Please Wait
17995
1. Menurut pandangan teologis adalah merupakan suatu hal yang telah diterima bahwa Tuhan bukanlah suatu Dzat yang dapat dilihat, maka harus dikatakan bahwa permintaan untuk dapat melihat Tuhan yang datang dari kaum Bani Israel, yang telah disampaikan oleh lisan Nabi Musa As, karena Bani Israel berkata: Kami tidak akan beriman sebelum kami melihat Tuhan dengan mata kami sendiri. Dan mereka mendesak Nabi Musa As untuk menyampaikan permintaan tersebut, dan Nabi Musa As juga menyampaikan apa yang mereka minta, agar mereka mendengar sendiri dari Tuhan bahwa Tuhan bukanlah suatu Dzat yang dapat dilihat.
2. Menurut pandangan sebagian ulama dan para mufassir seperti Allamah Thabataba’i (rahmatullah alaih) permintaan Nabi Musa As tidak mungkin datang dari kaumnya, bahkan Nabi Musa As harus gigih memberikan perlawanan kuat di hadapan kaumnya dan berkata bahwa Tuhan bukanlah suatu Dzat yang dapat dilihat, atau jika beliau menghendaki bahwa Tuhan sendiri yang menyampaikan persoalan ini kepada mereka, hal tersebut harus disampaikan sebagai berikut bahwa: Tuhanku, setiap kali aku katakan kepada mereka bahwa Tuhan bukanlah suatu Dzat yang dapat dilihat, mereka tidak percaya, karena itu, sampaikanlah kepada mereka. Namun nabi Musa As berkata: Tuhanku, tampakkanlah diri-Mu padaku sehingga aku dapat melihat Mu. Maka jelaslah di sini bahwa permintaan Nabi Musa untuk dirinya sendiri. Namun apakah penglihatan ini dengan kasat mata? Tentu tidak, karena kedudukan Nabi Musa As tidak mengizinkan kita untuk menyimpulkan hal tersebut secara rendah dan sederhana. Dengan demikian, dengan memperhatikan ayat-ayat lain dari al-Qur’an al-Karim yang menyampaikan bahwa ada satu model penglihatan, pertemuan dan pengawasan yang disandarkan kepada Tuhan, maka harus dikatakan bahwa: yang dimaksudkan oleh Nabi Musa As adalah penyaksian hati (syuhud qalbi) dan penglihatan secara batin. Kemudian Tuhan pun menjelma yang menakutkan terhadap gunung, dan gunung itu pun hancur. Hal tersebut untuk menjelaskan kepada Nabi Musa As bahwa bertemu Tuhan, melihat dan menyaksikan Tuhan secara sempurna di dunia in merupakan hal yang tidak mungkin terjadi dan selama ruh ini masih terpenjara dalam kerangka badan, pertemuan semacam ini adalah sesuatu yang mustahil. Dan Nabi Musa As juga bertaubat atas permintaan yang tidak sepantasnya beliau sampaikan.
