Please Wait
19910
Masalah yang mengemuka dalam pertanyaan di atas dapat dikaji dan dibahas dari beberapa sisi:
Pertama, nampaknya interaksi dan bersosialisasi dengan orang lain serta berdialog dengan mereka tidak perlu dilakukan apabila dialog dan interaksi tersebut dapat menimbulkan masalah yang tidak memberikan manfaat apa-apa. Demikian juga, tidak ada manfaatnya berhadap-hadapan secara langsung, berdialektika dan berdialog dengan orang lain.
Namun boleh kiranya melakukan dialog secara tidak langsung atau melalui perantara. Misalnya, salah seorang teman, Anda ajak untuk turut serta dalam pembahasan seperti ini dan mengkomunikasikan pandangannya dalam ragam masalah dengan melibatkan satu kelompok diskusi atau sebagian orang memiliki pendapat lain terkait dengan hal ini dan seterusnya.
Sebagaimana model dan metode praktis para nabi dalam banyak hal dapat dijadikan referensi dalam hal ini. Misalnya Nabi Ibrahim, suatu waktu ada kesempatan untuk berdialog secara tidak langsung dan menyampaikan apa saja yang diyakininya kepada masyarakat tanpa terlibat langsung dengan mereka dalam dialog dan dialektika langsung. Hal ini dapat kita jumpai pada al-Qur’an yang menyatakan, “Ketika malam telah menjadi gelap, ia melihat sebuah bintang (seraya) berkata, “Inilah Tuhanku.” Tetapi tatkala bintang itu tenggelam, ia berkata, “Saya tidak suka kepada yang tenggelam.” Kemudian tatkala ia melihat bulan terbit, ia berkata, “Inilah Tuhanku.” Tetapi setelah bulan itu terbenam, ia berkata, “Sesungguhnya jika Tuhan-ku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, ia berkata, “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar.” Tatkala matahari itu telah terbenam, ia berkata, “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, dengan keimanan yang murni dan tulus kepada-Nya, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (Qs. Al-An’am [6]:76-79)
Demikian juga disebutkan pada sebagian riwayat yang dinukil dari para imam As pada sebagian kondisi mereka tidak terlibat dalam perdebatan dan dialog secara langsung, melainkan terkadang mereka memilih untuk diam sehingga tersedia ruang untuk melenyapkan fitnah dan bentrokan, kemudian selepas itu mereka menyampaikan pandangannya. Sebaik-baik model atas persoalan ini adalah apa yang dilakukan Imam Ridha As terkait dengan penciptaan al-Qur’an yang mengemuka pada masanya. Imam Ridha As tatkala melihat masalah ini telah dipolitisir dan bukan lagi masalah keilmuan, beliau lebih memilih diam; lantaran beliau melihat tidak ada gunanya untuk berdialog dan bertukar pandangan dalam atmosfer kekerasan, bentrokan dan pembunuhan.[1]
Kita mesti mengambil pelajaran dari model dan metode yang dipraktikkan Nabi Ibrahim As di hadapan kaum musyrikin dan para penyembah berhala dalam menyampaikan kebenaran. Sementara Ahlusunnah adalah saudara-saudara kita seagama, kita dan mereka sependapat dalam masalah yang paling penting keyakinan dan prinsip-prinsip agama seperti tauhid, kenabian dan hari Kiamat. Ini yang pertama.
Kedua, Ahlulbait dan para Imam Maksum As senantiasa mengajurkan kepada kita untuk menjaga keutamaan akhlak dan ilmu dan sudah seharusnya kita menjalankan anjuran tersebut. Keinginan mereka bahwa kita harus menjadi teladan dalam ilmu, akhlak, dan takwa sehingga kita dapat mengajak dan berdakwah kepada orang-orang dengan perbuatan kita, tidak semata hanya dengan lisan.
