Please Wait
15272
Para ahli Irfan atau kaum Arif memandang bahwa manusia akan dapat kembali ke tempat asalnya dan menghilangkan “jarak” wujudnya dengan Tuhan dengan menapaki jalan-jalan spiritual (sair suluk). Ketika manusia begitu sangat “dekat” dengan Tuhannya, maka dia sirna (fana) dari dirinya dan abadi (baqa) bersama-Nya.
Oleh karena itu, sair suluk irfani bersifat senantiasa bergerak dan tidak konstan. Gerak dan perjalanan ini memiliki awal dan akhir, derajat dan tingkatannya yang harus dilewati dan ditapaki. Berdasarkan hal ini, sangatlah mungkin mencapai “hakikat” kesempurnaan manusia dan maqam kedekatan kepada Tuhan dengan terlebih dahulu menggapai batin “syariat” yang tidak lain adalah “tarikat” itu sendiri.
Syariat bersumber dari kata syar’ yang bermakna “jalan dan cara”. Dan dalam istilah diartikan “kumpulan pengajaran untuk pembentukan manusia yang berasal dari Tuhan yang dijelaskan dan dijabarkan oleh para nabi dan rasul serta diletakkan untuk diamalkan dan diimplemantasikan”. Dengan ungkapan lain, syariat adalah kumpulan dari kitab suci (al-Quran), sunnah Nabi saw, dan sunnah para Imam Ahlulbait yang dapat mengantarkan manusia kepada tujuan penciptaannya jika dipelajari, diamalkan, dan dilaksanakan.
Tarikat diambil dari kata thariq yang memiliki makna “menapaki atau meniti jalan”. Dalam istilah irfan berarti “menapaki derajat-derajat insani dan meniti tingkatan-tingkatan pencapaian kesempurnaan akhir manusia”.
Hakikat diambil dari kata haq yang mempunyai makna “sesuai dengan kenyataan dan realitas eksternal” dan dalam istilah memiliki arti “penyingkapan hakikat-hakikat eksistensi dan penggapaian puncak keyakinan (haqqul yakin)”
Pada hakikatnya, pengamalan syariat tidak lain adalah penapakan derajat-derajat kesempunaan manusia dan penitian tingkatan-tingkatan kesempurnaan serta menyebabkan pendalaman makrifat dan penguatan keimanan manusia. Dengan kata lain, hakikat adalah batinnya tarikat, dan tarikat ialah batinnya syariat.
Dalam pandangan irfan dan urafa Muslim manusia pesuluk adalah manusia yang dengan menapaki jalan-jalan spiritual ia kembali ke tempat asalnya, menyirnakan jaraknya dengan Dzat Tuhan, dan meniadakan dirinya sendiri dengan kedekatan kepada-nya (fana dalam asma dan sifat Tuhan) serta mengabadikan dirinya dengan kebersamaan dengan-Nya (baqa dengan dzat-Nya).
Allah Swt berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya kamu menuju kepada Tuhan-mu dengan kerja dan usaha yang sungguh-sungguh, maka kamu pasti akan menjumpai-Nya.” (Qs. Insyiqaq: 6)
Adalah sangat mungkin menggapai “hakikat” kesempurnaan manusia dan maqam kedekatan kepada Tuhan dengan melewati “tarikat” yang merupakan batin “syariat”. Dari dimensi ini, kita akan menemui kata-kata seperti “syariat”, “tarikat”, dan “hakikat” dalam ungkapan-ungkapan para urafa.
Azizuddin Nasafi, salah seorang urafa di pertengahan abad ketujuh, dalam kitabnya, Insanul Kamil, menuliskan, “Syariat adalah perkataan para nabi dan tarikat adalah perbuatan para nabi serta hakikat adalah penglihatan para nabi. Seorang salik pertama-tama harus menuntut ilmu syariat yang merupakan suatu kewajibannya dan amal tarikat yang juga merupakan kemestiannya harus dikerjakan sedemikian sehingga dia mendapatkan cahaya-cahaya hakikat sebatas kemampuan dan usahanya.