Jawaban atas soal ini dapat disampaikan dengan dua pandangan:
Pertama: Pandangan teologis
Di dalam ranah teologi telah dibuktikan bahwa Tuhan tidak dapat dilihat; karena sesuatu itu akan dapat dilihat apabila berupa materi, berbentuk, memiliki tempat, berada pada arah tertentu dan ada sepercik cahaya yang menerangi mata sehingga dapat terlihat. Sudah jelas bahwa Tuhan bukan berupa materi dan berbentuk dan juga tidak memiliki tipologi material. Dengan demikian Dia tidak dapat dilihat. Hal itu sebagaimana firman Allah Swt di dalam Al-Qur’an: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan. Dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui”.(Qs. Al-An’am [6]:103)
Karena itu, para teolog dalam memberikan alasan tentang permintaan Nabi Musa As berkata: Ketika Nabi Musa As meminta untuk dapat melihat Tuhan, sebenarnya beliau benar-benar sadar dan tahu akan persoalan tersebut bahwa Tuhan bukanlah Dzat yang dapat dilihat, akan tetapi Kaum Bani Israel yang senantiasa memohon untuk dapat bertemu dengan Tuhan. Akibat permohonan tersebut mereka ditimpa azab dan akhirnya mereka memohon kepada Nabi Musa As agar ia memohon untuk dirinya dapat melihat Tuhan. Musa As pun memohon untuk dapat melihat Tuhan. Untuk penjelasan ini, disebutkan beberapa bukti dari ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam surah al-Baqarah (2) ayat 55 Allah Swt berfirman: “Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: “Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang”, karena itu kamu disambar halilintar, sedangkan kamu menyaksikannya.” Buntut halilintar dan azab ini adalah dikarenakan Bani Israel memohon kepada nabi Musa as guna meminta untuk dirinya sendiri dapat melihat Tuhan, dan terpaksa Musa juga meminta hal yang demikian agar supaya Tuhan sendiri yang menjawab penolakan bahwa Tuhan bukanlah sesuatu yang dapat dilihat dengan mata dan kaumnya pun menjadi puas.[1]
Kedua: Pandangan filsafat atau irfan
Lain halnya dengan pandangan sebagian ulama dan mufassir seperti Allamah Thabatabai Ra. Beliau menganalisa permohonan Nabi Musa As ini dengan pandangan yang berbeda dan meyakini bahwa Nabi Musa As sama sekali tidak pernah mengajukan permohonan yang sangat rendah ini, walaupun hal tersebut datang dari kaumnya. Sebagaimana ia bersikeras menentang permohonan mereka dalam penyembahan berhala, dan sama sekali tidak mengindahkan permohonan mereka.
Dalam surah al-‘Araf Allah Swt berfirman: “Bani Israel berkata: “Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah Tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa Tuhan(berhala)”. Musa menjawab: “Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan)”. (Qs. Al-A’raf [7]:138)
Dengan demikian, permohonan melihat dengan mata lahir yang datang dari nabi Musa As -sebagai salah seorang dari lima nabi yang memiliki kedudukan ulul azm- walaupun hal itu disebabkan oleh desakan kaumnya, tidak dapat diterima.
Atas dasar itu,pasti ada persoalan lain yang dipandang oleh Nabi Musa, yaitu masalah pertemuan dan persuaan dengan Tuhan sebagaimana hal ini telah disinggung dalam sebagian ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam surah al-Qiyamah (75) ayat 22-23 Allah Swt berfirman: “Wajah-wajah(orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat”. Atau dalam surah al-Kahfi ayat 110 Allah Swt berfirman: “Barang siapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya”.
Pandangan dan pertemuan ini, sudah pasti bukan dengan pandangan kasat mata. Agar mudah dicerna oleh akal, hal itu dapat disamakan dengan ilmu yang tersimpan di dalam jiwa kita dan pengetahuan-pengetahuan intuisi kita yang kita gambarkan dengan melihat dan memandang, misalnya kita berkata: “Saya sendiri melihat bahwa saya suka dengan sesuatu atau saya membenci sesuatu itu”. Pandangan semacam ini merupakan daya cerap dan rasa yang dengan perantara itu, dzat (esensi) dan hakikat sesuatu itu dapat dicerna dan dipahami tanpa harus mengikut sertakan penglihatan mata ataupun pikiran dalam mencerna atau memahami hal tersebut.
Dengan demikian bahwa penglihatan atau pandangan terhadapTuhan yang dijelaskan oleh al-Qur’an dan dimana para pesalik dan insan yang sempurna diajak untuk bertemu dengan-Nya, adalah penglihatan intuitif dan syuhud qalbi yakni pandangan dengan ruh, (bukan dalam batasan alam materi dengan mata dzahir dan bukan dalam batasan alam imajinasi dengan mata khayalan dan bukan dalam batasan akal dengan pemahamannya yang terbatas) akan tetapi dapat dilihat dalam hati dengan penampakan intuitif. Tentunya derajat intuisi ini pun tergantung pada derajat para pemilik hati dimana satu dengan lainnya berbeda-beda dan setiap orang dengan kadar keberadaannya akan menyaksikan Tuhan, keindahan dan keagungn-Nya. Sebagian yang lain, yang tercemar dengan dosa dan terhadang oleh hijab, meskipun mereka tidak dapat melihat secara intuitif keindahan (jamâliyah) dan kelembutan Tuhan, akan tetapi mereka dapat menyaksikan keagungan (jalâliyah), kemurkaan dan pembalasan Ilahi.
