Please Wait
34318
Kematian (ajal) dalam perspektif filsafat Islam adalah terlepasnya pengurusan dan pengaturan jiwa (nafs) atas badan dan terpisahnya jiwa dari badan. Tentu saja, pandangan ini bersumber dari al-Qur’an dan riwayat-riwayat yang tidak memandang kematian sebagai ketiadaan, kehancuran, dan kesirnaan.
Dalam teks-teks Islam, terdapat ragam redaksi yang digunakan untuk kematian dimana dari redaksi-redaksi tersebut memiliki keseragaman makna dan common point. Common point tersebut adalah bahwa kematian bukanlah ketiadaan dan kesirnaan, namun perpindahan dari satu kediaman dan alam menuju kediaman dan alam lainnya. Lantaran manusia terkerangka dari ruh dan badan. Dengan kematian, yang merupakan tiadanya kehidupan jasmani secara lahiriah, maka ruh berpindah ke alam lain, alam barzakh dan akhirat. Dan inilah makna dan arti kematian bagi manusia.
Kematian terjadi tatkala ruh dicabut oleh malaikat maut sebagaimana pada waktu tidur. Bedanya, kematian (ajal) merupakan sebuah tidur yang panjang. Dan tidur adalah kematian sementara atau kematian pendek, dan pasca kematian adalah wafat (berpindah) bukan kebinasaan, kesirnaan, dan ketiadaan. Kematian adalah kelahiran baru dari rahim tabiat alam dunia, yang berdasarkan kelahiran ini manusia memasuki alam baru yang tidak dapat dibandingkan dengan dunia natural ini, sebagiamana alam rahim tidak dapat dibandingkan dengan dunia natural dan alam materi.
Kematian merupakan jembatan dan lintasan dimana dengan melintasinya, manusia mengayungkan langkah kakinya menuju alam baru dan terselamatkan dari pelbagai kesulitan dimana hal ini dapat terealisasi tatkala kediaman di dunia dimakmurkan dan kediaman akhirat tidak dikorbankan dan dirusak.
Dalam menjawab pertanyaan yang mengemuka bahwa apakah kematian atau ajal manusia dapat ditunda? Pertanyaan ini dapat dijawab bahwa dalam banyak ayat dan riwayat kita mengenal dua jenis ajal: Ajal muallaq (bersyarat) dan ajal pasti (tetap) yang dengan kata lain yang disebutkan dalam nash-nash agama.
“Ajal muallaq” setiap orang adalah durasi masa seseorang hidup di dunia, namun ajal ini dapat berkurang dan bertambah. Misalnya dengan merajut hubungan silaturahmi dan bersedekah maka ajal ini akan ditunda dan ditambah, sementara ketika menyakiti orang tua dan memutuskan hubungan silaturahmi ajal tersebut akan berkurang. Dan ajal sedemikianlah yang tercatat pada lauh mahw wa itsbat. Adapun ajal pasti adalah ajal yang tidak berubah dan termaktub pada ummul kitab.
Dalam teks-teks Islam, beragam redaksi yang digunakan terkait kematian dan ajal dimana dari ragam redaksi ini tampak masing-masing realitas dari kematian. Akan tetapi, sebelum mengkaji al-Qur’an dan riwayat-riwayat, sebagai pendahuluan, kita akan membahas beberapa tuturan sebagian filosof dalam masalah ini:
Ibn Sina bertutur, "Kematian tidak lain kecuali bahwa jiwa dan nafs manusia meninggalkan media dan wahananya (baca: badan dan tubuh lahiriah). Dan yang dimaksud dengan media di sini adalah semua anggota badan dan panca indra manusia yang kesatuannya disebut sebagai badan dan jasad.[1]
Mulla Shadra menyampaikan, "Kematian adalah keterpisahan ruh dari badan. Dan jiwa dan nafs dalam gerakan substansial (al-haraka al-jauhariyah) sampai kepada suatu tingkatan dimana ia tidak lagi memerlukan wahana badan dan media raga. Badan laksana bahtera yang ditunggangi oleh jiwa (nafs) yang membantunya dalam perjalanan menuju Tuhan di atas daratan benda-benda materi dan lautan ruh. Dan tatkala ia melintasi tingkatan ini, maka jiwa tidak lagi membutuhkan badan dan atas alasan ini kematian terjadi dan penyebab terjadinya kematian adalah bukanlah berakhirnya kekuatan-kekuatan natural atau habisnya hararah gharizi (panas badan) atau segala sesuatu yang lain yang dipandang oleh para dokter, melainkan kematian adalah perkara natural bagi jiwa. Perkara ini adalah penyebab kebaikan, kesempurnaan dan sesuatu yang menjadi penyebab kebaikan dan kesempurnaan adalah menjadi hak-Nya. Oleh itu, kematian adalah hak-Nya.[2] Dalam masalah ini, dalam pembahasan rasionalitas ditegaskan bahwa kematian adalah putusnya hubungan jiwa dan badan sedemikian sehingga jiwa tidak lagi mengatur badan.