Syaikh Kulaini banyak menukil riwayat terkait dengan persoalan ini yang akan kita sebutkan di sini dua contoh sebagai perumpamaan:
1. Usamah berkata bahwa ia mendengar Imam Shadiq As bersabda: “Bertakwalah dan bersikap wara, berkata jujur dan tunaikanlah amanah, berperilaku baiklah terhadap tetangga. Ajaklah manusia kepada agamamu dengan perbuatanmu (perbuatan kalian orang-orang Syiah sedemikian indah sehingga para penentang kalian condong kepada mazhab kalian). Jadilah perhiasan bagi kami bukan celaan. Dan hendaklah kalian memanjangkan ruku dan sujud; karena barang siapa yang memanjangkan ruku dan sujud maka setan akan berteriak di belakangnya, Celakalah aku. Orang ini mentaati (perintah Allah) dan aku bermaksiat. Orang ini bersujud sementara aku membangkang (ketika aku diperintahkan untuk bersujud di hadapan Adam).”[2]
2. Dinukil dari Ali bin Abi Zaid dari ayahnya, katanya, Aku berada di sisi Imam Shadiq As ketika Isa bin Abdullah Qumi datang kepada beliau. Beliau mengucapkan selamat datang kepadanya: Dan memberikan tempat di sampingnya dan kemudian bersabda: “Wahai Isa bin Abdullah! Bukan bagian dari kami (Syiah) yang tinggal di suatu kota yang penduduknya 100 ribu atau lebih dan di kota itu ada yang lebih bertakwa darinya; yaitu para penentang mazhab Syiah; karena Syiah yang (harus) lebih unggul dari semuanya (dari sisi ketakwaan).”[3]
Apabila kita sedemikian adanya maka kita telah menampilkan wajah rupawan Islam dan mazhab Ahlulbait kepada pendudukan dunia. Karena itu, kita diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan anjuran dan keinginan para Imam Maksum pada seluruh bidang akhlak, keilmuan, keyakinan, kebudayaan dan sebagainya.
Ketiga, Kita perlu mengenal ajaran Syiah yang sejati. Pada hakikatnya, mengenal ajaran Syiah adalah ekuivalen (sejajar) dengan mengenal Islam sesuai dengan mazhab Ahlulbait As. Apabila demikian adanya dan kita mengenal ajaran Syiah seperti ini, maka kita telah mengenal agama dari pelbagai sisi.
Metode ini sejatinya bersandar pada hadis tsaqalain yang telah dibuatkan sketsanya oleh Rasulullah Saw bagi umat setelahnya sehingga mereka tidak tersesat pasca wafatnya Rasulullah Saw. Rasulullah Saw dalam hal ini bersabda, “Sesungguhnya aku tinggalkan pada kalian dua pusaka berharga, apabila kalian berpegang teguh kepada keduanya maka niscaya kalian tidak akan tersesat selamanya. Yang pertama lebih agung dan lebih bernilai. Kitabullah (al-Qur’an) merupakan tali yang ditarik dari langit menjulur ke bumi dan Itrah dan Ahlulbaitku, keduanya tidak akan berpisah selamanya, hingga keduanya dihadapkan kepadaku di telaga Kautsar. Perhatikanlah bagaimana kalian memperlakukan keduanya.”[4]
Keempat: Salah satu masalah yang penting untuk diketahui adalah poin-poin common di antara beberapa mazhab, demikian juga pengenalan terhadap segala sesuatu yang berpotensi menimbulkan perpecahan. Baik persoalan itu disebabkan oleh alasan-alasan politis, atau kefanatikan mazhab atau pelbagai ijtihad dalam bidang keilmuan. Karena itu, apabila kita mengenal pelbagai sebab dan faktor perbedaan dan ikhtilaf maka kita akan mampu mengobati dan mencarikan jalan keluar dari persoalan ini secara lebih akurat.
Sebagai contoh, kami ajukan sebuah permisalan pada teks pertanyaan (menggabung dua shalat) seperti yang Anda singgung:
Apa yang tampak dari teks pertanyaan adalah bahwa Anda tidak mengetahui pandangan Ahlusunnah terkait dengan masalah ini (menggabung dua shalat). Apabila Anda mengetahui pandangan saudara-saudara Ahlusunnah dan riwayat-riwayat yang disampaikan dalam masalah ini! Maka Anda akan berkata kepada teman-teman kelas Anda bahwa masalah ini (menggabung dua shalat) bukan hanya pandangan Syiah, melainkan dalam masalah ini terdapat beberapa riwayat yang disebutkan dalam literatur-literatur standar Ahlulbait yang menegaskan bahwa Rasulullah Saw menggabung dua shalat tanpa ada uzur dan halangan.
