Please Wait
17351
Ayat 31 surah al-Nur (24) dan banyak riwayat lainnya yang menjelaskan tentang batasan hijab. Allah Swt dalam surah yang dimaksud berfirman, “Katakanlah kepada kaum wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangan dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang (biasa) nampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (supaya dada dan leher mereka tertutupi), dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, ayah mereka, ayah suami mereka, putra-putra mereka, putra-putra suami mereka, saudara-saudara laki-laki mereka, putra-putra saudara laki-laki mereka, putra-putra saudara perempuan mereka, wanita-wanita seagama mereka, budak-budak yang mereka miliki, laki-laki kurang akal yang ikut bersama mereka dan tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan pada saat berjalan, janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. (Qs. Al-Nur [24]:31)
Dalam Ushûl al-Kâfi terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan ihwal batasan hijab yang terhimpun dalam bab “Ma yahillu al-nazhar ilaihi min al-mar’a..” (Apa yang dibolehkan dilihat pada wanita).
Mus’idah bin Ziyar meriwayatkan dari Imam Shadiq As bahwa tatkala beliau ditanya ihwal perhiasan yang boleh ditampakkan oleh perempuan, Imam Shadiq As bersabda, “Wajah dan dua telapak tangan.”
Namun dalam pandangan Islam, nampaknya wajah wanita tidak akan menjadi masalah tatkala tanpa disertai make-up atau disertai dengan make-up ringan. Misalnya mendandani wajah dan mengerok alis (yang tidak dipandang sebagai make-up pada sebagian urf).
Masalah hijab dan pakaian islami adalah masalah yang sedemikian penting sehingga disebutkan dalam al-Qur’an. Allah Swt berfirman pada surah al-Nur terkait dengan masalah ini, “Katakanlah kepada kaum wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangan dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang (biasa) nampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (supaya dada dan leher mereka tertutupi), dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, ayah mereka, ayah suami mereka, putra-putra mereka, putra-putra suami mereka, saudara-saudara laki-laki mereka, putra-putra saudara laki-laki mereka, putra-putra saudara perempuan mereka, wanita-wanita seagama mereka, budak-budak yang mereka miliki, laki-laki kurang akal yang ikut bersama mereka dan tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan pada saat berjalan, janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. (Qs. Al-Nur [24]:31)
Banyak orang meyakini bahwa wajah dan tangan dari siku hingga ke bawah (telapak tangan) tidak termasuk yang harus ditutupi. Pada ayat tersebut juga terdapat beberapa indikasi atas pengecualian ini. Di antaranya,
A. Pengecualian perhiasaan lahiriyah yang terdapat pada ayat di atas, apakah ia bermakna tempat perhiasaan atau perhisaan itu sendiri. Hal ini merupakan dalil terang yang menegaskan tidak perlunya menutup wajah dan dua telapak tangan.
