Please Wait
28508
Wasilah (perantara) memiliki makna yang sangat luas. Termasuk apa saja dan perbuatan apa pun yang mendekatkan manusia kepada Tuhan Sang Pencipta.
Alam semesta yang kita huni ini adalah alam yang berpijak di atas mekanisme sebab dan akibat, causes dan effects, serta hukum kausalitas yang diciptakan dan diadakan untuk memberikan petunjuk untuk pencapaian kematangan dan kesempurnaan manusia serta memenuhi segala kebutuhan manusia baik material maupun spritual.
Sebagaimana yang diketahui, bahwa kebutuhan-kebutuhan natural manusia terpenuhi dengan sebab-sebab material khusus dan emanasi-emanasi maknawi Allah Swt seperti hidayah, ampunan (maghfirah), taqarrub dan pencapaian manusia dalam mencapai kesempurnaannya juga berdasarkan mekanisme tertentu dan melalui jalan sebab-sebab khusus. Sedemikian sehingga tanpa adanya perantara ini mustahil manusia dapat sampai pada emanasi-emanasi Ilahiah dan menggapai derajat taqarrub kepada Tuhan. Perbuatan dan sebab-sebab ini diperkenalkan dalam banyak ayat dan riwayat. Taqarrub kepada Allah Swt tidak akan mungkin tercapai tanpa menggunakan perantara (wasilah) ini.
Untuk menjawab pertanyaan ini pertama-tama kita harus menjelaskan apa yang dimaksud dengan wasilah dan perantara ini.
Allamah Thabathabai terkait ayat, "Yaa ayyuhalladzina amanu Ittaqullah wabtaghu ilaihi al-wasilah." Yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan carilah perantara untuk bertakwa kepadanya” (Qs. Al-Maidah [5]:35) menjelaskan makna wasilah dan wâsitha menuju ke haribaan Tuhan. Dalam tafsir al-Mizan, Allamah Thabathabai menuturkan: "Hakikat perantara (wasilah) menuju haribaan Tuhan adalah mematuhi dan menjaga rambu-rambu di jalan Allah. Dan rambu-rambu itu adalah pertama: Mengetahui hukum-hukum-Nya. Kedua, Menghamba kepada-Nya. Ketiga, mencari dan menelusuri perbuatan-perbuatan mulia dan yang dianjurkan. Menimbang bahwa "wasilah" adalah sejenis upaya untuk mendekatkan (tawashul) dan tawashul terkait dengan Tuhan yang suci dari tempat dan segala yang bendawi, maka dengan tawashul maknawi ini terjalin hubungan intens antara Tuhan dan hamba. Demikian juga mengingat bahwa antara hamba dan Tuhannya tidak ada hubungan yang terjalin kecuali kehinaan penghambaan maka tentu saja wasilah itu adalah upaya manusia mewujudkan hakikat penghambaan pada dirinya dan memandang dirinya fakir dan miskin di hadapan Allah Swt. Dan demikianlah wasilah yang dimaksud dalam ayat ini."[1]
Dalam Tafsir Nemune disebutkan bahwa wasilah memiliki makna yang sangat luas termasuk apa pun serta perbuatan apa pun yang menyebabkan mendekatnya manusia ke haribaan Tuhan. Perantara (wasilah) yang paling utama adalah beriman kepada Allah Swt, Rasulullah Saw, menunaikan jihad dan ritual ibadah seperti shalat, zakat, puasa, haji, silaturahmi, bersedekah di jalan Allah, baik bersedekah secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi dan demikian juga segala bentuk perbuatan baik.
Syafaat para nabi dan imam serta hamba-hamba shaleh yang sesuai dengan pernyataan tegas ayat yang menjadi penyebab mendekatnya (taqarrub) manusia kepada Allah Swt adalah termasuk dalam pengertian luas tawassul (berperantara). Demikian juga mengikuti jejak langkah Nabi Saw dan para Imam Maksum; lantaran kesemua ini menjadi penyebab dekatnya seorang hamba kepada Allah Swt. Bahkan sumpah Tuhan atas kedudukan (maqam) para nabi, para imam dan orang-orang shaleh…"[2]
Demikianlah yang dimaksud al-Qur'an dengan perantara (wasilah) dan tawassul (berperantara) yang memerintahkan kaum Mukminin untuk mencari perantara (wasilah) dalam rangka melakukan proses taqarrub kepada Allah Swt.
Dalam al-Qur'an di samping ayat-ayat yang disebutkan, pada ayat 97 surah Yusuf disebutkan bahwa saudara-saudara Yusuf meminta kepada ayah mereka (Nabi Ya'qub) kiranya mereka diampunkan di sisi Allah dan Nabi Ya'qub juga memenuhi permohonan itu. "Mereka (Saudara-saudara Yusuf) berkata, “Hai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa).”