Tiada tirai yang membatasi keindahan selain sifat keagungan
Tiada kedok di atas muka ini, tiada kulit di atas kepala ini.
Karena jika terdapat tirai, hal itu datang dari sisi insan, dan penghalang tersebut tidak lain kecuali dosa, ego dan bergantung pada selain Tuhan. Imam Ridha As pernah ditanya: mengapa kita tidak (dapat) melihat Tuhan? Beliau bersabda: “Dosa-dosa kalian yang menghalangi”.[2]
Keindahan teman tidak memiliki kedok dan penghalang
Namun debu menunjukkan jalan sehingga mampu memandang.
Jika hijab “keakuanku” (ego) tersingkap dan seseorang sampai pada jenjang fana, melihat, maka akan mudah baginya untuk menyaksikan dan bertemu Tuhan.
Jiwa manusia adalah bagaikan udara
Karena terbumbung dan menyatu menjadi bentangan langit
Hingga terhalang ia dari pandangan sinar matahari
Karena gumpalannya lenyap menjadi bersih dan murni
Dengan kesempurnaan petang kebenaran menjadi nyata
Sampai menjadi petunjuk keselamatan.[3]
Dapat dipastikan bahwa pemahaman dan penglihatan sempurna intuisi yang disandarkan kepada Tuhan adalah merupakan hal yang mungkin dapat terjadi di “dunia” dan di “akhirat” bagi“orang-orang saleh”. Tentunya di dunia ini, dikarenakan ruh insan itu terikat dengan badan dan perhatian terhadap keistimewaan-keistimewaan alam materi dan memenuhi kebutuhan-kebutunannya walaupum lemah dan sedikit, maka kemungkinan penglihatan semacam ini tidak dapat diraih. Namun di akherat kelak, ruh tidak lagi disibukkan untuk mengatur badan dan ia bebas. Di akhirat penutup-penutup ini juga akan diangkat dan seorang mukmin yang saleh akan hadir di haribaan Tuhan dan menyaksikan keindahan dan keagungan Tuhan dan bertemu dengan-Nya dan memandang pada wajah Allah Swt.
Oleh karena itu, permohonan Nabi Musa as kepada Tuhan bisa saja dipahami sebagai penglihatan intuisi secara sempurna dan pandangan yang seutuhnya; yakni nabi Musa menghendaki bahwa penglihatan dan pertemuan semacam ini dapat ia alami di dunia ini. Tuhan menjelasakan kepadanya bahwa penglihatan dan pemahaman semacam ini untuk mu di dunia ini, tidak akan tercapai dan kamu tidak mampu untuk memahami hal ini.
Peristiwa permintaan ini dan penolakan hal tesebut, dijelaskan oleh Allah Swt pada surah al-A’raf (7) ayat 143: “Dan tatkala Musa datang untuk(bermunajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman(langsung) kepadanya, berkatalah Musa: “Ya Tuhanku, nampakkanlah(diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”. Tuhan berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tetapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap ditempatnya(sebagai sedia kala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku termasuk orang yang pertama beriman”.
Untuk menjelaskan kepada Musa As bahwa ia tidak mampu menanggung perjumpaan dan penjelmaan Tuhan, Dia menjelmakan dzat dengan keagungan-Nya pada gunung yang ada di hadapan Musa dan gunung yang kokoh itu pun hancur berantakan dan Nabi Musa As pun terpelanting, pingsan dan jatuh di atas permukaan tanah; walaupun Nabi Musa As telah menyaksikan mukjizat-mukjizat yang sangat agung dari Allah Swt, dan termasuk dari Hamba-hamba-Nya yang ikhlas, sebagai utusan Allah dan nabi-Nya: “Dan ceritakanlah(hai Muhammad kepada mereka), kisah Musa di dalam Al-Kitab(Al-Qur’an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang dipilih dan seorang rasul dan nabi.” (Qs. Maryam [19]:51) Namun tajalli (penjelmaan) Ilahi ini telah membuat Musa As tidak sadarkan diri. Dan setelah ia sadar, ia langsung bertaubat dari permohonan yang ia panjatkan dan mempercayai bahwa melihat Tuhan di alam materi walaupun secara intuitif adalah hal yang mustahil.