Bagaimanapun, filsafat Islam berupaya dengan bersandar kepada al-Qur’an dan hadis berupaya menafsirkan kematian, dan oleh karena itu dengan merujuk kepada ayat dan riwayat kita akan berusaha mengumpulkan bekal dalam perjalanan di dunia ini.
1. Al-Qur’an terkadang memandang kematian (ajal) sebagai tiadanya kehidupan dan efek-efeknya seperti sirnanya kegiatan berpikir dan berkehendak. Namun tiadanya kehidupan akan bermakna pada sesuatu tatkala ia memiliki kedudukan dan potensi untuk disifati dan dicirikan sebagai memiliki kehidupan. “Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu.” (Qs. Al-Baqarah [2]:28). Atau ihwal berhala-berhala patung adalah benda mati dan sekali-kali tidak memiliki potensi untuk hidup, “(Berhala-berhala itu) benda mati tidak hidup.” (Qs. Al-Nahl [16]:21)
Kematian bermakna tiadanya kehidupan tatkala disandarkan kepada manusia. Dari angle dan sudut pandang ini, manusia yang terkerangka dari ruh dan badan, kemudian setelah badan memiliki kehidupan lalu kehidupan itu hilang (dari badan) dengan kematian. Dari sini dapat dikatakan bahwa kematian dialami oleh (badan) manusia dan kalau tidak demikian maka dalam al-Qur’an akan dikatakan bahwa ruh yang dicirikan mengalami kematian (bukan badan) demikian juga tentang kematian malaikat yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an.[3]
2. Di antara redaksi-redaksi yang digunakan al-Qur’an terkait dengan kematian adalah redaksi ta-wa-ffa-,[4] tawaffa berasal dari kata dan klausul wafa yang bermakna menerima sesuatu tanpa adanya pengurangan. “Tufitul mal” artinya aku menerima uang tanpa adanya kekurangan. Pada 14 ayat al-Qur’an menyebutkan tentang kematian.
Hal ini menjelaskan suatu hakikat bahwa: pertama, manusia memiliki dimensi nonmateri dan dalam sorotan dimensi ini ia tidak akan mati. Dan ruh manusia yang tanpa sedikitpun mengalami kekurangan akan diserahkan kepada petugas-petugas gaib (malaikat) Tuhan dan mereka menerima sisi ruhani manusia ini. Sisi nonmateri ini adalah apa yang disebut dalam ayat-ayat sebagai ruh dan jiwa (nafs). Dan berkat pancaran dimensi ruhani dan sisi Ilahiah ini manusia memperoleh kehidupan baru setelah kematian (terpisahnya dengan badan).
Kedua, pribadi hakiki manusia bukanlah raga dan anggota badannya. Karena raga secara gradual akan punah dan hancur.[5] Dan tidak akan berpidah ke tempat atau ke alam lain. Dan penegas lainnya dalam masalah ini adalah dalam ayat-ayat sedemikian, satu silsilah perbuatan organik seperti berbicara dengan para malaikat, menitip asa dan menyampaikan permintaan, tidak akan disandarkan kepada manusia setelah kematian. Dan dengan jelas membuktikan hakikat ini bahwa seluruh realitas manusia bukan jasad tanpa perasaan. Kalau tidak, maka perbincangan manusia dengan malaikat dan lain sebagainya tidak akan bermakna. Dan kepribadian sejati manusia setelah kematian berada di tangan malaikat maut.[6] Dan harus dikatakan bahwa, kematian adalah wafat bukan faut.[7]
Oleh karena itu, kematian merupakan sebuah masalah eksistensial dan dapat diciptakan sehingga atas alasan ini dalam al-Qur’an kematian juga disebut sebagai makhluk sebagaimana kehidupan.[8] Pada surah al-Zumar, ayat 42 disebutkan, “Allah yatawaffa al-anfus haina mautiha wallati lam tamut fii manamiha.” (Allah memegang jiwa-jiwa [orang] ketika matinya dan [memegang] jiwa-jiwa [orang] yang belum mati di waktu ia tidur). Kemudian menjaga ruh-ruh yang ditelah dikeluarkan surah perintah kematiannya dan mengembalikan ruh-ruh lainnya (yang tetap harus hidup). Pronomina (dhamir ha) pada redaksi “Mauti-ha” dan “manami-ha” meski secara lahiriah dinisbahkan pada anfus, namun pada hakikatnya menunjukkan pada badan-badan dan jasad-jasad manusia. Karena yang mati adalah badan bukan ruh. Kematian merupakan sebuah tidur yang panjang dan tidur adalah kematian temporal. Dengan kata lain, tiada bedanya antara kematian dan tidur dimana tidur merupakan kematian tak lengkap dan tak sempurna (naqish). Artinya dalam tidur ada izin bagi ruh untuk kembali ke badan.[9]
Pada ayat 60 dan 61 surah al-Waqiah dapat dijadikan contoh bahwa kematian adalah perpindahan dari satu kediaman ke kediaman lainnya. Perubahan dari satu penciptaan kepada penciptaan lainnya dan bukan merupakan kebinasaan dan ketiadaan.[10] Sebagai konklusi dapat dikatakan bahwa kematian adalah kelahiran kembali dan kelahiran sekunder.
