Please Wait
11387
Penyelenggaraan acara dan peringatan-peringatan mazhab, kendati memiliki prinsip dan kerangka-kerangka yang universal dan umum, akan tetapi pada tempat-tempat dimana agama suci Islam tidak memberikan pandangannya mengenai metode penyelenggaraannya, maka kaidahnya adalah bahwa hal ini harus diselenggarakan berdasarkan urf, adab, kebiasaan dan tradisi setiap kaum dan daerah.
Dengan kata lain, apa yang diterima dan ditekankan oleh mazhab adalah acara duka atas Imam Husain As, akan tetapi mengenai metode dan cara penyelenggaraannya diserahkan kepada masyarakat. Dengan alasan inilah sehingga penyelenggaraan acara-acara perayaan atau acara-acara duka di daerah atau lingkungan akan berbeda dengan tempat lainnya, dan selama tradisi dan kebiasaan ini tidak bertentangan dengan universalitas syariat, maka akan didukung juga oleh Islam.
Pada seluruh agama, terdapat upacara dan peringatan-peringatan untuk mengagungkan syiar-syiar, tujuan-tujuan, cita-cita dan nilai-nilai aliran tersebut. Pada agama suci Islam, terutama mazhab Syiah juga terdapat upacara-upacara semacam ini.
Allah Swt dalam al-Quran meminta untuk memperingati tanda-tanda-Nya dan amalan baik ini dianggap bersumber dari ketakwaan. Dalam salah satu ayat, Dia berfirman, “Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya tindakan ini adalah sebagian dari tanda ketakwaan hati.”[1]
Dengan demikian menyelenggarakan peringatan-peringatan merupakan persoalan yang sesuai dan terpuji. Akan tetapi merupakan sesuatu yang jelas bahwa setiap kaum dan bangsa memiliki bentuk dan cara melaksanakan peringatan-peringatan yang berbeda, berdasarkan adab dan tradisi-tradisi mereka. Kebiasaan dan tradisi seperti ini selama tidak bertentangan dengan Islam dan ajaran-ajaran Islam, maka tidak akan terdapat masalah dan akan diterima oleh agama suci Islam.
Sebagai contoh, misalnya penyelenggaraan acara-acara duka untuk Imam Husain As, menangisi dan membuat para penduka menangis dalam acara duka Husaini, merupakan di antara persoalan yang sangat ditekankan dalam mazhab Syiah.[2] Akan tetapi cara dan metode penyelenggaraan acara duka dan peringatan tragedi penting ini di kalangan negara-negara dan budaya-budaya yang berbeda, tentu saja memiliki keragaman. Bahkan di kota-kota Iran sendiri, penyelenggaraan ritual agama ini tidak sepenuhnya sama, melainkan setiap wilayah memiliki cara khusus dan tersendiri.
Yang menjadi sentral perhatian pada jenjang pertama dalam acara-acara seperti ini adalah memperingati jejak dan nama Imam Husain As, dan pada jenjang keduanya adalah bentuk acara harus tidak bertentangan dengan prinsip dan ajaran-ajaran Islam. Di Iran sejak dahulu, telah menjadi sebuah kebiasaan untuk menyelenggarakan majelis-majelis, dan para penduka akan turun ke jalanan untuk melakukan acara duka. Metode seperti ini juga telah dianjurkan oleh para ulama. Misalnya Imam Khomeini Ra berkata, “Kita harus menjadi penjaga sunah-sunnah Islam ini, kita juga harus menjadi penjaga arak-arakan Islam yang turun ke jalanan dalam acara Asyura, Muharram dan Shafar pada saat diperlukan.”[3]
Mendiang Syaikh Thusi menukil sebuah hadis dari Imam Shadiq As yang menunjukkan bagaimana para perempuan dari kalangan Sadat Fatimi melakukan acara duka. Beliau bersabda, “Terdapat para perempuan yang berasal dari Sadat Fatimi yang menyobek busananya dalam musibah ini dan memukuli wajahnya dengan cara tertentu.” Imam As membenarkan kebiasaan para Sadat Fatimah ini dengan kalimat, “Untuk orang seperti Husain As, harus dilakukan hal seperti ini.”[4]
Akan tetapi sangat disayangkan, harus dikatakan di tengah-tengah ini telah terjadi penyimpangan atau amalan-amalan yang bertentangan dengan syariat dari sejumlah mereka yang tidak memiliki informasi. Ulama Syiah yang sadar telah mengambil sikap yang tegas dalam menghadapi masalah seperti ini dan menjelaskan tentang hal yang menjadi kewajiban bagi seluruhnya.
Misalnya melukai diri yang semula dianggap merupakan sarana untuk mengungkapkan kecintaan, akan tetapi berdasarkan kemaslahatan dunia Islam, Imam Khomeini Ra pada awal Revolusi Iran berkata, “Pada kondisi yang ada saat ini, janganlah melukai diri.” Dan Ayatullah Khamenei (semoga Allah menjaganya) berkata, “Melukai diri secara terang-terangan dan disertai dengan kepura-puraan adalah haram dan terlarang.”[5]
Ringkasnya, terdapat perbedaan-perbedaan dalam penyelenggaraan acara-acara mazhab, dalam masalah yang metode penyelenggaraannya dari sisi Allah tidak sampai kepada kita dan masyarakat diberi kebebasan dalam masalah ini.[6] Dikarenakan perbedaan-perbedaan budaya, adab dan tradisi berbagai masyarakatlah sehingga persoalan ini sepenuhnya wajar dan bisa diterima. [iQuest]
[1]. Qs. Hajj (22): 32.
[2]. Maqtal Muqarrâm, hal. 96.
[3]. Jawad Muhaditsi, Farhangg-e Âsyurâ, hal. 341, dengan nukilan dari Shahifah Nur, jil. 15, hal. 2041.
[4]. Maqtal Muqarram, hal. 97; Tahdzib al-Ahkam, jil. 2, hlm. 283 (akhir dari bagian kafarah).
[5]. Jawad Muhaditsi, Farhangg-e Âsyurâ, hlm. 386 dan 387.
[6]. Kebalikannya dengan ibadah seperti salat dan sebagainya dimana bentuk pelaksanaan dan caranya telah dijelaskan oleh agama Islam, dan tidak diperbolehkannya bagi siapapun untuk melakukan shalat sesuai dengan bahasa, kebiasaan dan tradisi khas yang terdapat di wilayahnya.