Please Wait
41506
Masalah tauhid merupakan salah satu masalah yang dalam dan luas dalam konsep keagamaan dan al-Qur'an. Karena itu, masalah tauhid terbagi menjadi beberapa jenis dan tingkatan. Terkait dengan pembahasan tauhid dalam al-Qur'an, hal itu disebutkan secara rinci dan jelas pada surah-surah dan ayat-ayat al-Qur'an. Metode dan pola al-Qur'an dalam menjelaskan konsep-konsep ini adalah suatu hal yang asasi. Dewasa ini, metode ini disebut sebagai metode tafsir tematis al-Qur'an.
Dalam ajaran-ajaran agama, setiap membahas persoalan tauhid maka yang menjadi pokok pembicaraan adalah pembahasan dzat Ilahi, dengan segala sifat-sifat dan tingkatannya. Dengan demikian, setiap disebutkan lafaz jallalah (Allah Swt), maka hal itu mengindikasikan pada masalah tauhid dan indikasi ini diyakini oleh para mufassir dalam penafsiran ayat 136 surah al-Baqarah. Tentu saja jelas bahwa matlab ini tidak dapat digunakan untuk petunjuk literal (dalâlat lafziah) dan sharih (tegas), melainkan terkait dengan petunjuk yang mengikat (dalâlat iltizâmi) dengan memperhatikan pelbagai indikasi eksternal (qarina khariji) dan dalil-dalil literal (lafziyah) lainnya yang dapat disimpulkan dari pelbagai ayat dan riwayat.
Benar bahwa dalam al-Qur'an terdapat sebagian surah yang merupakan surah pendek dan ringkas namun mengandung pembahasan fundamental tauhid dan ushuluddin (ajaran pokok agama). Sebagaimana yang dapat dijumpai pada surah al-Fatihah.
Terkait dengan tingkatan tauhid dan jenisnya dalam masalah ini para teolog membaginya sebagai berikut:
1. Tauhid dzat
2. Tauhid sifat
3. Tauhid perbuatan (fi'il), dimana dalam pembagian tauhid ini terdapat pembagaian lagi seperti, tauhid dalam penciptaan (khâliqiyyah), tauhid dalam pengaturan (rububiyyah), tauhid dalam keberkuasaan (hâkimiyyah), tauhid dalam ketaatan (Ithâ'a) dan penghambaan, tauhid dalam penetapan hukum (tasyri'i) dan tauhid dalam ibadah ('ubudiyyah).
Dalam menjelaskan pelbagai tujuan, konsep dan risalahnya, al-Qur'an memiliki metode dan pola yang jelas. Metode tersebut adalah sebagian ayat al-Qur'an menafsirkan sebagian ayat lainnya. Hal ini bermakna bahwa sebuah ayat disebutkan pada suatu tempat tertentu dan dengan kandungan konteks tertentu setelah itu terdapat ayat lain yang menjelaskan maksud ayat tersebut.