Seseorang yang menerima apa-apa yang disabdakan oleh nabi dan rasul dikategorikan sebagai ahli syariat dan apabila dia juga mengamalkan apa-apa yang dikerjakan oleh para nabi dan rasul digolongkan sebagai ahli tarikat. Dan jika seseorang menyaksikan apa-apa yang disaksikan oleh para nabi dan rasul disebutkan sebagai ahli hakikat.
Seseorang yang mempunyai ketiga dimensi tersebut tergolong sebagai sosok yang sempurna dan khalifah segenap makhluk. Namun, seseorang yang sama sekali tidak memiliki ketiga aspek itu merupakan sosok yang rendah atau digolongkan sebagai binatang ternak. “Pada hakikatnya begitu banyak dari kalangan jin dan manusia yang kami masukkan ke dalam neraka dikarenakan mereka memiliki hati yang tidak dapat menyingkap hakikat dengan perantarannya dan mereka mempunyai mata yang dengannya tidak dapat melihat hakikat serta mereka mempunyai telinga yang dengannya tidak dapat mendengarkannya. Mereka seperti binatang kaki empat atau lebih rendah darinya.”[1]
Yang pasti, dalam dimensi syariat terdapat ungkapan-ungkapan para urafa Islam yang mungkin bertolak belakang dengan aturan-aturan fikih.[2]
Seorang arif ternama di dunia Syiah Imamiyah (Tasyayyu’), Sayyid Haidar Amuli, memaparkan tiga tingkatan syariat, tarikat, hakikat untuk menyelesaikan sangkaan tentang adanya perbedaan dan pertentangan di antara tiga dimensi itu. Menurutnya, ketiga dimensi ini yang memiliki nama-nama yang berbeda hanya menceritakan satu kenyataan dan realitas. Perbedaan di antara ketiga hal itu hanyalah bersifat nisbi bukan hakiki.
Dalam sebagian ungkapannya dia menyatakan, “ … ketika perkara ini menjadi kenyataan, maka ketahuilah bahwa “syariat” adalah sebuah nama yang ditentukan untuk jalan-jalan Ilahi yang mana memiliki rukun-rukun, cabang-cabang, keringanan-keringanan, motivasi-motivasi, niat-niat, kebaikan-kebaikan, kesempurnaan-kesempurnaan. Dan “tarikat” adalah mengambil yang terbaik dan yang paling kuat di antara jalan-jalan Ilahi itu, dan setiap metode dan cara yang paling baik, paling kuat, paling hati-hati, dan paling sempurna yang dijalani oleh manusia dinamakan dengan “tarikat”, baik yang bersifat perkataan, perbuatan, sifat, dan hâl[3].
Sementara “hakikat” adalah pembuktian dan penegasan sesuatu dengan cara penyingkapan hati dan penyaksian intuitif… dan hal ini sebagaimana perkataan suci Rasulullah saw kepada Harits, “Wahai Harits bagaimana ketika kamu bangun di pagi hari? Harits berkata, “Saya bangun di pagi hari dalam keadaan sebagai mukmin hakiki…”.”[4]
Beliau lebih lanjut menyatakan, “… jadi imannya kepada hal-hal yang gaib adalah benar dan “syariat”, dan penyaksiannya mengenai surga, neraka, dan arasy adalah “hakikat”, begitu pula kezuhudannya dari dunia, shalat malamnya, puasanya adalah “tarikat”. Dan dari penyingkapan ini, sebagaimana telah disebutklan terdahulu, Tuhan telah mengabarkan dalam kitab suci-Nya, “Tidaklah seperti yang kamu sangka. Seandainya kamu mengetahui ‘ilmul yakin, sungguh kamu benar-benar akan melihat neraka Jahîm kemudian sungguh kamu benar-benar akan melihatnya (surga) dengan ‘ainul yakin. (Qs. At-Takatsur: 5-7)
