Please Wait
20619
Mayoritas fukaha berkata, “Tidak dibenarkan menikah secara permanen (dâim) dengan wanita-wanita non-Muslim, meski ia berasal dari Ahlulkitab, bahkan apabila mereka tetap menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar syariat. Untuk menikah secara permanen dengan wanita-wanita seperti ini maka mereka terlebih dahulu harus menerima agama Islam (memeluk Islam).” Oleh itu, apabila Anda mencintai wanita itu dan bermaksud menikahinya maka pertama-tama Anda harus mengajaknya untuk memeluk Islam dan menjadikannya sebagai seorang Muslimah. Apabila wanita tersebut berasal dari golongan Ahlulkitab maka Anda dapat menikah degannya secara temporal (mut’ah).
Bagaimanapun untuk menyelamatkannya dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai etika dan moral seperti yang Anda singgung, Anda harus berusah menerangkan kepadanya, dengan argumen dan logika yang kokoh dan kuat yang dapat diperoleh dengan menelaah dan mengkaji buku-buku yang bermanfaat dalam bidang ini, tentang bahaya-bahaya dan kerugian-kerugian yang dapat ditimbulkan dari perbuatan-perbuatan seperti ini.
Islam merupakan agama fitrah dan barang siapa yang benar-benar memeluk agama fitrah ini pada hakikatnya ia telah menyemai buah fitrah sucinya. Orang yang memeluk agama Islam tidak dapat sejalan dengan seseorang yang fitrah dan nilai-nilai idealnya tidak pada jalur Islam dengan segala dimensi kejiwaan dan kepribadiannya. Kedua orang yang tidak sejalur ini tidak memiliki kemampuan untuk dapat saling berbagi cinta kasih.[1]
Atas dasar itu dan dalil-dalil fikih yang telah dibahas pada tempatnya, mayoritas fakih berkata, “Apabila seorang pria Muslim bermaksud menikan secara permanen (dâim) dengan wanita non-Muslim maka wanita tersebut harus memeluk Islam (terlebih dahulu) kalau tidak maka ia hanya dapat menikahinya secara temporal.”[2]
Demikian juga mayoritas fakih berkata, “Tidak dibenarkan menikah dengan wanita-wanita kafir dari golongan Ahlulkitab seperti Yahudi dan Kristen.”
Imam Khomeini dalam hal ini berkata, “...seorang pria Muslim tidak dapat menikah secara permanen dengan wanita-wanita kafir non-Ahlulkitab dan mengikut prinsip ihtiyâth wâjib juga tidak dibenarkan menikah secara permanen dengan wanita-wanita kafir dari golongan Ahlulkitab (Yahudi dan Kristen).”[3]
Karena itu apabila Anda menyukai wanita itu dan bermaksud menikahinya secara permanen maka pertama-tama Anda harus meng-Islam-kannya dan kemudian Anda dapat menikahinya. Jelas bahwa dengan menerima Islam dan loyalitasnya kepada agama ini maka ia dengan sendirinya akan menjauhi apa yang telah Anda singgung pada pertanyaan di atas. Namun tidak ada masalah sesuai dengan fatwa mayoritas fakih apabila ia berasal dari golongan Ahlulkitab dan Anda bermaksud menikahinya secara temporal (mut’ah).
Untuk dapat menyelamatkannya dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai moral seperti yang Anda singgung, berusahalah terangkan dan jelaskan kepadanya dengan argumen dan logika yang kokoh dan kuat, yang dapat diperoleh dengan menelaah dan mengkaji buku-buku yang bermanfaat dalam bidang ini, tentang bahaya-bahaya dan kerugian-kerugian yang dapat ditimbulkan dari perbuatan-perbuatan seperti itu. Anda harus meyakinkannya supaya tidak mengerjakan perbuatan-perbuatan tersebut.
Yang harus dicamkan dan dingat dalam menghadapi orang-orang seperti ini bahwa Allah Swt itu adalah Mahapengasih dan mencintai seluruh hamba-Nya. Dengan memperhatikan prinsip ini apabila Allah Swt mengharamkan sesuatu atau sebuah perbuatan seperti meminum minuman keras atau pergi ke diskotik atau berenang bercampur dengan non-mahram tentu saja disebabkan oleh kerugian-kerugian dan bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkan dari perbuatan-perbuatan seperti ini. Dan jangan lupa bahwa Allah Swt senantiasa menjadi penolong dan pendukungmu.
