelompok orang lain.[]
Referensi untuk telaah lebih jauh:
1. Falsafa-ye Hijâb, Murtadha Muthahhari.
2. Hijâb Bayangar-e Syakhsiyat Zan, Mahdi Isytihardi
3. Farhangg-e Hijâb, Ja'far Syaikh al-Islami.
4. Pasdârân Hijâb, Muhammad Mahdi Taj Langgarudi.
[1]. Ghulam Haddad Adil, Farhang-e Berahnegi wa Berahnegi Farhanggi, hal. 69-70.
[2]. Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 14, hal. 455.
[3]. Makarim Syirazi, Payâm-e Qur'ân, jil. 10, hal. 254 & 256
[4]. Ibid, hal. 257.
[5]. Untuk keterangan lebih jauh silahkan lihat: Huqûq Aqaliyyathâ, Abbas 'Ali Amid Zanjani.
[6]. Muhammad Hasan Najafi, Jawahir Kalam, jil. 21, Kitab-e Jihad, hal. 268-269, Intisyarat-e Dar al-Kitab al-Islamiyah.
[7]. Untuk keterangan lebih jauh silahkan lihat: Hijâb dar Adyân-e Ilahi, 'Ali Muhammadi Asynai; Mas'aleye Hijâb, Muthahhari.