Please Wait
8427
Syaikh Shaduq dalam kitab Tsawâb al-A’mâl wa Iqâb al-A'mâl, mengemukakan sebuah sub-pembahasan dengan judul "tsawâb hajj wa umrah" (pahala haji dan umrah) dan menukil banyak riwayat dalam masalah ini. Dalam sub-pembahasan lainnya "hukuman bagi seseorang yang meninggalkan haji" juga disebutkan dalam kitab yang sama dimana pada salah satu riwayatnya disebutkan demikian:
"Apabila seseorang bukan karena fakir juga lantaran sakit atau takut dari perbuatan jahat, meninggalkan haji secara sengaja; maka (ketika ia meninggal) ia akan meninggalkan dunia ini seperti orang-orang Yahudi dan Kristen."
Atas dasar ini, sangatlah jauh kalau kita menyebut Syaikh Shaduq sebagai orang yang tidak mengindahkan masalah haji dan kewajiban pelaksanaanya. Akan tetapi terkait dengan pertanyaan yang diajukan, apabila Anda mendengar seperti ini yang berdasarkan riwayat-riwayat yang terdapat pada kitab ini, ziarah setiap kuburan tempat seorang ulama Syiah dimakamkan, lebih tinggi pahalanya ketimbang pelaksanaan haji, maka kami harus berkata bahwa riwayat seperti ini tidak terdapat pada kitab ini dan juga tidak pada kitab-kitab standar Syiah lainya, akan tetapi apabila pendapat Anda terkait dengan ziarah Imam Husain As di Karbala lebih utama ketimbang pelaksanaan haji maka harus dikatakana bahwa pada kitab Tsawâb al-A’mâl wa Iqâb al-A'mâl dan pada sub-pembahasan "Tsawâb man zâra qabra al-Husain As" (pahala bagi orang yang berziarah ke pusara Imam Husain As) terdapat sebuah riwayat yang menyatakan sederajat atau bahkan lebih tinggi dari pahala haji dan umrah. Dan masalah ini, tidak bermakna memandang enteng pelaksanaan haji, melainkan bahwa orang yang berziarah ke pusara Imam Husain As akan memperoleh pahala yang banyak dan hal ini dikarenakan karena pada masa itu para penguasa zalim berupaya tanpa kenal lelah untuk melenyapkan nama Imam Husain As dan menyensor pesan revolusinya dari benak dan pikiran masyarakat. Ziarah ke pusara Imam Husain As, banyak mengandung resiko jiwa dan harta bagi orang yang berziarah. Sementara kondisi seperti ini pada kebanyakan masalah, terkait dengan pelaksanaan haji tidak demikian. Dan merupakan suatu hal yang wajar ketika membandingkan dua perbuatan antara satu dengan yang lain, dengan asumsi bahwa keduanya ditunaikan untuk mencapai keridaan Tuhan, dan akan menjadi sebuah perbuatan yang bernilai ketika pelaksanaannya lebih sukar dan melelahkan.
Pertama-tama, perlu disampaikan bahwa Syaikh Shaduq dalam kitab "Tsawâb al-'Amal wa Iqâb al-A'mâl" membuka satu sub-pembahasan dengan judul "Tsawâb hajj wa umrah" (pahala haji dan umrah) dan menyebutkan banyak riwayat terkait dengan pelaksanaan dua ibadah ini.[1] Demikian juga, terdapat sub-pembahasan lainnya dengan judul "Hukum bagi orang yang sengaja meninggalkan haji" dimana pada salah satu riwayat tersebut dijelaskan sebagai berikut:
"Apabila seseorang bukan karena fakir juga lantaran sakit atau takut dari perbuatan jahat, meninggalkan haji secara sengaja; maka (ketika ia meninggal) ia akan meninggalkan dunia ini seperti orang-orang Yahudi dan Kristen."[2]
Atas dasar ini, sangatlah jauh kalau kita menyebut Syaikh Shaduq sebagai orang yang tidak mengindahkan masalah haji dan kewajiban pelaksanaanya. Akan tetapi terkait dengan pertanyaan yang diajukan, apabila Anda mendengar seperti ini yang berdasarkan riwayat-riwayat yang terdapat pada kitab ini, ziarah setiap kuburan tempat seorang ulama Syiah dimakamkan, lebih tinggi pahalanya ketimbang pelaksanaan haji, maka kami harus berkata bahwa riwayat seperti ini tidak terdapat pada kitab ini dan juga tidak pada kitab-kitab standar Syiah lainya, akan tetapi apabila pendapat Anda terkait dengan ziarah Imam Husain As di Karbala lebih utama ketimbang pelaksanaan haji maka harus dikatakan bahwa pada kitab "Tsawâb al-'Amal wa Iqâb al-A'mâl" dan pada sub-pembahasan "Tsawâb man zâra qabra al-Husain As"[3] (pahala bagi orang yang berziarah ke pusara Imam Husain As) terdapat sebuah riwayat yang menyatakan sederajat atau bahkan lebih tinggi dari pahala haji dan umrah.