Di sini kami akan mencukupkan diri dengan menyebut satu riwayat terkait dengan masalah ini: Dinukil dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Saw menggabung shalat Dhuhur dan Ashar, demikian juga shalat Maghrib dan Isya, tanpa adanya rasa takut (khauf) dan dalam perjalanan (safar).[5]
Ibnu Abbas berkata tentang sebab mengapa Rasulullah Saw menggabungkan shalat tersebut: “Sebab mengapa Rasulullah Saw melakukan perbuatan ini adalah supaya umatnya tidak mengalami kesulitan dan kerumitan.”[6] Demikian juga tatkala sampai pada tafsir ayat, “Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam (pertengahan malam) dan (dirikanlah pula) salat Shubuh. Sesungguhnya salat Shubuh itu disaksikan (oleh malaikat malam dan siang).” (Qs. Al-Isra [17]:78) Kita saksikan salah seorang ulama terkemuka Ahlusunnah terkait dengan ayat di atas berkata, “Ayat ini membagi waktu shalat menjadi tiga bagian bukan lima bagian.”[7]
Masalah revolusi Imam Husain As
Setelah kita mengetahui nilai kebangkitan Asyura dan peran perbaikan revolusi Imam Husain dalam dinamika dan pergerakan masyarakat Islam dan di hadapan pelbagai penyimpangan Bani Umayyah. Dan apabila kita mengetahui bagaimana kita memperkenalkan dengan baik kebangkitan Asyura dan dengan benar melakukan pembelaan terhadapnya, maka akan menjadi jelas bahwa masalah Imam Husain bukanlah masalah memukul kepala dan menepuk dada; lantaran pada hakikatnya kedua hal ini bukan menjadi tujuan kebangkitan dan revolusi Imam Husain As. Menepuk dada dan menyampaikan duka cita kepada Imam Husain As merupakan sebuah media dan wasilah untuk menghidupkan kebangkitan dan revolusi Imam Husain As. Namun menghidupkan revolusi Asyura pada komunitas Syiah tidak terbatas semata-mata pada tepuk dada dan menyampaikan duka cita, melainkan banyak jalan dan cara untuk tujuan tersebut. Akan tetapi amat disayangkan, harus kami sampaikan bahwa tangan-tangan jahil – dengan niat jahat – memperkenalkan Syiah dengan wajah seram dan sangar seperti ini. Tentu saja perbuatan ini tidak benar.
Untuk Anda ketahui bahwa komunitas Syiah, dalam menghidupkan maktab dan revolusi Imam Husain, telah mencetak dan menghasilkan lebih dari tiga ribu jilid kitab, artikel, risalah dan serta mendirikan banyak yayasan keilmuan untuk menghidupkan revolusi Imam Husain As. Semua ini berangkat dari kritikan dan keraguan (syubhat) semacam ini.[8]
Adapun perkataan Anda, mereka tidak memahami persoalan ini, tentu saja masalah ini merupakan sebuah masalah yang wajar dan alami; karena hal ini disebabkan adanya atmosfer sensor dan menjauhnya umat Islam dari maktab Ahlulbait As.
Kami tidak berharap banyak kepada Anda dapat melakukan perubahan pada teman-teman Anda, namun perbanyaklah teman Anda dan Anda tidak perlu memperkenalkan kesyiahan Anda kepada mereka. Masalah ini Anda dapat lakukan tatkala Anda telah menuntaskan pelajaran Anda dengan penuh ketenangan dan ketentraman dapat membela Syiah dan keyakinan Anda tanpa adanya gangguan, keributan, perdebatan dan pertengkaran. [IQuest]
[1]. Terkait dengan hal ini kami persilahkan Anda untuk merujuk pada buku-buku yang membahas atau menyinggung masalah “Penciptaan al-Qur’an.”
[2]. Kâfi, jil. 2, hal. 78, Hadis 8.
[3]. Ibid, Hadis 9.
[4]. Hadis ini disebutkan Muslim pada kitab Shahih-nya, Tirmidzi pada kitab Sunan-nya, Ahmad bin Hanbal pada kitab Musnad-nya. Dan demikian juga pada puluhan literatur standar Ahlusunnah lainnya.
[5]. Shahih Muslim, jil. 2, hal. 151, Kitâb al-Thalâq, Bab al-Jam’ Baina al-Shalataîn.
[6]. Ibid.
[7]. Silahkan lihat, Tafsir Fakhrurazi, terkait ayat 78 surah al-Isra (17).
[8]. Silahkan lihat, Mu’jam Ma Kataba ‘an al-Rasul Saw wa Ahlibaitihi, jil. 7 & 8, Abduljabbar al-Rifa’i.