Please Wait
19131
Tuhan merupakan Eksisten Nir-Batas dan memiliki seluruh kesempurnaan. Penciptaan merupakan anugerah dan emanasi (faidh). Tuhan adalah mahapemberi anugerah dan emanasi (fayyâdh). Kesempurnaan emanasinya menuntut untuk mencipta segala sesuatu yang layak dicipta. Tuhan menciptakannya (sesuatu yang layak dicipta) lantaran Dia adalah Mahapemberi emanasi (fayyâdh). Artinya bahwa tujuan dan alasan penciptaan terletak pada kesempurnaan emanasi-Nya. Dan karena sifat esensial Tuhan tidak terpisah dari dzat-Nya dapat dikatakan bahwa tujuan penciptaan adalah dzat Tuhan itu sendiri.
Tuhan menciptakan manusia sebagai eksisten yang memiliki dua kecenderungan baik dan buruk. Eksisten manusia ini memiliki dua penyeru eksternal kepada kebaikan (para nabi) dan kepada keburukan (para setan), dengan kedua penyeru ini manusia memiliki potensi untuk melesak kepada tingkat paling menjulang kesempurnaan transendental makhluk dan terpuruk jatuh pada tingkat sedimenter.
Apabila manusia dengan adanya pelbagai kecenderungan hewan dan bisikan was-was setan dapat melintasi jalan kebenaran (hak) maka ia meraup kedudukan lebih tinggi dan unggul dari para malaikat; lantaran para malaikat tidak memiliki kecenderungan hewani dan mendengarkan bisikan was-was setan. Dan sekiranya manuaisa memilih jalan kebatilan (batil) maka ia jatuh terpuruk dan kedudukannya lebih buruk daripada hewan-hewan; karena hewan-hewan tersebut tidak memiliki pelbagai potensi maknawi manusia.
Jika Tuhan mencipta manusia semenjak awal dengan memiliki pelbagai kesempurnaan yang mungkin baginya maka kesempurnaan ini bukan merupakan kesempurnaan yang diraih dengan usahanya sendiri. Dan Tuhan telah menciptakan seluruh maujud yang memiliki segala kesempurnaan semenjak awal sebelum manusia. Oleh karena itu, tujuan penciptaan manusia dapat terlaksana tatkala ia memiliki potensi dan kapabilitas untuk menyempurna dan dengan kebebasan yang dimilikinya ia meraup kesempurnaan.
Orang-orang kafir dan para pendosa terhalang untuk sampai pada kesempurnaan ini. Kendati tujuan utama penciptaan manusia – yang merupakan kehendak tasyri'i Tuhan – mereka tidak peroleh. Akan tetapi mereka tidak menentang dengan tujuan takwini penciptaan manusia; karena Tuhan menghendaki (kehendak takwini) mereka dapat memilih jalan kebenaran atau kebatilan. Apabila Tuhan menjadikan mustahil bagi manusia memilih jalan kesesatan maka iman dan ketaatan kepada-Nya tidak akan memiliki nilai pilihan dan kebebasan.
Untuk membuat masalah ini menjadi jelas kiranya perlu memperhatikan beberapa matlab berikut ini:
A. Tujuan Tuhan mencipta:
1. Allah Swt sesuai dengan tuntutan bahwa Dia adalah Wajibul Wujud dan wujud-Nya tidak bergantung kepada sesuatu, maka Dia tidak memiliki keterbatasan dan cela serta memiliki segala kesempurnaan.
2. Di antara kesempurnaan-Nya adalah Mahapemberi anugerah dan emanasi (fayyâdh-jawâd). Allah Swt berfirman dalam al-Qur'an "Dan anugerah Tuhan-mu tidak terhalangi (untuk siapa pun)." (Qs. Al-Isra [17]:20)
Allah Swt tidak memiliki keterbatasan dalam menganugerahi sesuatu dari sisi-Nya. Oleh itu, kapan saja Dia tidak menganugerahi sesuatu maka hal itu bertautan dengan keterbatasan penerima anugerah bukan pemberi anugerah. Dan apabila sesuatu layak untuk menerima anugerah maka Dia akan menganugerahinya.