Dengan dasar ini ulama dan pakar tafsir dalam menafsirkan dengan jelas dan terang masalah tauhid,[1] dengan mengenal konsep-konsep, tingkatan dan bagiannya, berupaya sehingga seluruh ayat-ayat al-Qur'an dapat ditafsirkan terkait dengan masalah ini. Pola dan metode ini adalah disebut sebagai tafsir tematis al-Qur'an (tafsir maudhu'i al-Qur'an). Dengan pola ini ayat-ayat yang terkait dengan tauhid diklasifikasikan dan dikaji dalam bentuk yang sistemik dan tertata, Seluruh pembahasan yang berkenaan dengan tauhid disarikan dalam bentuk sempurna dan utuh.[2] Degan demikian, dapat dikatakan bahwa tauhid memiliki banyak ragam tingkatan dan bagian. Karena itu, untuk menemukan ragam tingkatan dan bagian tersebut dalam satu ayat (saja) merupakan sebuah pekerjaan yang sulit dilakukan. Akan tetapi yang mungkin dapat dilakukan adalah bahwa ayat-ayat yang menyebutkan nama-nama Allah Swt (asma jalâlah) dan terkait dengan iman, nama Allah Swt mengandung derajat dan tingkatan tauhid. Seperti firman Allah Swt: "Katakanlah (hai orang-orang mukmin), “Kami beriman kepada Allah dan apa yang telah diturunkan kepada kami dan apa yang telah diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya’qub dan (para nabi dari) anak cucunya, serta kepada apa yang telah diberikan kepada Musa, Isa, dan kepada nabi-nabi (lain) dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (Qs. Al-Baqarah [2]:136)
Pada ayat ini Allah Swt berfirman bahwa "Kami beriman kepada Allah" artinya adalah bahwa kami beriman kepada Allah, Wâjib al-Wujud, Esa, yang memiliki seluruh sifat kesempurnaan, suci dari segala aib dan cela, Satu-satunya yang layak disembah, dan seterusnya. Dan redaksi ayat, "Dan apa yang telah diturunkan kepada kami" mengandung seluruh perkara, Kitab Suci dan Sunnah dengan dalil ayat kelanjutannya, "Dan Allah Swt menurunkan Kitab dan Hikmah." Karena itu, yang termasuk dalam tauhid adalah iman dan apa yang terkandung dalam Kitab Suci dan Sunah Rasulullah Saw, iman kepada sifat-sifat Allah dan sifat-sifat Rasulullah Saw, iman kepada akhirat, iman kepada yang ghaib, pada masa lalu dan masa akan datang, dan iman kepada seluruh hukum, perintah dan larangan syariat.
Adapun terkait dengan frase ketiga dari ayat ini, "Dan apa yang telah diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya'kub dan (para nabi dari anak cucunya)." Dalam bagian ini, disebutkan iman kepada seluruh kitab samawi yang diturunkan kepada para nabi, iman kepada para nabi secara umum, khususnya yang ditegaskan dalam ayat ini – karena keunggulan dan keumuman risalahnya.
Karena itu, ayat ini, meski pendek dan singkat, mengandung seluruh jenis tauhid: Tauhid rubûbiyah, tauhid uluhiyyah, tauhid nama-nama dan sifat-sifat Allah, demikian juga penjelas iman kepada seluruh nabi Allah Swt dan seluruh kitab samawi.[3]
Yang harus diperhatikan adalah bahwa ayat ini menujukkan pada bagian-bagian tauhid tatkala masalah tauhid ini sebelumnya telah dibahas dan dikaji melalui jalan rasional (aqli) dan ayat-ayat lainnya serta hadis-hadis. Karena kita telah mengenal jenis tauhid dan sifat-sifat Allah Swt melalui ayat lainnya, maka kita dapat mengenal hal-hal yang termuat pada ayat 136 surah al-Baqarah di atas bahwa dzat yang memiliki sifat-sifat sedemikian (rubûbiyah, uluhiyyah dsb), terhimpun seluruhnya pada nama agung Tuhan; artinya seluruh dzat dengan seluruh disebutkan pada nama agung Tuhan (ism jallalah). Akan tetapi, hal ini tidak bermakna bahwa petunjuk literal tegas (dalâlat lafzi sharih) nama agung (Tuhan) mengandung seluruh jenis tauhid dan sifat, melainkan petunjuk (dalâlat) ini dapat dipahami dengan menyertakan pelbagai indikasi dan bukti-bukti dari tempat lain. Dengan mengikut pada pola dan metode ini, maka kita akan dapat menemukan banyak ayat yang menyinggung masalah tauhid dalam al-Qur'an.
