Please Wait
8938
Sebagian orang beranggapan bahwa Islam tidak sejalan dengan syair dan penyair sementara hal ini tidak lain kecuali anggapan kosong semata.
Tak pelak bahwa cita rasa syair dan seni seorang penyair; seperti seluruh modal-modal eksistensial manusia akan menjadi berharga tatkala digunakan untuk keperluan benar dan bertujuan positif serta konstruktif. Namun apabila digunakan sebagai media destruktif untuk menghancurkan bangunan keyakinan dan moralitas masyarakat serta bermotivasi untuk merusak dan menujukkan sikap anarki atau mengajak manusia pada nihilisme atau bahkan sekedar media untuk menghabiskan waktu semata, tentu saja tidak akan bernilai bahkan merugikan manusia.
Karena itu, syair adalah hanya sebuah media dan kriteria peniliaiannya terletak pada tujuannya untuk apa syair digunakan.
Sangat disayangkan sepanjang sejarah kesustraan bangsa-bangsa di dunia telah banyak menyalahgunakan syair. Cita rasa subtil Ilahi telah diseret ke dalam sebuah atmosfer-atmosfer yang terkontaminasi dan terkadang berubah menjadi faktor destruktif dan perusak paling berpengaruh, khususnya pada masa jahiliah yang merupakan masa degradasi pemikiran dan moralitas bangsa Arab, dimana ketika itu syair, minuman keras (khamar) dan penjarahan (gharat) senantiasa dilakukan seiring sejalan.
Namun siapa yang dapat mengingkari kenyataan ini bahwa syair-syair konstruktif dan bertujuan baik sepanjang zaman telah banyak mencetak sejarah dan terkadang banyak memotivasi bangsa dan kaum tertentu di hadapan para musuh durjana. Mereka tanpa rasa takut dan gentar menerjang barisan para musuh karena motivasi yang mereka dengar dari penggalan-penggalan syair.
Para Imam Ahlulbait As juga banyak memberikan deskripsi tentang syair-syair dan para penyair yang memiliki tujuan positif dan berdoa untuk mereka. Terkadang memberikan hadiah kepada mereka dan tentu saja bukan tempatnya di sini menukil satu per satu kisah tersebut.
Sehubungan dengan syair, Imam Shadiq As pernah bersabda bahwa “Hingga kini tiada yang menggubah syair untuk kami kecuali telah ia mendapat sokongan dari Ruhul Kudus.
Sebagian orang beranggapan bahwa Islam menentang syair dan penyair. Anggapan ini didasarkan pada ayat, “para penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat.” (Qs. Al-Syuara [26]:224) Padahal anggapan seperti ini tidak lain kecuali anggapan kosong semata; karena ayat tersebut tidak berada pada tataran mencela seluruh jenis syair melainkan jenis syair tertentu.
Karena itu, kita lihat bagaimana ulama menjelaskan pembahasan rinci tentang syair di antaranya apa yang disebutkan dalam Tafsir Nemuneh.
Syair dan Penyair dalam Islam
Tak pelak bahwa cita rasa syair dan seni seorang penyair; seperti seluruh modal-modal eksistensial manusia akan menjadi berharga tatkala digunakan untuk keperluan benar dan bertujuan positif dan konstruktif. Namun apabila digunakan sebagai media destruktif untuk menghancurkan bangunan keyakinan dan moralitas masyarakat serta memotivasi untuk melakukan perusakan dan menunjukkan sikap anarki atau mengajak manusia pada nihilisme atau bahkan sekedar media untuk menghabiskan waktu semata, tentu saja tidak akan bernilai bahkan merugikan manusia.
Dengan kalimat ini jawaban pertanyaan menjadi jelas bahwa pada akhirnya ayat-ayat di atas kita pahami demikian bahwa menjadi penyair itu baik atau buruk? Indah atau jelek? Apakah Islam menyetujui atau menentang syair?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini adalah bahwa penilaian Islam dalam masalah ini terletak pada “tujuan-tujuan” dan “arah yang disasar” serta “hasil-hasilnya” yang dapat dipetik dari syair-syair, meminjam sabda Amirul Mukminin Ali As tatkala sekelompok sahabatnya pada suatu malam di bulan Ramadhan ketika waktu buka puasa, mengemuka pembicaraan tentang syair dan para penyair, Imam Ali berkata kepada mereka, “
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya kriteria pekerjaan Anda adalah agama, biang penjaga Anda adalah ketakwaan, keindahan Anda adalah adab dan benteng kukuh nama baikmu adalah sabar dan tabah.”[1]
Sabda Imam Ali As berbicara tentang syair dan sebuah media dan kriteria penilaiannya adalah terletak pada tujuan yang ingin dicapai dalam penggunaan syair.
Sangat disayangkan sepanjang sejarah kesustraan bangsa-bangsa di dunia telah banyak menyalahgunakan syair dan cita rasa subtil Ilahi diseret ke dalam sebuah atmosfer-atmosfer yang terkontaminasi yang terkadang berubah menjadi faktor destruktif dan perusak paling berpengaruh, khususnya pada masa jahiliah yang merupakan masa degradasi pemikiran dan moralitas bangsa Arab, dimana ketika itu syair, minuman keras (khamar) dan penjarahan (gharat) senantiasa dilakukan seiring sejalan.