B. Pemahaman perintah ayat di atas terkait dengan menutupkan kain kudung hingga atas dada yang bermakna menutup seluruh kepala, leher dan dada dan tidak berbicara tentang menutup wajah. Pemahaman ini merupakan indikasi atas klaim bahwa wajah tidak perlu ditutupi.[1] Bukti-bukti sejarah juga menunjukkan bahwa mengenakan burkah atau cadar (menutup seluruh wajah) tidak memasyarakat pada masa awal-awal kemunculan Islam.[2]
C. Para Imam Maksum As juga dalam banyak riwayat, ketika menjelaskan dan menafsirkan ayat ini, menjelaskan ukuran dan batasan yang diperlukan dalam berhijab dan berpakaian. Fudhail Yasar (salah seorang sahabat Imam Shadiq As) berkata bahwa bertanya kepada Imam Shadiq: “Apakah al-dzira’in (dari siku hingga pergelangan tangan) wanita termasuk perhiasan yang tidak dibolehkan Tuhan untuk ditampakkan kepada selain suami? Imam Shadiq As bersabda, “Iya dan di antara khimâr (jilbab atau kerudung) serta di antara al-shiwarain adalah termasuk perhiasan.”[3]
Demikian juga Mus’idah bin Ziyad yang menukil dari Imam Shadiq As bahwa tatkala Imam Shadiq As ditanya ihwal perhiasan yang dapat diperlihatkan oleh wanita, beliau menjawab, “Wajah dan dua telapak tangan.”[4]
Namun demikian kita harus memperhatikan dua poin berikut ini:
1. Dari sudut pandang Islam, tampaknya wajah wanita tidak bermasalah ketika disertai dengan perhiasan atau disertai dengan perhiasan yang sangat minim yang tidak termasuk sebagai perhiasaan dalam pandangan urf dan tidak menimbulkan hal-hal negatif yang merusak.[5]
2. Terkait dengan hal-hal yang dijelaskan bahwa tidak ada keharusan menutup wajah dan dua telapak tangan, hal itu tidak berarti bahwa hal itu tidak bermasalah jika seorang pria memandang ke dua sisi tersebut. Lantaran tiada keniscayaan di antara keduanya. Apa yang dikemukakan di sini adalah masalah pertama.[6] [IQuest]
[1]. Penjelasan: Terkait dengan sebab-sebab pewahyuan ayat ini disebutkan bahwa orang-orang Arab pada masa tersebut mengenakan mukenah dan kerudung. Mereka mengenakan kerudung dan mukenah dari kening (dililit) hingga pundak sedemikian sehingga mukenah menutupi belakang telinga mereka berikut kepala dan belakang leher mereka. Akan tetapi bagian bawah tenggorokan dan sedikit bagian atas dada dekat kerah tampak terbuka. Islam menetapkan kondisi ini dan menitahkan bagian mukenah itu diturunkan atau belakang kepala dimajukan dan diturunkan (untuk menutupi) pada bagian kerah dan dada. Alhasil, yang hanya nampak terlihat bagian wajah saja dan anggota badan yang lain tertutup.
[2]. Tafsir Nemune, jil. 14, hal-hal. 450 & 451.
[3]. Ushûl Kâfi, jil. 5, hal. 521, Bâb Yahillu al-nazhar ilaih min al-mar’a.
«عَنِ الْفُضَیْلِ بْنِ یَسَارٍ قَالَ: سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ع عَنِ الذِّرَاعَیْنِ مِنَ الْمَرْأَةِ أَ هُمَا مِنَ الزِّینَةِ الَّتِی قَالَ اللَّهُ تَبَارَکَ وَ تَعَالَى وَ لا یُبْدِینَ زِینَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ قَالَ: نَعَمْ وَ مَا دُونَ الْخِمَارِ مِنَ الزِّینَةِ وَ مَا دُونَ السِّوَارَیْنِ »،
[4]. Wasâil al-Syiah, jil. 20, Hadis No. 25429, hal. 203. Bâb Yahillu al-nazhar ilaih min al-mar’a beghairi al-taladzudz.
«عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ فِی قُرْبِ الْإِسْنَادِ عَنْ هَارُونَ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ مَسْعَدَةَ بْنِ زِیَادٍ قَالَ: سَمِعْتُ جَعْفَراً وَ سُئِلَ عَمَّا تُظْهِرُ الْمَرْأَةُ مِنْ زِینَتِهَا قَالَ: الْوَجْهَ وَ الْکَفَّیْن»،
[5]. Istiftâ’at Imâm Khomeini Ra, jil. 3, hal. 33 dan 34. Taudhi al-Masâil (Al-Muhassyâ li al-Imâm al-Khomeini), jil. 2, hal. 929. Indeks: Wanita dan Penampakan Perhiasan, Jawaban atas Pertanyaan 598 (Site: 651). (Ulasan jeluk pembahasan ini diketengahkan pada pembahasan yuridis dan riwayat, pembahasan-pembahasan nikah dalam Fikih).
[6]. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, Mas’ale-ye Hijâb, Ustad Syahid Muthahhari Ra, hal-hal. 164-235. Disarikan dari Jawaban atas Pertanyaan 495 (Site: 536, Indeks: Batasan Hijab Wanita).