Yakni seperti itulah, apabila kalian mengetahui dengan ‘ilmul yakin maka setiap cermin yang anda saksikan nampaklah neraka. Dengan demikian, setiap cermin yang disaksikan dengan ‘ilmul yakin niscaya anda akan melihat realitas itu. Di ayat lain, Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya itu adalah haqqul yakin” (Qs. Al-Waqiah: 95). Sesungguhnya inilah haqqul yakin. Tingkatan pertama adalah “‘ilmul yakin” yang sederajat dengan “syariat” dan tingkatan kedua adalah “‘ainul yakin” yang sederajat dengan “tarikat” serta tingkatan ketiga adalah “haqqul yakin” yang sederajat dengan “hakikat”…”[5]
Syahid agung dan filosof besar, Murtadha Muthahhari qs, menyatakan berkaitan dengan tiga istilah tersebut, “Salah satu perkara yang menjadi perbedaan mendasar antara urafa dan selain urafa (baca:fukaha) adalah perspektif khusus urafa berkenaan dengan syariat, tarikat, dan hakikat … para fukaha menyatakan bahwa syariat (hukum-hukum dan aturan-aturan) berpijak pada kemashlahatan-kemashlahatan. Dan kemashlahatan-kemashlahatan ini merupakan sebab-sebab dan jiwa syariat. Sementara para urafa berkeyakinan bahwa kemashlahatan-kemashlahatan yang terkandung dalam hukum-hukum sya’i sama seperti tingkatan-tingkatan dan derajat-derajat yang mengantarkan manusia kepada maqam kedekatan kepada Tuhan dan penggapaian hakikat.
Dengan ungkapan lain, ingin atau tidak, manusia niscaya senantiasa berada dalam perubahan dan pergerakan. Nah, kalau perubahan dan pergerakan ini bersesuaikan dengan syariat maka setiap langkah akan mendekatkan kepada nilai-nilai kemanusiaan dan hakikat.
Bahkan, setiap kali kualitas kemanusiaannya bertambah maka sebatas itu pula hakikat itu tersingkap sedemikian sehingga mencapai maqam kedekatan kepada Tuhan dan terwarnai dengan nilai-nilai ketuhanan.
Dengan demikian, sirnalah segala macam keraguan dan kebingungan dari hatinya dan terhapuslah segala bentuk kelemahan dan kerendahan dalam lembaran wujudnya serta dirinya berubah menjadi cermin Ilahi sehingga dia dapat mengarahkan manusia lain di jalan itu.
Maka dari itu, beramal kepada syariat tidak lain adalah tarikat, dan buah dari tarikat adalah hakikat.
Akan tetapi, karena kuantitas dan kualitas perbuatan-perbuatan, dan niat-niat, serta keimanan manusia berbeda-beda maka hasil dari syariat yakni tarikat dan perolehan hakikat pada setiap individu pun beragam dan bertingkat, bahkan pada sebagian individu tidaklah tercapai, namun pada manusia-manusia sempurna seperti Rasulullah saw dan para Imam Suci Ahlulbait berada pada tingkatan kemuliaan yang tertinggi dan cahaya paling tinggi.
Dari dimensi bahwa Tuhan Yang Maha Bijaksana tidak menciptakan satu makhlukpun termasuk manusia dengan sia-sia dan tanpa tujuan. Tujuan penciptaan maujud-maujud materi dengan perkembangannya yang bersifat alami itu dan kesempurnaan maujud-maujud non materi (seperti malaikat dan …) yang bersifat sekaligus itu adalah dihadirkan oleh Tuhan bersamaan dengan penciptaan mereka (karena itu tidak ada lagi perubahan kesempurnaan pada wujud mereka).
Namun karena manusia-manusia bersifat bebas dan memiliki ikhtiar maka kehendak dan keinginan mereka juga sangat berpengaruh dalam pencapaian dan penggapaian tujuan penciptaannya.