3. Segala kebaikan dan kesempurnaan bersumber dari keberadaan (wujud) dan segala keburukan dan cela berasal dari ketiadaan ('adam). Misalnya, ilmu merupakan kebaikan dan kesempurnaan. Sementara kebodohan (jahl) adalah keburukan dan cela. Demikian juga kekuatan sebagai kebalikan dari ketidakmampuan dan kelemahan adalah kesempurnaan dan kebaikan. Maka menjadi jelas bahwa wujud merupakan kebaikan dan kebalikannya adalah ketiadaan ('adam) yaitu setiap keburukuan dan cela.
4. Dengan memperhatikan premis ketiga dapat dikatakan bahwa sifat kemahapemberian anugerah (fayyâdh dan jawâd) Tuhan terrealisir dan termanifestasi dengan penciptaan dan pengadaan. Oleh karena itu, keniscayaan sifat fayyâdh ini adalah penciptaan. Dengan kata lain, apabila sesuatu layak untuk dicipta dan Tuhan tidak menciptanya, dengan memperhatikan kebaikan keberadaan (wujud), maka hal ini tergolong sebagai sifat bakhil. Dan sifat bakhil bagi Tuhan adalah sesuatu yang mustahil. Dari premis-premis ini dapat disimpulkan bahwa apabila ditanyakan ihwal apa yang menyebabkan Tuhan mencipta? Jawabannya adalah lantaran sifat fayyâdh dan jawâd Tuhan yang menyebabkan adanya penciptaan.
5. Sifat Tuhan bukan merupakan tambahan (zaid) atas dzat-Nya. Sifat manusia dan benda-benda lainnya merupakan tambahan bagi manusia dan benda-benda tersebut. Misalnya buah apel yang memiliki dzat (esensi) merah dan manis adalah sifatnya. Merah dan manis ini berada di luar dzat apel. Apel dapat memiliki sifat lainnya, seperti hijau dan kecut, dan dzatnya tetap.
Pembahasan kesatuan antara sifat dan dzat Tuhan merupakan sebuah pembahasan teologi jeluk dan pelik yang dapat dikaji dan ditelaah pada ilmu Teologi (Kalam) dalam pembahasan tauhid sifat. Apa yang penting bagi kita di sini adalah sifat fayyâdh – yang merupakan sebab tujuan (illat ghai) penciptaan – adalah dzat Tuhan itu sendiri dan tidak berada di luar dzat-Nya. Oleh karena itu apabila ditanyakan ihwal mengapa Tuhan mencipta? Kita akan berkata karena Tuhan. Dengan demikian sebab tujuan (illat ghai) sejatinya adalah Tuhan itu sendiri. Ucapan ini adalah senada dengan ucapan para filosof kita yang berkata: Sebab tujuan (illat ghai) dan sebab pelaku (illat fa’ili) dalam perbuatan-perbuatan Tuhan adalah satu.[1] Dan boleh jadi makna sebagian ayat-ayat al-Qur’an adalah serupa dengan pernyataan ini.[2] Dan juga “kepada-Nya segala sesuatu kembali.” (Qs. Al-Hud [11]:123) Dan seluruh perbuatan kembali kepada-Nya. Adalah ayat-ayat yang dapat dijadikan sebagai sandaran terkait poin ini.
B. Tujuan Tuhan Mencipta Manusia
Apa yang telah disebutkan di atas adalah tujuan pelaku dalam penciptaan. Namun tujuan pelaku dalam menciptakan sebuah eksisten tertentu seperti manusia memerlukan satu poin khusus. Poin khusus terkait dengan manusia ini adalah kesempurnaan khusus yang dihendaki Tuhan dalam menciptakan manusia.