Namun siapa yang dapat mengingkari kenyataan ini bahwa syair-syair konstruktif dan bertujuan baik sepanjang zaman telah banyak mencetak sejarah dan terkadang syair banyak memotivasi bangsa dan kaum di hadapan para musuh durjana tanpa rasa takut dan gentar menerjang barisan para musuh.
Secara kasat mata kita saksikan berseminya Revolusi Islam bagaimana syair-syair perjuangan dapat memunculkan keberanian dan gerakan. Demikian juga bagiamana syair-syair perjuangan ini menggelorakan semangat dan bagaimana syair pendek dan sederhana ini berhasil mencetak sejarah dan menggetarkan musuh serta menggoyangkan kaki-kaki istana mereka.
Demikian pula siapa yang dapat mengingkari bahwa terkadang sebuah syair moral sedemikian merasuk pada kedalaman jiwa manusia yang tidak dapat dilakukan oleh sebuah buku besar dan penuh kandungan.
Benar sebagaimana dalam sebuah hadis yang populer yang dinukil dari Rasulullah Saw, “Sesungguhnya pada sebagian syair terpendam hikmah dan pada sebagian tuturan terkandung unsur magik.”[2] Dan terkadang syair dapat menciptakan huru-hara.
Acap kali kata-kata yang bertimbangan puitis lebih tajam dan lebih menusuk pada hati musuh, sebagaimana dalam sebuah hadis dari Rasulullah Saw kita membaca terkait dengan syair-syair seperti ini,
“Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, dengan syair-syair seperti ini seolah engkau telah melontarkan anak panah kepada mereka.”[3]
Rasulullah Saw menyampaikan sabda ini bahwa musuh dengan syair-syair mereka yang menyerang berusaha melemahkan semangat kaum Muslimin, kemudian Rasulullah Saw memerintahkan kaum Muslimin untuk menggubah syair dalam mencela mereka dan menguatkan mental kaum Muslimin.
Sehubungan dengan salah satu syair pembela Islam, Rasulullah Saw bersabda, “Seranglah mereka karena sesungguhnya Jibril bersamamu.”[4]
Khususnya tatkala Ka’ab bin Malik penyair mukmin yang menggubah syair untuk menguatkan Islam bertanya kepada Rasulullah Saw, “Wahai Rasulullah! Apa yang harus saya lakukan terhadap ayat-ayat yang mencela syair?” Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya orang-orang beriman berperang dengan jiwanya, dengan pedang dan dengan lisannya.”[5]
Para Imam Ahlulbait As juga banyak deskripsi tentang syair-syair dan para penyair dengan tujuan dan berdoa untuk mereka, memberikan hadiah kepada mereka yang tentu saja bukan tempatnya di sini menukil satu per satu kisah tersebut.
Imam Shadiq As bersabda, “Hingga kini tiada yang menggubah syair untuk kami kecuali ia telah mendapat sokongan dari Ruhul Kudus.
Namun amat disayangkan sepanjang sejarah, terdapat sekelompok yang menodai seni besar dan cita rasa subtil Ilahi yang merupakan cerminan terindah penciptaan, dan mendegradasi syair dari puncak langit menjadi alat-alat material bumi yang rendah, sedemikian mereka berdusta sehingga muncul pepatah masyhur yang mengatakan, “sebaik-baik syair adalah yang paling banyak mengandung dusta.”
Terkadang syair digunakan untuk melayani para tiran dan penguasa durjana. Karena manfaat yang tidak seberapa sedemikian mereka mencari muka sehingga tidak kursi falak mampu menahan pemikiran mereka, dan terkadang mereka berdiri pada barisan orang-orang yang menenggak minuman keras, memberi suap, dan sedemikian keji sehingga terkadang pena merasa malu untuk melukiskannya.
Acap kali mereka mengobarkan api peperangan dengan syair-syair dan memprovokasi manusia untuk menjarah dan membunuh sesama serta menumpahkan darah orang-orang yang tidak berdosa.
Namun sebaliknya, para penyair beriman dan bersemangat yang tidak tunduk kepada penguasa, menggunakan syair untuk pembebasan manusia, kesucian dan ketakwaan, dan melawan dengan para pencuri, penjarah dan penguasa tiran sehingga sampai pada puncak kehormatan.
Terkadang dalam membela kebenaran, mereka menyampaikan syair-syair yang setiap baitnya, ia membeli sebuah rumah (bait) baginya di surga[6] dan terkadang pada masa kritis seperti pada masa penguasa zalim seperti Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah, mereka menahan nafas-nafas pada dada-dada dengan menggubah kasidah seperti seperti kasidah “Madâris Âyât” yang menerangi hati-hati dan menyingkap tirai-tirai dusta dan kepalsuan sehingga seolah ruhul qudus yang membuat syair-syair ini mengalirkannya pada lisan-lisan mereka.
