Please Wait
18108
Pada pembahasan tentang hubungan antara etika dan agama terdapat dua pandangan universal sekaitan dengan paradigma-paradigma nilai-nilai etika sebagaimana berikut:
1. Etika adalah sebuah urusan independen dari agama dan tidak ada sangkut pautnya dengan agama.
2. Etika tidak akan pernah terealisir jika tidak berhubungan dengan agama, iman dan keyakinan kepada Tuhan.
Pembahasan ini mengemuka secara luas pada masyarakat Barat dan latar belakang sejarahnya dapat ditelusuri hingga pada masa gejolak yang terjadi pada masa Renaissance. Sebelum Renaissance, agama yang berkembang pada masa itu adalah agama Kristen yang mendominasi seluruh dimensi kehidupan masyarakat ketika itu seperti dimensi pengetahuan, kebudayaan, sosial, etika dan dimensi-dimensi lainnya. Seiring dengan kekalahan gereja dalam pelbagai panggung kehidupan, masyarakat juga mulai merasa muak terhadap agama dan kecendrungan beragama. Alih-alih condong kepada Tuhan, mereka malah lebih cenderung kepada manusia (baca: humanisme). Pelan tapi pasti, pemikiran ini semakin menguat dan merajalela dengan mentasbihkan sebuah tekad bahwa kita dapat memunculkan wacana etika tanpa agama.
Sebagai kebalikannya, sebagian lain menekankan bahwa etika tidak dapat dilepaskan dari agama dan meyakini bahwa etika tidak akan dapat terealisir tanpa agama.
Dalam mengelaborasi pembahasan etika yang berasaskan agama kiranya kita perlu mengingat poin ini bahwa ketika kita ingin menunjukkan satu sistem etika maka hal itu mengikut pada satu pandangan dunia tertentu yang menerima sistem etika tersebut. Dan kita tahu bahwa sesuai dengan pandangan dunia agama, kesempurnaan manusia terletak pada sampainya manusia kepada Tuhan dan taqarrub ilaLlâh (kedekatan di sisi Allah).
Dengan pendekatan praktis pandangan dunia ini adalah pandangan dunia moral yang membantu manusia meraih tujuan ini. Nah dengan menerima prinsip ini, kini kita harus melihat bahwa manusia yang berada pada jalur kesempurnaan dan boleh jadi pada tingkatan-tingkatan permulaan kesempurnaan ini, apakah ia menguasai secara sempurna terhadap lintasan yang harus dilalui? Apakah, terkait dengan pemberian petunjuk dan sistem etika yang akan menyampaikannya kepada tujuan ini, ia memiliki kemandirian dan tidak memerlukan panduan?
Jelas bahwa apabila tujuan manusia adalah sampai kepada Tuhan maka etikanya juga harus etika Ilahiah. Tentu saja ia akan membuntuhkan prinsip etika atau pun pada hal-hal partikular yang berasal dari sumber-sumber revelasional dan Ilahi (baca: agama).
Namun kita harus mengingat poin ini bahwa yang dimaksud dengan etika yang berasaskan agama bukanlah bertautan dengan baik dan buruknya segala sesuatu, etis atau non-etisnya perbuatan-perbuatan manusia yang bersumber dari perintah dan larangan Ilahi. Yang dimaksud dengan etika yang berasaskan agama bahwa baik dan buruk esensial, pada kebanyakan perkara harus dikenal melalui penjelasan Syari’ (Allah Swt) dan kita tidak dapat memandang seluruh hal partikularnya memiliki kemandirian.
Etika atau akhlak merupakan sebuah terma yang digunakan pada bahasa seluruh masyarakat dunia. Namun faktanya adalah bahwa etika dan akhlak ketika ingin didefinisikan merupakan salah satu terma yang paling pelik dan paling kabur definisinya.