Setiap niat dan kehendak untuk melakukan suatu pekerjaan adalah membutuhkan penentuan tujuan-tujuan, manfaat-manfaat, akibat-akibat, dan konsekuensi-konsekuensinya. Tanpa pengenalan dan pengetahuan maka tujuan yang dinginkan itu tidak akan tercapai hanya dengan kehendak, iradah, keinginan, dan perbuatan.
Akan tetapi, manusia tidak mampu mengenal dan mengetahui kesempurnaan dirinya dan jalan menggapainya tanpa bantuan wahyu dan kalam suci Ilahi. Bukti dari hal ini adanya pebedaan pemikiran dan perspektif yang sangat tajam di antara kaum inteletual dan cendekiawan berkenaan dengan persoalan tersebut. Dari dimensi ini akan menjadi jelas kebutuhan kepada Tuhan lewat jalur wahyu dan pengutusan para nabi dan kitab-kitab suci.
Tuhan yang karena Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana maka mustahil membiarkan manusia dalam keadaaannya sendiri, dan dengan pengutusan para rasul dan kitab-kitab Ilahi Dia menunjukkan jalan menuju tujuan penciptaannya dengan perantaraan khalifah dan para wakil yang diutus oleh-Nya. Apabila manusia mengikuti akal sehat dan fitrah sucinya maka dia tidak akan tertipu dengan propaganda-propaganda sesat duniawi, dengan demikian, dengan mudah dia menerima dan pasrah terhadap perintah-perintah dan larangan-larangan Ilahi dalam semua dimensi kehidupannya.
Kumpulan ajaran-ajaran Ilahi ini dan penjelasan terperinci para nabi serta penafsiran para wali-wali agama dikenal dengan nama “syariat”. Manusia yang melaksanakan syariat adalah para musafir yang sedang berjalan ke arah Tuhan yang pada satu sisi manusia sebagai pesuluk dan pada sisi lain suluknya tidak lain adalah ajaran-ajaran Ilahi atau syariat.
Manusia yang terus berjalan di atas jalan ini dan tetap (istiqomah) dalam pengamalan dan keyakinannya kepada syariat maka akan semakin mendekatkannya kepada tujuan penciptaannya. Keimanan dan pengamalan sempurna kepada syariat adalah penapakan di atas jalan kemanusian, dan penitian khusus ini dinamakan dengan “tarikat”.
Safar dan perjalanan ini bertolak belakang dengan mayoritas suluk-suluk yang lain. Tujuan penciptaan adalah juga tempat tujuan itu sendiri, yakni dengan setiap langkah yang diambil di jalan ini akan berhadapan dengan pandangan baru dan ketertarikan lain serta pengaruhnya terhadap jiwanya akan berakibat pada perubahan dan kesempurnaannya secara perlahan-perlahan.
Dengan ungkapan lain, dengan memperhatikan kualitas dan kuantitas serta latar belakangnya, maka manusia akan sampai pada tujuannya sendiri dan dengan langkah-langkah selanjutnya tujuan ini adalah memperluas wilayah penyingkapan hakikat-hakikat dan memperdalam kedekatan kepada Tuhan, dengan demikian akan sampai pada derajat yang dinamakan dengan “hakikat”.
Berkenaan dengan persoalan di atas, Ayatullah Hasan Sodeh Amuli menyatakan, “… manusia adalah makhluk yang abadi, dan yang membentuk manusia berdasarkan al-Quran, irfan, dan filsafat adalah ilmu dan amal perbuatannya… ini adalah makanan jiwa sebagaimana makanan badan adalah air dan gandum… yakni makanan lahiriah menyebabkan kuatnya badan dan makanan batiniah berpengaruh pada kelestarian jiwa manusia… makanan yang diserap oleh jiwa akan menyatu secara eksistensial dengan jiwa dan untuk selamanya tinggal serta berhubungan secara terus menerus.