Allamah Thabathaba’i berkata: “Terkapar dan pingsannya Nabi Musa as bukan dikarenakan rasa gemetar dan takut akibat pemandangan hancurnya gunung atau takut dikarenakan jiwanya tidak siap untuk menyaksikan hal tersebut, karena Musa adalah seorang nabi yang menjatuhkan tongkatnya sekejap kemudian menjadi ular besar dan memakan ular-ular atau tali-tali para penyihir dan dia adalah seorang yang telah membelah laut dan menenggelamkan beribu-ribu orang para pengikut Fir’aun, dan dia adalah seorang yang gunung terangkat dari akarnya dan bagaikan sebuah bayangan terjaga di atas kepala Bani Israel. Oleh karena itu, bagaimana mungkin hatinya kecut dan takut hanya dikerenakan hancurnya sebuah gunung walaupun tampaknya ia sudah tahu sebelumnya bahwa ia tidak akan celaka dalam penjelmaan ini dan Tuhan berkehendak ia selamat sehingga dapat menyaksikan penjelmaan Tuhan terhadap gunung. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa ada hal lain selain hancurnya gunung yang membuat keadaan Musa sedemikian rupa. Seakan-akan dalam suasana tersebut, di dalam permohonannya, baginya “kemarahan Tuhan” telah terwujud dan telah ia saksikan, maka dari situlah ia merasakan keadaan yang aneh sehingga sekejap saja ia tidak dapat menggerakkan tubuhnya dan berdiri tegak di atas kakinya. Dan permohonan ampun yang ia panjatkan setelah pulih kesadarannya adalah sebagai saksi dari pengertian ini.
Maka, kesimpulan dari jawaban ini adalah bahwa Nabi Musa As yang meminta agar dapat melihat Tuhan secara intuitif dengan sempurna saja mendapat kemarahan Tuhan; apatah lagi dengan penglihatan intuisi orang-orang yang disibukkan dengan urusan dunia, sudah pasti tidak mungkin terjadi. Dan permintaan kamu semacam ini di dunia, adalah sebuah permintaan yang tidak layak dan tidak tepat sama sekali.[4]
Untuk menyempurnakan pembahasan, akan kami sebutkan beberapa riwayat dari para Imam Maksum As mengenai pembahasan ini:
Seseorang bertanya kepada Amirul Mukminin (Ali) As: “Apakah engkau melihat Tuhanmu? Beliau menjawab: “Aku sama sekali tidak akan menyembah Tuhan yang aku tidak melihat-Nya. Dan setiap mata tidak akan dapat melihatnya, akan tetapi setiap hati -dengan hakikat iman- dapat melihatnya”.[5]
Imam Shadiq As bersada: “Karrubin, adalah kelompok pertama syiahku yang Allah ciptakan... jika cahaya salah seorang dari mereka dibagikan kepada penduduk bumi, maka akan dapat mencukupi seluruh penduduk bumi dan mereka menjadi pemilik cahaya tersebut. Ketika itu beliau bersabda: Musa As setelah memohon kepada Allah Swt, Allah Swt memerintahkan salah satu dari “Karrubiin” untuk menjelma, dan penjelmaan yang dilakukan terhadap sebuah gunung itu adalah penjelmaan salah satu dari “Karrubin” sehingga gunung itu hancur”.[6]