Nabi Muhammad Saw dalam hal ini bersabda, "Kalian tidak diciptakan untuk sirna, melainkan diciptakan untuk abadi dan yang ada hanyalah perpindahan dari satu kediaman ke kediaman lainnya."[11]
Imam Ali As juga mencirikan kematian sebagai berikut, "Kematian adalah perpisahan dari kediaman sementara dan kepergian ke kediaman abadi nan lestari. Maka seorang berakal harus mempersiapkan diri sebagaimana seharusnya."[12] Imam Husain As dalam penjelasannya yang indah menganalogikan kematian sebagai jembatan dan tempat lintasan dimana orang beriman dengan melintasinya ia melewati pelbagai penderitaan dan kesusahan kemudian memasuki surga.[13]
Adapun terkait pertanyaan tentang apakah kematian itu dapat ditunda dan dikemudiankan atau tidak? Dapat dikatakan bahwa dalam teks-teks Islam, ajal disinggung dalam dua bentuk. [14] Al-Qur’an menyebutkan, “Dia menentukan ajal (masa hidup tertentu supaya kamu dapat menggapai kesempurnaan ciptaanmu. dan ajal yang pasti hanya ada pada sisi-Nya (dan hanya Dia sendirilah yang mengetahuinya).“ (Qs. Al-An’am [6]:2). Artinya bahwa seorang manusia memiliki satu ajal yang tidak ditentukan[15] dan satunya ajal yang ditentukan (musamma) yang berada di sisi Tuhan dan tidak mengalami perubahan dan bukti dari perkara ini adalah redaksi “di sisi-Nya”. Dari sisi lain, “maa indaLlâhu Bâqin” (apa yang ada di sisi Allah adalah abadi.”) (Qs. Al-Nahl [16]:96). Dan inilah ajal mahtum yang disinggung pada ayat 49 surah Yunus, “Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) memajukan(nya).”
Namun harus diperhatikan bahwa terdapat hubungan khusus antara ajal yang ditentukan (musamma) dan ajal yang tidak ditentukan (ghairi musamma). Dengan demikian, boleh jadi yang disyaratkan oleh "ajal bergantung (mu'allaq) atau ajal yang tidak ditentukan (ghairi musamma)" tidak terwujud dikarenakan tidak terpenuhinya syarat-syaratnya. Berbeda dengan ajal yang ditentukan (musamma) dimana tiada jalan lagi untuk tidak terwujudnya. Sekarang apabila perkara ini kita tambahkan dengan ayat 39 surah al-Ra’ad yang menegaskan, “Allah menghapuskan dan menetapkan apa yang Dia kehendaki, dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul Kitâb (Lauh Mahfûzh). Maka dapat disimpulkan bahwa ajal musamma adalah sesuatu yang tersimpan pada “ummul kitab” dan ajal ghairimusamma tertulis pada “lauh mahw wa itsbat.”
Ummul Kitab dapat diterapkan pada perstiwa-peristiwa yang tetap di dunia luar. Artinya, kejadian-kejadian yang bersandar pada sisi sebab-sebab umum yang tidak menyelisih akibatnya.
Dan lauh mahw wa itsbat, dapat diterapkan atas kejadian-kejadian yang disandarkan pada sebab-sebab tak lengkap (illat naqish) yang dapat kita sebut sebagai “tuntutan-tuntutan” dimana mungkin disertai dengan halangan-halangan atau terhalang akibat-akibatnya. Oleh karena itu, terkadang ajal yang ditentukan dan tidak ditentukan sejalan dan terkadang menyelisih dan yang berlaku adalah ajal yang ditentukan (musamma).[16]
Bagaimanapun, ajal yang bergantung (mu'allaq) memiliki potensi untuk mengalami penundaan dan tertunda karena adanya halangan-halangan. Dengan demikian, apabila kita menyaksikan dalam banyak riwayat yang menyatakan bahwa dengan mengerjakan perbuatan dan amalan tertentu usia manusia akan bertambah, menunjukkan pada poin ini bahwa perbuatan yang dimaksud menjadi penghalang untuk terlaksanakannya ajal yang bergantung itu.