Dan masalah ini, tidak bermakna memandang enteng pelaksanaan haji, melainkan bahwa orang yang berziarah ke pusara Imam Husain As akan memperoleh pahala yang banyak dan hal ini dikarenakan karena pada masa itu para penguasa zalim berupaya tanpa kenal lelah untuk melenyapkan nama Imam Husain As dan menyensor pesan revolusinya dari benak dan pikiran masyarakat. Ziarah ke pusara Imam Husain As, banyak mengandung resiko jiwa dan harta bagi orang yang berziarah. Sementara perasaan seperti ini pada kebanyakan masalah, terkait dengan pelaksanaan haji tidak demikian. Dan merupakan suatu hal yang wajar ketika membandingkan dua perbuatan antara satu dengan yang lain, dengan asumsi bahwa keduanya ditunaikan untuk mencapai keridaan Tuhan, dan akan menjadi sebuah perbuatan yang bernilai dimana pelaksanaannya lebih sukar dan melelahkan.
Akan tetapi terdapat beberapa poin penting terkait dengan pembahasan ini:
1. Anda tidak dapat menyaksikan riwayat semacam ini dalam literatur-literatur standar Syiah yang menyatakan gugurnya kewajiban haji dan umrah sebagai ganti dari ziarah kepada salah satu Imam Maksum As, melainkan sebagian riwayat, secara lugas menyatakan bahwa riwayat semacam ini bukan merupakan dalih untuk menghindari pelaksanaan haji.[4] Atas dasar ini, apabila seseorang berulang kali telah melakukan ziarah kepada para Imam Maksum ini, akan tetapi dengan adanya kemampuan, menghindar dari pelaksanan haji maka ia tidak akan meninggalkan dunia ini dalam sebagai pemeluk agama Islam.
2. Dalam pandangan Syiah, tipologi revolusi dan kebangkitan Imam Husain As dan juga pelbagai usah para maksum, dalam mencegah pelbagai penyimpangan dalam ajran-ajaran Islam; karena pelbagai kegiatan dilakukan, sehingga pertama-tama menghilangkan syiar-syiar Islam dan kemudian setelah itu mencerabut dari akarnya, tidak menyisakan satu pun karya dari Islam dan kaum Muslimin. Apatah lagi haji dan manasiknya. Atas dasar ini, keberlanjutan pelaksanaan haji kewajiban dengan benar juga berkat jasa mereka dan salah satu cara untuk menghormati perjuangan dan pengorbanan merka adalah berziarah ke pusara mereka.
3. Meski terdapat pada sebagian riwayat yang menekankan ziarah kepada para Imam Maksum As, namun sebuah manasik haji, seperti wukuf di Arafah dan Mina, sai antara Shafa dan Marwah, thawaf tujuh kali dan sebagainya yang disinggung dalam al-Qur'an. Apa yang dijelaskan tentang haji, tidak dijelaskan dalam ziarah-ziarah seperti ini sehingga menjadi rival pelaksanaan haji, penekanan ini semata-mata untuk menjalankan ketentuan syariat dan prinsip moral yang dapat menjadi faktor diterimanya ziarah-ziarah semacam ini. Senantiasa mengingat Tuhan, menunaikan sebanyak mungkin shalat, bersedekah dan sebagainya merupakan prinsip-prinsip yang diterima oleh seluruh mazhab dan firkah dalam Islam terkait dengan ziarah.
Prinsip dan ketentuan ini, dipandang sebagai faktor diterimanya ziarah kepada Imam Husain As sebagaimana yang disebutkan dalam sebagian riwayat.[5]
Akhir kata kami meminta Anda untuk menjawab pertanyaan berikut ini:
Dua orang Muslim masing-masing memiliki perilaku dan etika yang berbeda dalam melakukan kebaikan. Yang pertama mengerjakan kebaikan dengan adanya marabahaya yang mengancamnya dan ingin menjaga dasar-dasar agama, membela kehormatan Islam dan kaum Muslimin serta mencegah pelbagai penyimpangan dalam agama di tangan para penyembah dunia dan penguasa zalim, apa pun yang dimilikinya ia persembahkan dan senantiasa berupaya dalam hal ini. Orang kedua juga dengan membayar sebagian kecil dari harta kekayanya, ia pergi menunaikan haji dengan pesawat terbaik, bermukim di hotel yang paling moderen dan mengkonsumsi makanan yang paling mahal dan lezat dan ia tahu bahwa kondisi sosialnya akan semakin membaik sekembalinya dari perjalanan haji.[6]
Menurut Anda siapakah yang lebih layak menerima ganjaran lebih besar dari Allah Swt dari kedua orang ini? Jawaban Anda, tanpa ada kefanatikan secuil pun, terhadap pertanyaan kami, merupakan jawaban kami atas pertanyan Anda.[IQuest]
[1]. Syaikh Shaduq, Tsawâb al-A’mâl wa ‘Iqâb al-A’mâl , hal. 46-50, Intisyarat-e Syarif Radhi, Qum, 1364.
[2]. Ibid, hal. 236.
[3]. Ibid, hal. 85-98.
[4]. Muhammad bin al-Hasan, Hurr ‘Amili, Wasâil al-Syi’ah, jil. 14, hal. 453, Hadis 19586, Muassasah Ali al-Bait, Qum, 1409 H.
[5]. Ibid, jil. 14, hal. 527, Hadis 1975.
[6]. Kami sekali-kali tidak meyakini bahwa seluruh jamaah haji memiliki tipologi dan karakteristik seperti ini. Dan penjelasan contoh ini, dikemukakan dengan alasan bahwa hanya dengan mengetahui perbedaan kondisi kita dapat memandang sebagian amalan itu lebih tinggi dan unggul dari haji.