Allamah Thabathaba’i memiliki penjelasan menarik atas riwayat ini, beliau berkata: “Dari riwayat tersebut dapat diartikan bahwa penjelmaan Tuhan juga dalam segala urusan yang disandarkan kepada-Nya dapat dialihkan semacam: pencabutan nyawa, menghidupkan, memberikan rezeki, penurunan wahyu dan lain-lain. Sebagaimana pencabutan nyawa diwakili oleh malaikat maut, dan menghidupkan orang-orang yang mati diambil alih oleh pemilik terompet dan pemberian rezeki melalui Malikat Mikail, dan penurunan wahyu dipegang oleh malaikat Jibrail, maka penjelmaan juga direalisasikan oleh salah satu dari para malaikat (Karubin). [7]
Dari penjelasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa arti dari penjelmaan Tuhan kepada gunung adalah bukan berarti bahwa Tuhan menampakkan dzat-Nya pada gunung tersebut atau cahaya keluar dari Dzat-Nya sehingga dengannya gunung itu lebur, atau Tuhan mengirimkan halilintar atau gempa bumi, atau tanda dan mukjizat yang keluar dari sisi Tuhan, sebagaimana dijelaskan oleh sebagian kitab-kitab tafsir.[8] Akan tetapi penjelmaan Tuhan itu melalui perantara yang dengan perantara tersebut, penjelmaan tersebut terjadi.
Imam Kazim As bersabda: “Tiada penghalang antara Tuhan Yang Maha Suci dan Agung dengan makhluk-Nya kecuali makhluk-Nya itu sendiri”[9]
Dari sisi inilah Imam Zainal Abidin, Ali bin Al-Husain As meyakini bahwa melihat Yang Maha Haq adalah merupakan hajatnya[10] dan memandang pada dzat yang dicintai dan bertemu dengan Ilahi adalah sebagai buah mata hati orang-orang yang merindukan dan mencintai Dzat Yang Maha Suci.[11]
Referensi untuk telaah lebih jauh:
1. Abdullah Jawadi Amuli, Tafsir Maudui’ Qur’an Karim, jil. 7, hal 135-156.
2. Zamahsyari, Kasyaf, jil. 2, dalam penjelasan ayat 143 surah al-A’raf.
3. Ja’far Subhani, Ilahiyat, jilid 2.
4. Shaduq, Tauhid, bab ma jâ’a fi arru’yah.
5. Muhammad Husain Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsiril Qur’an (atau terjemah tafsir al-Mizan) dalam penjelasan ayat yang dibahas, jil. 8.
6. Fakhrurrazi, Tafsir al-Kabir, jil. 14, hal 227-249.
7. Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Ma’âriful Qur’ân, 1-3, hal 26-47 dan 88-96.
8. Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemuneh, terkait dengan penjelasan ayat yang dibahas, jil. 6, ayat 155 dan juga jilid 1, hal ayat 56 surah al-Baqarah (2).
[1]. Ja’far Subhani, Ilahiyat, jil. 2, hal 136, Markazul ilmi Liddirasatil Islamiayah, Qom, Iran, cetakan 4, tahun 1413 H Q; Makarim Syirazi, Nasir, Tafsir Nemuneh, jil. 6, hal 356, Darul kutub al-Islamiyah, Qom.
[2]. Abdullah Jawadi Amuli, Tafsir Maudu’i Qur’an Karim, jil. 7, hal 143.
[3]. Matsnawi, Rumi, buku 4, bait 2484- 2486.
[4] Terjemah Tafsir al-Mizan (Persia), jilid 8, hal 330-350
[5]. Ibid, hal 368. Nahj al-Balagah, khutbah 179.
[6]. Terjemah Tafsir al-Mizan (Persia), jilid 8 hal 377.
[7]. Ibid.
[8]. Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemuneh, pada dipembahasan ayat jilid 6, hal 356 dan seterusnya.
[9]. Shaduq, Tauhid, bab nafyul makan waz zaman... juz 12
[10]. Munâjat Khomsati Asyar, Munâjatu Muridin dan Munâjat al-‘Ârifin, yang dapat dijumpai pada kitab doa Mafatih al-Jinan.
[11]. Ibid, Munâjat al-Arifin.