Pada surah at-Taubah juga diceritakan tentang permohonan ampunan Ibrahim untuk ayahnya yang menjelaskan peran doa para nabi dalam proses pengampunan dosa orang lain. "Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya (baca: pamannya, Azar), tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah ia janjikan kepadanya. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa ia adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri darinya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun."
Terdapat banyak riwayat dari pihak Syiah dan Sunni yang menegaskan perlunya dan peran tawassul untuk mendekatkan diri seseorang kepada Allah Swt.
Dalam kitab "Wafa al-Wafa" karya Samhudi (ulama Ahlusunnah) kita membaca: Mencari pertolongan dan memohon syafaat dari Rasulullah Saw dan dari makam serta kepribadiannya, juga dibolehkan sebelum penciptaannya. Demikian juga setelah beliau dilahirkan. Sebelum dan sesudah wafatnya, di alam barzakh dan alam kiamat.[3]
Kemudian Samhudi menukil sebuah riwayat yang dinukil dari Umar bin Khattab tentang tawassul Nabi Adam As kepada Rasulullah Saw. "Adam dengan mengetahui kabar tentang penciptaan Nabi Islam di masa mendatang, beliau berkata kepada Allah Swt: "Yaa Rabb! Demi Muhammad aku bermohon kepada-Mu kiranya Engkau sudi mengampuniku."[4]
Demikian juga sebuah hadis yang lain dari perawi hadis Ahlusunah di antaranya Nasai dan Tirmidzi yang menukil bahwa: Seorang buta memohon doa dari Nabi supaya ia sembuh dari sakitnya. Nabi Saw memerintahkan kepadanya untuk berdoa demikian: “Ya Rabb! Aku memohon kepada-Mu demi Nabi-Mu (Muhammad). Aku menghadap kepadamu wahai Muhammad………!”[5]
Dari Baihaqi dinukil bahwa pada masa khalifah kedua terjadi dua tahun musim kemarau. Bilal disertai dengan beberapa orang sahabat datang di hadapan pusara Nabi Saw dan berkata: “Wahai Rasulullah! Mintalah hujan untuk umatmu lantaran mereka sekarang dalam keadaan sekarat (karena kekeringan)…"[6]
Akan tetapi mengapa kita memerlukan perantara dan media? Jawabannya adalah bahwa alam semesta yang kita huni ini adalah alam semesta yang berpijak di atas mekanisme sebab dan akibat, causes dan effects, yang diciptakan untuk memberikan petunjuk, kematangan dan kesempurnaan manusia dan memenuhi segala kebutuhan material dan terkadang spiritual manusia.
Pada hakikatnya segala perantara memiliki peran sebab-sebab untuk proses taqarrub kepada Allah Swt. Karena berbagai emanasi Tuhan seperti hidayah, maghfirah, pengampunan dan sebagainya turun kepada manusia juga berdasar pada mekanisme tertentu. Kehendak penuh hikmah Tuhan adalah bahwa segala emanasi ini sampai kepada manusia melalui sebab-sebab tertentu. Karena itu, sebagaimana di alam materi sehingga menjadi tidak relevan jika ada orang yang bertanya mengapa Tuhan menyinari bumi dengan perantara matahari? Mengapa dahaga manusia dapat terlepaskan dengan perantara air? Mengapa Tuhan harus memenuhi segala hajat dan kebutuhan seluruh makhluk melalui berbagai perantara ini?
Pada alam makna (spiritual) juga dapat diajukan pertanyaan bahwa mengapa Tuhan memberikan pengampunan, taqarrub dan petunjuk kepada para hamba-Nya harus melalui perantara dan media? Bagaimanapun sebagaimana tumbuh-tumbuhan tidak dapat berkembang untuk sampai kepada kesempurnaan tanpa bantuan air, tanah, cahaya dan sebagainya, manusia juga tanpa bantuan perantara-perantara emanasi Ilahi tidak akan sampai kepada tujuan idealnya.
Syahid Muthahhari berkata, "Perbuatan Tuhan memiliki mekanisme. Apabila seseorang hendak mengabaikan mekanisme penciptaan maka sesungguhnya ia berada dalam kesesatan. Atas alasan ini Allah Swt memandu seorang pendosa untuk pergi ke kediaman Rasulullah Saw sehingga di samping ia memohon ampunan dari Tuhan juga meminta kepada Rasulullah Saw untuk memohonkan ampun baginya di hadapan Tuhan! Al-Qur'an menegaskan, "Dan kami tidak mengutus seseorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang." (Qs. Al-Nisa [4]:64)[7]
Demikian pentingnya sunnah Ilahi ini sehingga dalam banyak ayat dan riwayat Allah SWT memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk mencari wasilah (perantara) dan berperantara (tawassul) untuk mendapatkan ampunan dan melakukan proses taqarrub kepada Allah Swt.