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ilmuan dan ulama terkait dengan definisi etika. Mengingat setiap pandangan, baik dari sudut pandang filsafat, agama, sosial dan lain sebagainya mengemukakan definisi tertentu sehubungan dengan etika dan perbuatan etis berdasarkan pandangan dunia yang dianutnya.
Namun dalam makalah ini ada baiknya kita menyinggung dua pandangan universal terkait dengan etika dan paradigm a nilai-nilai moral yang menyoroti masalah hubun gan antara agama dan etika. Dua pandangan ini adalah sebagai berikut:
1. Pandangan yang menyatakan bahwa e tika adalah sebuah urusan independen dari agama dan tidak ada sangkut pautnya dengan agama.
2. Pandangan yang menyatakan bahwa e tika tidak akan pernah terealisir jika tidak berhubungan dengan agama, iman dan keyakinan kepada Tuhan .
Latar Belakang Persoalan
Masalah h ubungan agama dan etika pada masyarakat Islam kurang begitu mendapat perhatian. Boleh jadi alasannya adalah karena tersebarnya maarif Islam secara luas pada komunitas Islam . M embahas masalah-masalah seperti ini dan apa hubungan antara agama dan akhlak, yang mana yang memiliki prinsipalitas, tidak diragukan lagi dan tidak menjadi pertanyaan . Demikian juga, tidak begitu mengandung subyek persoalan sehingga harus dibahas dan dikaji.
Berkebalikan dengan masyarakat Barat, pembahasan ini mengemuka secara luas dan memiliki latar belakang sejarah yang panjang yang dapat ditelusuri hingga pasca Renaissance. Karena masa sebelum Renaissance agama yang menyebar adalah agama Kristen dan mendominasi seluruh dimensi hidup masyarakat Eropa seperti dimensi pengetahuan, kebudayaan, sosial, akhlak dan dimensi-dimensi lainnya. Seiring dengan tumbangnya peran dominan gereja pada pelbagai panggung kehidupan, bersamaan dengan itu, masyarakat mulai merasa muak terhadap agama dan pelbagai kecendrungan beragama.
A ih-alih condong kepada Tuhan, mereka malah lebih mengandrungi humanisme yang menjadikan manusia sebagai sentral dan poros perhatiannya. Pelan tapi pasti, pemikiran ini semakin menguat dan merajalela hingga pada abad-abad belakangan . Akhirnya mereka secara resmi mengemukakakan persoalan etika tanpa Tuhan. Namun tetap dapat dijumpai kecendrungan sebaliknya. Terdapat sebagian orang menyatakan sikap, baik dari kalangan Kristen dan non-Kristen , dan berkukuh bahwa etika mustahil dapat terealisir tanpa agama. [1]
Etika berasas pada Agama
Dalam mengelaborasi pembahasan etika yang berasaskan agama kiranya kita perlu mengingat poin ini bahwa satu sistem etika senantiasa mengikut pada satu pandangan dunia tertentu . Dan kita tahu bahwa sesuai dengan pandangan dunia agama, puncak kesempurnaan manusia telah didefinisikan secara khusus . Dalam pandangan dunia agama, perbuatan etis adalah sebuah perbuatan yang menghantarkan manusia kepada Tuhan. Sesuai dengan pandangan dunia agama, kesempurnaan manusia terletak pada sampainya ia pada Tuhan. Dengan demikian, sebuah perbuatan akan menjadi etis dan ber moral tatkala dapat membantu manusia untuk sampai pada tujuan ini.
Dengan menerima prinsip ini, kini kita harus melihat bahwa manusia yang berada pada jalur kesempurnaan dan boleh jadi pada tingkatan-tingkatan permulaan kesempurnaan ini, apakah ia menguasai secara sempurna terhadap lintasan yang harus dilalui? Apakah , terkait dengan pemberian petunjuk dan sistem etika yang akan menyampaikannya kepada tujuan ini , ia memiliki kemandirian dan tidak memerlukan panduan?