Jadi, manusia senantiasa dalam suatu proses membentuk dirinya siang dan malam untuk suatu keabadian… manusia harus menjaga dan mengontrol kondisi dirinya sendiri. Manusia harus mengetahui dan memahami sehingga dapat menapaki jalan yang benar dan sempurna… Tuhan Yang Maha Suci telah menciptakan suatu “industri” yang sangat menakjubkan yakni wujud manusia merupakan suatu “industri” yang paling besar di alam eksistensi ini. Disamping “industri” itu terdapat suatu kitab yang memberikan petunjuk tentang bagaimana cara pemanfaatannya yang benar dan bagaimana cara perawatannya…
Kita tidak memiliki petunjuk-petunjuk praktis selain al-Quran al-karim dan hadis-hadis serta doa-doa yang telah diberikan oleh Rasulullah saw dan para Imam Ahlulbaitnya yang suci yang secara utuh juga bersumber dari lautan (baca: al-Quran) Ilahi yang tak terbatas.” …
Dalam irfan teoritis dan praktis, kita tidak akan mendapatkan perkataan yang lebih tinggi dan ucapan yang sangat bernilai dari ungkapan-ungkapan Nabi Muhammad saw dan Ahlulbaitnya yang suci. Apa-apa yang dibutuhkan oleh seorang manusia dalam memenuhi segala makanan jiwa dan ruhnya sendiri untuk mendekatkan dirinya kepada Tuhan terdapat dalam al-Quran dan perkataan suci para Imam Ahlulbait.
Kedekatan kepada Tuhan adalah menyatu dengan sifat-sifat rububiyah-Nya dan berakhlak dengan akhlak malakuti-Nya, yakni manusia di dalam suluk kesempurnaannya mengalami perkembangan ilmu dan amal sedemikian sehingga sampai pada suatu derajat yang menyatu dengan sifat rububiyah-Nya.
Yang pasti bahwa tingkatan-tingkatan itu tetap ada, sebagaimana Tuhan berfirman dalam surah Mujadalah ayat 11, “dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan di antara kamu beberapa derajat.” Tingkatan yang paling tinggi adalah seorang manusia yang telah mengaktualkan segala potensi secara sempurna dan telah menjadi manusia sempurna, akan tetapi kesempurnaan setiap manusia bergantung kepada keluasan wujudnya sendiri dan sejauh mana dia menempatkan dirinya di jalan kesempurnaan.
Dalam irfan praktis, manusia akan sampai pada tingkat dimana akan terbukan mata batinnya (mata barzakh), yakni dia akan menyaksikan manusia-manusia itu sesuai dengan hakikat dan kondisi batinnya…
Untuk para arif dan wali-wali Tuhan memandang bahwa hari kiamat telah terjadi di dunia ini, hal ini juga disabdakan oleh Imam Ali As yang merupakan Imamnya para arif, orang-orang bertakwa (muttaqin), dan para pengesa Tuhan (muwahhidin), “Apabila tirai dan hijab terbuka maka keyakinanku tidak akan bertambah.” Dunia dan akhirat adalah suatu hijab dan tirai bagi kita, namun tidak ada satu pun yang menghijabi Amirul Mukminin Ali As.”[7]
Di akhir jawaban ini, kita akan menghadirkan ucapan-ucapan Arif Hakiki, Imam Khomeni Qs, yang menjelaskan tingkatan-tingkatan dan derajat-derajat manusia yang tidak lain adalah derajat akhirat, barzakh, dan dunia. Beliau memaparkan bahwa setiap makrifat dan pengetahuan untuk manusia niscaya bersesuaian dengan tingkatannya masing-masing. Dia menyatakan, “Segenap pengetahuan yang bermanfaat terbagi ke dalam tiga pengetahuan, pertama adalah suatu pengetahuan yang berhubungan