Allah Swt berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, carilah perantara untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan." (Qs. Al-Maidah [5]:35)
Allamah Thabathabai dalam pembahasan syafaat menyinggung peran syafi' (perantara-perantara syafaat Ilahi) bahwa seseorang yang mencari perantara (mutawassil) kepada perantara sejatinya dengan kekuatannya sendiri ia tidak akan sampai pada tujuan. Karena itu, kekuatan Tuhan akan bergandengan tangan dengan kekuatan syafi' dan sebagai hasilnya kekuatan itu akan berlipat ganda. Apa yang diinginkannya akan diperolehnya. Sehingga apabila ia tidak melakukan hal ini dan hanya mengandalkan kekuatannya saja maka ia tidak akan sampai tujuannya. Karena kekuatannya sendiri tidak sempurna, lemah dan cacat. Syafaat merupakan media dan perantara komplementer untuk menyempurnakan dan melengkapi sebab."[8]
Kiranya dua poin penting di bawah ini perlu kami jelaskan sebagai akhir dari artikel ini:
1. Kendati segala kebutuhan material manusia dapat terpenuhi dengan sebab-sebab material akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa sebab-sebab non-material seperti doa dan tawassul (berperantara) tidak dapat memainkan peran dalam terpenuhinya segala kebutuhan material tersebut. Sebab-sebab maknawi terkadang menjadi penyebab utama dan terkadang pula menjadi penyebab sekunder; artinya terkadang pengaruh sebab-sebab material hanya bisa terpenuhi melalui doa. Atau terkadang pula, doa dan sebagainya menafikan pengaruh dari sebab-sebab material. Misalnya dalam kisah Nabi Ibrahim as, api yang seharusnya membakar namun lewat pengaruh do’a menjadi dingin dan terhalang memberikan panasnya. Bagaimanapun sebab segala sebab adalah Allah Swt dan Dia berkuasa memberikan pengaruh sebagaimana Dia letakkan pada obat, juga meletakkannya pada sebab-sebab maknawi.
2. Yang dimaksud dengan tawassul dan menjadikan Rasulullah Saw atau para Imam Maksum atau para wali Allah sebagai wasilah (perantara) adalah bahwa kita ber-tawassul dengan kedudukan dan maqam orang-orang agung ini di hadapan Tuhan. Sejatinya, maqam kedekatan orang-orang suci ini dengan Tuhan digunakan agar dapat pula mencapai maqam qurb (kedekatan) di sisi Tuhan.[9] []
[1]. Allamah Sayid Muhammad Husain Thabathabai, Al-Mizân, terjemahan Persia, jil. 5, hal. 535.
[2]. Ayatullah Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 4, hal. 364-367.
[3]. Samhudi, Wafâ al-Wafâ, jil. 3, hal. 1371, segaimana yang dinukil dalam Tafsir Nemune, jil. 4, hal. 367.
[4]. Ibid.
[5]. Allahummah Inni As'aluka wa Atawajjahu Ilaika binabiyyika Muhammad Nabiyyi Rahma. Ya Muhammad! Inni atawajjahu bika ila Rabbi fii Hajati litaqdhili Allahummahsyafa'u fii." Wafâ al-Wafâ, jil. 3, hal. 1372, sebagaimana yang dinukil dalam Tafsir Nemune. Ya Allah! Sesungguhnya aku memohon dan menghadap kepada-Mu dengan perantara nabi-Mu, Muhammad, nabi yang penuh kasih. Ya Muhammad! Aku menghadap kepada Tuhanku dengan perantaramu kiranya engkau penuhi hajatku. Tuhanku! Jadikanlah Nabi sebagai syafi'ku (yang menyembuhkanku).
[6]. Yaa Rasulullah Istasiq liummatik faiinahum qad halaku.." Al-Tawashul ila Haqiqat al-Tawassul, hal. 329, sebagaimana yang dinukil dalam Tafsir Nemune, jil. 4, hal. 368-369.
[7]. Majmu'e Atsar-e Syahid Muthahhari, jil.1, hal. 264.
[8]. Allamah Sayid Muhammad Husain Thabathabai, Al-Mizân, terjemahan Persia, jil. 1, hal. 239 & 240. Untuk telaah lebih jauh silahkan Anda merujuk pada : " Usaha dan peran Amal Kebajikan bagi manusia di Akhirat, pertanyaan 280.
[9]. Silahkan lihat, Tafsir Nemune, jil. 4, hal. 168-172; Al-Mizan, jil. 1, hal. 239-242.