Jelas bahwa apabila tujuan manusia adalah untuk sampai kepada Tuhan maka etikanya haruslah etika Ilahi. Dalam meralisir tujuan ini, tentu saja manusia akan membuntuhkan prinsip etika atau pun pada hal-hal parti k ular yang berasal dari sumber-sumber revelasional dan Ilahi (baca: agama) . Tatkala prinsip etika yang dianutnya adalah etika tanpa Tuhan dan etika yang dianut adalah etika humanis, maka tidak ada kejelasan dan jaminan apakah asas tersebut akan menghantarkannya sampai kepada Tuhan atau hanya dapat memenuhi seluruh keinginan manusia itu sendiri.
Karena itu, klaim kemandirian akal , itu pun akal ego sentris dan pragmatis dalam membangun fondasi akhlak yang benar dan hakiki – dari sudut pandang bahwa tujuan manusia adalah sampai kepada Tuhan – tidak akan dapat diterima.
Adapun untuk membangun fondasi etika humanisme yang mencari kesempurnaan manusia dan terlepas dari masalah-masalah Ilahi, sama sekali tidak memerlukan agama, bahkan dari sudut pandang ini, maka boleh jadi kebanyakan proposisi etika-religius akan bernilai nihil dan tanpa makna.
Dengan demikian , orang-orang yang mengklaim etika tanpa agama dan Tuhan, mau-tak-mau, sadar-tidak-sadar, telah menempatkan sumber etika pada jiwa manusia yang terbatas . B ukan aku sebagai manusia unggul, pencari Tuhan, dan bukan akal yang mencari kesempurnaan; karena akal terunggul senantiasa disertai dengan wahyu dan mengambil sinar dari cahaya nya . Berbeda dengan akal pragmatis dan serba duniawi yang telah sampai pada tingkat kenihilan . Bagi mereka yang masih berada dalam polemi k membangun fondasi etika tanpa Tuhan juga akan bernasib yang sama yaitu terbenam dalam kenihilan.
Ucapan terkenal Fyodor Dostoyevsky yang menyatakan bahwa, “Sekiranya tiada Tuhan maka segala sesuatunya boleh dilakukan” [2] sejatinya tengah menyinggung realitas yang disebutkan bahwa sekiranya manusia tanpa identitas Ilahiah dalam melakukan perbuatan moral dan etis maka hal itu tidak akan memunculkan motivasi untuk melakukan perbuatan moral. S esuai dengan standar moral yang memiliki kehakikian sendirinya menunjukkan bahwa intensitas identitas Ilahiah dan agamis sangat kental dan penuh warna dalam diri manusia. I dentitas Ilahiah ini tidak akan terealisir tanpa ber hubungan dengan Tuhan.
Karena itu, etika yang bersandar pada agama berseberangan dengan pandangan etika tanpa Tuhan dan humanism e. Sejatinya, etika tanpa agama tidak hanya tidak dapat digambarkan ia juga tidak dapat terealisir dalam dunia nyata. Terlepas apakah prinsip etika atau pun pada hal-hal partikularnya itu terinspirasi dari wahyu.
Namun kita harus mengingat poin ini bahwa yang dimaksud dengan etika yang berasaskan agama bukanlah bertautan dengan baik dan buruknya segala sesuatu, etis atau non -etisnya perbuatan-perbuatan manusia yang bersumber dari perintah dan larangan Ilahi . Y ang dimaksud dengan etika yang berasaskan agama bahwa baik dan buruk esensial, pada kebanyakan perkara harus dikenal melalui penjelasan Syari’ (Allah Swt) dan kita tidak dapat memandang seluruh hal partikularnya memiliki kemandirian. Karena itu, peran wahyu di sini berada pada tataran itsbat (pembuktian) bukan pada tingkatan tsubut (realitas, ketetapan) . [3] [IQuest]
Beberapa Indeks Terkait:
Agama dan Manusia, 226 (Site: 2128)
Agama dan Kebudayaan, 6341 (Site: 6525)
Peran Sumber-sumber Agama dalam Masalah Etika, 562 (Site: 615)