Acapkali untuk menciptakan gerakan pada massa yang menderita yang merasa terhina, mereka menggubah syair-syair yang mencetak sejarah dan perubahan.
Al-Qur’an bercerita tentang mereka, “Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh, serta banyak menyebut Allah dan membela diri (dan mukminin) ketika mereka dizalimi (dengan menggunakan kekuatan syair). “ (Qs. Al-Syuara [26]:227)
Menariknya bahwa kelompok penyair ini, terkadang sedemikian meninggalkan karya abadi sehingga para pemimpin agama, menurut sebagian riwayat, menganjurkan masyarakat untuk menghafal syair-syair mereka, sebagaimana tentang syair-syair, Abdi yang dinukil dari Imam Shadiq As bersabda, “Wahai orang-orang Syiah! Ajarkanlah kepada anak-anak kalian syair-syair Abdi karena ia berada di jalan agama Allah.”[7]
Akhirnya kami akan menutup pembahasan ini dengan mengutip salah satu syair terkenal Abdi sehubungan dengan khilafah dan pengganti Rasulullah Saw:
و قالوا رسول اللَّه ما اختار بعده اماما و لكنا لأنفسنا اخترنا!
اقمنا اماما ان اقام على الهدى اطعنا، و ان ضل الهداية قومنا!
فقلنا اذا انتم امام امامكم بحمد من الرحمن تهتم و لا تهمنا
و لكننا اخترنا الذى اختار ربنا لنا يوم خم ما اعتدينا و لا حلنا!
و نحن على نور من اللَّه واضح فيا رب زدنا منك نورا و ثبتنا!
Mereka berkata Rasulullah Saw tidak memilih seseorang sebagai imam setelahnya namun kami sendiri yang memilihnya
Kami memilih seorang imam, apabila sesuai dengan petunjuk maka kami akan mematuhinya namun apabila dengan jalan kesesatan maka kami akan menyingkirkannya.
Kami berkata kepada mereka dalam hal ini Andalah imam Anda, Anda kebingungan dan kami tidak berada dalam kebingungan.
Namun kami memilih imam yang telah dipilihkan oleh Tuhan kami pada hari Ghadir Khum dan kami tidak akan tersesat sedikitpun.
Dan kami berada pada cahaya terang Ilahi, wahai Tuhan kami tambahkanlah cahaya bagi kami dan kukuhkanlah kaki-kaki kami.”[8]
Demikian juga Syahid Muhammad Shadiq Sadr mengemukakan pembahasan rinci tentang syair dan para penyair dalam pandangan Fikih. Untuk telaah lebih jauh kami persilahkan Anda untuk merujuk pada karya beliau.[9]
Amin al-Islam Syaikh Thabarsi dalam “al-Âdâb al-Diniyah lil Khazanah al-Mu’iniyyah” setelah menukil sebuah riwayat dari Imam Ridha As berkata, “Ringkasan dari seluruh apa yang telah disebutkan dapat disimpulkan bahwa menjelaskan syair pada tempat dan waktu suci dan mulia.”[10] Adapun riwayat-riwayat keras yang terdapat dalam masalah ini dinilai sebagai riwayat-riwayat yang mempraktikkan taqiyyah.
Akhir kata kami akan menukil sebuah hadis dari Imam Shadiq As yang bersabda, “, “Hingga kini tiada yang menggubah syair untuk kami kecuali ia telah mendapat sokongan dari Ruhul Kudus.”[11] [iQuest]
[1]. Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balâghah, jil. 20, hal. 461.
[2]. Hadis ini disebutkan oleh banyak ulama Islam, Syiah dan Sunni dalam buku-buku mereka. Silahkan lihat, al-Ghadir, jil. 2, hal. 9.
[3]. Musnad Ahmad, jil. 3, hal. 460.
[4]. Musnad Ahmad, jil. 4, hal. 299.
[5]. Tafsir Qurthubi, jil. 7, hal. 4869.
[6]. Dari Imam Shadiq As diriwayatkan, “Barang siapa yang berkata-kata tentang kami sebuah syair maka Allah Swt akan membangungkan baginya rumah di surga.” Al-Ghadir, jil. 2, hal. 3.
[7]. Nûr al-Tsaqalain, jil. 4, hal. 71.
[8]. Abbas Qummi, al-Kuni wa al-Alqab, jil. 2, hal. 455. Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 15, hal. 382-386.
[9]. Silahkan lihat, Ma Wara al-Fiqh, jil. 10, hal. 93.
[10]. Yusuf bin Ahmad bin Ibrahim Bahrani, al-Hadâiq al-Nâdhirah fi Ahkâm al-‘Itrah al-Thâhirah, jil. 13, hal. 164, Nasyir Muassasah al-Nasyr al-Islami berasosiasi dengan Jamiah Mudarrisin, Cetakan Pertama, Qum, 1405 H.
[11]. Syaikh Shaduq, ‘Uyûn Akhbâr al-Ridhâ Alahi al-Salâm, jil. 1, hal. 7, Nasyr-e Jahan, Teheran, Cetakan Pertama, 1378 S.