Sebuah riwayat menyebutkan bahwa, “Orang-orang yang hidup berkat perbuatan-perbuatan baiknya lebih banyak daripada orang-orang yang menjalani usianya secara natural. Dan orang-orang yang mati karena dosa-dosa mereka lebih banyak daripada orang-orang yang mati karena ajalnya.”[17]
Terkadang suatu waktu dijelaskan bahwa bersedekah dapat mengantisipasi ajal yang bergantung[18] serta memanjangkan usia manusia. Dan pada waktu yang lain silaturahmi diperkenalkan sebagai penyebab panjangnya usia manusia.[19][]
Untuk telaah lebih jauh dan informasi lebih banyak tentang panjangnya usia manusia, Anda dapat merujuk pada kitab yang berjudul, “Maa Yadfa’ al-Ajal al-Mu’allaq” (Tips untuk menolak ajal mu'allaq) atau “Maa Yazid fi al-‘Umr (Tips Memanjangkan Usia)
[1]. Ibnu Sina, Risâlah al-Syifâ min Khauf al-Maut, hal. 340 – 345
[2]. Mulla Shadra, Asfar, jil. 9, hal. 238.
[3]. Allamah Thaba-thabai, Al-Mizân, jil. 14, hal. 286
[4]. “(Yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat.” (Qs. Nahl [16]: 32), “Kalau kamu melihat ketika para malaikat mencabut jiwa orang-orang yang kafir.” (Qs. Anfal (8)50, “Dan Dia-lah yang menidurkanmu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari, kemudian Dia membangunkanmu pada siang hari. (Kondisi ini terus berlanjut hingga) ajal(mu) yang telah ditentukan tiba.” (Qs. An’am [6]: 60), “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu ia tidur; lalu Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan.” (Qs. Zumar [35]:42)
[5]. Dalam surah al-An’am ayat 60 disebutkan bahwa “Huwaladzi yatawaffakum” (Dia-lah yang menidurkanmu di malam hari) , redaksi “kum” pada ayat ini adalah yang disebut sebagai aku atau dia dan senantiasa bersifat tetap.
[6]. Majmu’e Âtsâr-e Syahid Muthahhari, jil. 2, hal. 503-111.
[7]. Abdullah Jawadi Amuli, Tafsir Maudhu’i al-Qur’an, jil. 3, hal. 388-397, dan jil. 2, hal. 497-509.
[8]. “Dan Dialah yang menciptakan kematiandan kehidupan.” (Qs. Al-Mulk [67]:2), lihat Payâm-e Qur’ân, jil. 5, hal. 430 dan seterusnya.
[9]. Ayatullah Makarim Syirazi, Payâm-e Qur’ân, jil. 5, hal. 433.
[10]. Allamah Thab-thabai, Al-Mizân, jil, 19, hal. 133 dan jil. 20, hal. 356.
[11]. Allamah Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 6, hal. 249.
[12]. Al-Maut mufariqatu darul fana wa irtihal ilaa dar al-baqa.” Dalam penjelasan lainnya, “Khudzu min mamurrukum li maqarrikum.” (Nahj al-Balagha, hal. 493), Dunia adalah tempat lintasan dan akhirat adalah tempat kediaman abadi, dan dikatakan (kepadanya), “Siapakah yang dapat menyelamatkan (dari kematian?” Dan dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan (dengan dunia), dan betis (kiri) bertaut dengan betis (kanan lantaran ia sedang menghadapi sakaratul maut). Pada saat itu, kepada Tuhan-mulah kamu dihalau.” (Qs. Al-Qiyamah [75]:26-30
[13]. Allamah Majlisi, Op Cit, jil. 6, hal. 154. Ma’âni al-Akhbar, hal. 274. Mizân al-Hikmah, jil. 9, hal. 234.
[14]. Allamah Majlisi, Op Cit, jil. 5, hal. 139
[15]. Nakare (ajalan) menunjukkan pada ajal yang tidak ditentukan.
[16]. Allamah Thaba-thabai, Op Cit, jil. 7, hal. 8-10.
[17]. Muhammadi Reisyahri, Mizân al-Hikmah, jil. 1, hal. 30.
[18]. Muhammadi Reisyahri, Op Cit, bab 1464 dan 1467.
[19]. Muhammadi Reisyahri, Op Cit, jil. 6, hal. 549, bab. 2932