Sepertinya problem utama gadis ini terletak pada agamanya. Apabila ia menerima Islam maka seluruh masalah-masalah kontra akhlaknya seperti menenggak minuman keras secara otomatis akan terpecahkan.
Benar bahwa boleh jadi sebagian Muslim juga melakukan perbuatan-perbuatan haram (seperti meminum minuman keras atau pergi ke diskotik atau berenang bercampur dengan non-mahram). Perbuatan itu disebabkan oleh lemahnya iman mereka bukan karena perbuatan-perbuatan haram ini dibolehkan. Namun seorang Muslim sejati tentu tidak akan pernah melakukan perbuatan-perbuatan seperti ini atau apabila ia melakukannya maka ia akan segera menyesali dan bertaubat karena Allah Swt berjanji akan menerima taubat dan mengampuni dosa-dosa mereka. [iQuest]
[1]. Rasâil Fiqhi (Allamah Ja’fari), Tafâwuthâ Huqûq Basyar az Didgâh-e Islâm wa Gharb (Perbedaan Hak Azasi Manusia dalam Pandangan Islam dan Barat), hal. 168.
[2]. Ayatullah Bahjat Ra: “Wanita Muslimah tidak dapat menikah dengan pria non-Muslim dan pria Muslim juga tidak dapat menikah dengan wanita-wanita kafir yang tidak berasal dari golongan Ahlulkitab namun ia dapat menikah secara temporal (mut’ah) dengan wanita-wanita Yahudi dan Kristen.”
Ayatullah Zanjani: “Wanita Muslimah tidak dapat mengikat akad (menikah) dengan pria kafir. Pria Muslim juga tidak dapat menikah dengan wanita non-Ahlulkitab dan Majusi, tidak secara permanen juga tidak secara temporal. Secara lahir pernikahan permanen atau temporal dengan wanita Yahudi dan Kristen tidak batal melainkan makruh dan bertentangan dengan prinsip ihtiyâth mustahab terkhusus ikatan pernikahan permanen. Dan tidak sah hukumnya menikah secara permanen dengan wanita Majusi dan makruh serta bertentangan dengan prinsip ihtiyâth mustahab hukumnya menikah secara temporal dengan wanita Majusi. Apabila pria dan wanita kafir menikah satu sama lain dan kemudian suaminya memeluk Islam dan istrinya tetap pada agama Kristen atau Yahudi atau Majusi maka pernikahannya tidak batal. Terkait dengan hukum-hukum wanita atau suami terdapat beberapa hukum yang disebutkan secara rinci dalam buku-buku detil fikih.”
Ayatullah Siistani: “Wanita Muslimah tidak dapat mengikat akad (menikah) dengan pria kafir, baik itu menikah secara permanen (daim) atau secara temporal (mut’ah). Baik ia berasal dari golongan kafir Ahlulkitab atau pun non-Ahlulkitab; pria Muslim juga tidak dapat menikah dengan wanita kafir dari golongan non-Ahlulkitab. Namun tidak ada halangan baginya untuk menikah secara temporal dengan wanita-wanita Yahudi atau Kristen (Ahlukitab). Dan sesuai dengan prinsip ihtiyâth wâjib (pria Muslim) tidak (boleh) menikah dengan mereka (wanita-wanita Yahudi dan Kristen) secara permanen; adapun dengan wanita-wanita Majusi, ia tidak boleh menikahnya sesuai dengan prinsip ihtiyâth wâjib meski secara temporal sekali pun. Dan sebagian firkah seperti Nawashib yang memandang diri mereka sebagai Muslim dan secara hukum (termasuk) orang-orang kafir, pria Muslim dan wanita Muslimah tidak dapat menikah dengan mereka baik secara permanen atau pun secara temporal; demikian juga orang-orang murtad.”
Ayatullah Makarim Syirazi: “Wanita Muslimah tidak dapat menikah dengan pria kafir. Demikian juga pria Muslim tidak dapat menikah secara permanen dengan wanita kafir sesuai dengan prinsip ihtiyâth (wajib). Namun tidak ada halangan ia menikah dengan wanita-wanita Ahlulkitab seperti Yahudi dan Kristen. Taudhih al-Masâil (al-Muhassyâ lil Imâm al-Khomeini), jil. 2, hal. 468, Masalah 2379.
[3]. Silahkan lihat, Taudhih al-Masâil (al-Muhassyâ lil Imâm al-Khomeini), jil. 2, hal. 468, Masalah 2379. Diadaptasi dari Pertanyaan No. 842.