Penjelasan: Keniscayaan kesempurnaan sifat fayyâdh Ilahi adalah menciptakan segala kesempurnaan yang mungkin dicapai oleh manusia. Dia sebelum menciptakan manusia terdapat maujud lain yang bernama malaikat yang semenjak awal telah memiliki segala kesempurnaan yang mungkin bagi dirinya. Artinya bahwa malaikat memiliki seluruh kesempurnaannya secara aktual. Oleh karena itu mereka sekali-kali tidak pernah meraup kesempurnaan baru dan tingkatan wujudnya tidak akan pernah menyempurna. Tuhan melalui lisan para malaikat berfirman: “Tiada seorang pun di antara kami (malaikat) melainkan mempunyai kedudukan yang tertentu. Dan sesungguhnya Kami benar-benar berbaris (dalam menunaikan perintah Allah). . Dan sesungguhnya kami benar-benar bertasbih (kepada Allah)." (Qs. Shaffat [34]:164-166)
Imam ‘Ali As bersabda: “Di antara mereka ada yang bekerja sebagai pembawa risalah-Nya yang terpercaya, yang merupakan lisan-lisan bercengkerama untuk para nabi-Nya, dan mereka ini yang membawa ke sana ke mari titah dan perintah-Nya. Di antara mereka ada para pelindung makhluk-makhluk-Nya dan pengawal pintu surga. Di antara mereka ada yang langkah-langkahnya tetap di bumi tetapi lehernya menjulang ke langit, anggota badan mereka keluar dari segala sisi, bahu mereka sesuai dengan tiang-tiang 'Arsy Ilahi, mata mereka tertunduk di hadapannya, mereka membentangkan sayap-sayapnya dan mereka membuat di antara sesama mereka dan semua yang selainnya tirai kehormatan dan layar kekuasaan. Mereka tidak memikirkan Pencipta mereka melalui khayalan, tidak memberikan kepada-Nya sifat-sifat makhluk, tidak membataskan-Nya dalam suatu tempat kediaman dan tidak menunjuk kepada-Nya melalui gambaran."[3]
Mereka beribadah kepada Tuhan dan hal ini merupakan kesempurnaan yang diberikan Tuhan kepada para malaikat. Mereka tidak mungkin membangkang dan menentang. Allah Swt berfirman: “Mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya." (Qs. Al-Anbiya [21]:27) dan juga berfirman: "Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka, dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (Qs. Al-Tahrim [66]:6)
Tuhan karena memiliki sifat fayyâdh menghendaki, selain kesempurnaan yang dimiliki oleh para malaikat, juga menciptakan kesempurnaan yang lebih unggul dan kesempurnaan tersebut berada dalam pilihan dan kebebasan manusia. Artinya Tuhan menciptakan maujud yang dengan kebebasan dan pilihannya sendiri meraup segala kesempurnaan ini. Dengan demikian, Tuhan menciptakan manusia yang semenjak awal tidak memiliki segala kesempurnaan yang layak bagi dirinya. Namun ia dapat memperoleh seluruh kesempurnaan tersebut pada dirinya. Jelas bahwa kesempurnaan yang diraup dan diperoleh oleh manusia dengan usaha, kebebasan dan pilihannya sendiri lebih unggul dan superior dari kesempurnaan pemberian yang dimiliki oleh para malaikat.
Amirul Mukminin As bersabda: “Allah Swt menciptakan malaikat dari akal dan tidak menempatkan syahwat di dalamnya. Dan menciptakan hewan dari syahwat dan tidak menempatkan akal di dalamnya. Oleh karena itu barangsiapa yang akalnya lebih mendominasi daripada syahwatnya maka ia lebih unggul dan mulia daripada malaikat. Dan barangsiapa syahwatnya lebih mendominasi daripada akalnya maka ia lebih rendah dari hewan.[4]
Rumi menyebutkan poin ini dalam Matsnawinya:
Dinukil dari hadis bahwa Pencipta mulia
Menciptakan semesta dengan tiga golongan makhluk
Kelompok pertama dicipta dari akal, ilmu dan sifat gemar memberi
Mereka adalah para malaikat dan hanya mengenal sujud
Dalam dirinya tidak bersemayam rakus dan hawa nafsu
Mereka adalah cahaya mutlak bersumber dari cinta Tuhan
Kelompok kedua dicipta dari minus pengetahuan
Bak hewan gemuk yang memakan rerumputan
Ia tidak melihat sesuatu kecuali kandang dan rerumputan
Tidak mengecap kekejian dan kemuliaan
Kelompok ketiga adalah Bani Adam dan manusia
Bukan malaikat dan juga bukan keledai
Setengah keledainya condong kepada yang rendah
Paruhan lainnya condong kepada yang tinggi
Siapa yang menjadi juara dalam pertempuran ini
Orang harus melihat paruhan mana yang menang; mana yang menaklukkan
Dengan demikian tujuan pelaku dan sebab tujuan (illat ghai) dalam penciptaan manusia juga adalah sifat fayyâdh Tuhan. Keniscayaan sifat ini adalah Tuhan menciptakan jenis kesempurnaan kontingen (mumkin) ini sebuah kesempurnaan yang terunggul dari seluruh kesempurnaan alam kontingen.