dengan kesempurnaan akal dan kewajiban-kewajibannya. Kedua ialah suatu pengetahuan yang berkenaan dengan perbuatan-perbuatan hati dan kewajiban-kewajibannya, dan ketiga adalah suatu pengetahuan yang berkaitan dengan amal-amal hati dan hal-hal yang terkait dengan aspek lahiriah manusia… setiap tingkatan dari tingkatan-tingkatan ini… adalah sedemikian berhubungan satu sama lain dimana terdapat pengaruh timbal balik antara satu tingkatan dengan tingkatan-tingkatan lainnya, baik dari aspek kesempurnaan maupun dari dimensi kekurangannya. Seperti, apabila manusia ingin menjalankan ibadah-ibadah lahiriah maka harus sesuai dengan perintah-perintah para nabi. Ibadah-ibadah yang dijalankan itu akan berpengaruh kepada kondisi hati dan jiwanya yang akan berujung kepada kebaikan akhlaknya (tingkatan barzakh) dan kesempurnaan akidahnya (tingkatan dunia). Hal ini sama berlakunya ketika seseorang senantiasa mensucikan akhlak dan membersihkan batinnya yang akan berpengaruh kepada dua tingkatan lain (tingkatan akal dan dunia), sebagaimana kesempurnaan iman dan hukum-hukum akidah berpengaruh kepada dua tingkatan yang lain (tingkatan barzakh dan dunia). Bahkan, kata “berhubungan atau berpengaruh” (pengaruh satu tingkatan dengan tingkatan-tingkatan lainnya) yang digunakan untuk mengaitkan satu tingkatan dengan tingkatan lainnya hanyalah bersifat majasi, karena tidak ada kata lain yang pas untuk bisa digunakan mengungkap realitas itu, maka harus dikatakan, “satu hakikat yang memiliki manifestasi-manifestasi.”[8]
Lebih lanjut beliau katakan, “Dalam bentuk apa pun, wahai saudaruku yang mulia!... Dimanapun tingkatan kamu maka berupayalah dan tingkatkanlah keikhlasan dirimu serta bersihkanlah hatimu dari segala bentuk hayalan jiwa dan bisikan setan. Yang pasti, kamu akan memperoleh hasilnya, akan kamu temukan jalan menuju hakikat, dan akan terbuka bagimu jalan petunjuk serta Tuhan Yang Maha Tinggi akan melindungimu.”[9][]
Bahan bacaan untuk telaah lebih jauh:
1. Sayyid Haidar Amuli, Jami’ul Asrar wa Manba’ul Anwar, Penerjemah: Sayyid Jawad Hasyemi Ulya.
2. Mir Jalaluddin Muhaddits Armawy, Rah-e Tausye-ye Rahrawan, hal. 159 - 172.
3. Muhammad Bahary Hamadani, Tazkiratul Muttaqin.
4. Ayatullah Hasan Hasan Sodeh Amuli, Dar Osmon-e Ma’rifat, hal. 46 - 52
5. Ayatullah Muhammad Husain Husaini Tehrani, Tauhid ‘Ilmi wa ‘Aini.
6. Ayatullah Muhammad Husain Husaini Tehrani, Resoleye Lubbul Albab, hal. 159 - 172.
7. Syahid Murthada Muthahhari, Osynoye Bo Ulume Islami (Irfan), hal. 82- 80.
8. Ruhullah Musawi Khomeni, Syarh-e Cehel Hadits, hal. 387 – 388 dan 394.
9. Azizuddin Nasafi, Insanul Kamil.
[1] . Azizuddin bin Muhammad Nasafi, Insân al-Kâmil, hal. 3
[2] . Murtadha Muthahhari, Âsynâ-i ba Ulume Islâmi, hal. 82
[3] . Suatu derajat spiritual yang belum tetap.
[4]. Sayyid Haidar Amuli, Jami’ul Asrar wa Manba’ul Anwar, penerjemah: Sayyid Jawad Hasyemi, hal. 266-267.
[5] . Ibid., hal. 267-268.
[6] . Murtadha Muthahhari, Asyna-i ba Ulume Islami, bagian Irfan, hal.80-82.
[7] . Ayatullah Hasan Sodeh Amuli, Dar Osmone Ma’rifat, hal 46-52.
[8] . Ruhullah Musawi Khomeni, Cehel Hadits, hal. 386.
9] . Ibid, hal. 394.