C. Mengapa Tuhan tidak Menciptakan Manusia secara Sempurna
Dengan memperhatikan matlab yang disebutkan di atas dapat dikatakan bahwa tujuan penciptaan manusia dapat terrealisir tatkala manusia memiliki kapabilitas (qabiliyyat) untuk sampai pada kesempurnaan dan meraup kesempurnaan ini dengan usaha dan kebebasannya sendiri. Sementara sekiranya ia memiliki kesempurnaan ini semenjak awal maka tentu saja kesempurnaan ini tidak tergolong sebagai kesempurnaan yang diusahakan dan dipilihnya sendiri. Dan dengan demikian dia tidak akan mencapai tujuan utama penciptaannya.
D. Manusia kafir dan pendosa
Apabila manusia tidak mendaki kesempurnaan walau satu anak tangga dan seluruh kehidupannya penuh dengan dosa dan kekufuran maka ia sesungguhnya tetap tidak keluar dari tujuan penciptaan-Nya. Karena ia sejatinya mengaktualkan segala potensi yang dimilikinya. Manusia memiliki potensi untuk terjungkal dan terpuruk menembus batas sedimenter menjadi makhluk yang paling buruk. Sedemikian Tuhan menciptanya sehingga ia dapat memilih jalan kesempurnaan atau kecelakaan. Oleh itu, bahkan manusia pendosa dan kafir tidak bergerak menyelisih kehendak takwini Tuhan. Benar, Tuhan senang terhadap kenaikan manusia kepada tingkatan kesempurnaan dan benci terhadap keterpurukan manusia ke lembah kesesatan. Dengan kata lain, Allah Swt dalam penciptaan manusia memiliki sebuah kehendak takwini dan kehendak tasyri'i. Kehendak takwini-Nya adalah setiap manusia mengaktualkan segala potensi yang dimilikinya, baik atau buruk. Kehendak tasyri'i-Nya manusia mengaktualkan segala potensinya hanya untuk meniti jalan kesempurnaan.
Dengan paparan ini dapat dikatakan bahwa manusia mukmin memperoleh tujuan takwini-nya juga berada pada titian jalan untuk meraup tujuan tasyri'i-nya. Akan tetapi manusia pendosa dan kafir kendati mereka tidak memperoleh tujuan tasyri'i-nya namun mereka tetap berada pada lintasan tujuan takwini-nya.[]
Catatan:
Mengingat pentingnya pembahasan ini dan adanya banyak dalil-dalil referensial (naqli) terkait pembahasan ini maka diperlukan ruang dan wilayah riset dan telaah yang lebih luas untuk kelanjutan pembahasan ini.
[1]. Allamah Thaba-thabai, Tafsir al-Mizân, jil. 8, hal. 44; Misbah Yazdi, Ma'ârif Qur'ân, jil. 1, hal. 154.
[2]. Qs. Al-Baqarah (2):210; Qs. Ali Imran (3):109; Qs. Al-Anfal (8):44; Qs. Al-Hajj (22):76; Qs. Al-Fatir (35):4; Qs. Al-Hadid (57):5.
[3]. Nahjul Balâgha, khutbah pertama.
[4].Syaikh Hurr al-Amili, Wasâil al-Syiah, jil.11, hal. 164.