Di antara ayat-ayat tersebut adalah firman Allah Swt, "Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara, sedang mereka berpaling dari segala tanda (kekuasaan Allah) yang terdapat padanya." (Qs. Al-Anbiya [21]:32) Kokohnya langit tanpa tiang dan sandaran merupakan petunjuk atas tauhid dan kekuasaan Allah Swt. Dan menandaskan kemahakuasaan Tuhan atas segala sesuatu."[4]
Dalam al-Qur'an, ayat-ayat yang menyinggung pada sebagian jenis tauhid seperti, " Sesungguhnya Tuhanmu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘arasy (Dia mengatur seluruh alam semesta). Dia menutupkan (tirai kegelapan) malam kepada siang; malam mengikuti siang dengan cepat, dan (Dia menciptakan pula) matahari, bulan, dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan mengatur (alam semesta) hanyalah hak Allah. Maha Berkah (dan Kekal) Allah, Tuhan semesta alam." (Qs. Al-A'raf [7]:54) Pada ayat ini redaksi "lahu al-khalq" (menciptakan dan mengatur [alam semesta] hanyalah hak Allah) menyinggung masalah tauhid dalam penciptaan (khaliqiyyah), dan redaksi "amr" (perintah) menjelaskan tauhid pada pengaturan (rububiyyah) dan penataan yang tergolong ke dalam jenis keberkuasaan (hakimiyyah) atas alam semesta.[5]
Adapun, sebagian surah-surah pendek al-Qur'an mengandung tingkatan utama dan asli tauhid seperti pada surah al-Fatihah, meski surah al-Fatihah ini termasuk sebagai surah pendek dalam al-Qur'an, namun memuat perkara-perkara khusus yang tidak disebutkan pada surah-surah lainnya. Pada surah ini, disinggung tiga jenis dan tingkatan tauhid. "Rabbul 'Alamin" adalah penjelas tauhid rubbubiyah. Tauhid uluhiyyah dan tauhid Ubudiyyah dapat disimpulkan dari redaksi ayat "Allah" dan ayat "Iyyaka na'budu ya iyyaKa nasta'in." (Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan).[6]
Tingakatan Tauhid
Adapun terkait dengan tingkatan dan derajat tauhid, ulama dan para teolog membahas masalah ini dan menjadi bahan perdebatan serta dialektika di antara mazhab popular teologi.
Di sini, pertama-tama kita akan menjelaskan sub-sub pembahasan, kemudian kita akan membahasnya satu per satu dalam bentuk yang sangat ringkas dan padat, mengingat terbatasnya ruang dan waktu.
Ulama dan para teolog mengklasifikasikan tauhid sebagai berikut:
1. Tauhid dzati.
2. Tauhid sifat
3. Tauhid pada penciptaan (khâliqiyyah)
4. Tauhid pada pengaturan (rubûbiyyah)
5. Tauhid pada keberkuasaan (hâkimiyyah)
6. Tauhid dalam ketaatan (itha'ât)
7. Tauhid dalam penetapan Hukum (tasy'ri)
8. Tauhid dalam ibadah ('ubudiyyah)
1. Tauhid Dzati
Tauhid dzati artinya Allah Swt adalah Esa dan tiada yang sama dan serupa dengan-Nya. Salah satu sifat Allah Swt yang paling nyata adalah Esa (Tunggal) dan dua baginya tidak dapat digambarkan. Hal ini dalam bahasa para teolog disebut sebagai tauhid dzati. Dengan tauhid dzati ini mereka menafikan segala sesuatu yang serupa dan semisal dengan Allah Swt. Terkadang juga yang dimaksud dengan tauhid dzati adalah bahwa Allah Swt itu adalah Esa; artinya basith (simpel) dan tidak dapat digambarkan rangkapan bagi-Nya.
Untuk dapat membedakan dua jenis tauhid dzati ini, para teolog menyebut tauhid yang pertama adalah tauhid ahadi yang menyinggung persoalan ini bahwa dua bagi Allah Swt tidak dapat digambarkan. Adapun maksud para teolog dengan tauhid dzati bagian kedua adalah bahwa Allah Swt tidak memiliki rangkapan dan wujud Tuhan itu adalah simpel (basith).
Allah Swt dalam surah al-Ikhlas (Tauhid) menyebutkan dua jenis tauhid ini. Pada bagian awal-awal surah ini, Allah Swt berfirman: "Qul Huwallahu Ahad." (Katakanlah Allah itu Esa). Inilah yang disebut sebagai tauhid dzati yang bermakna bahwa Allah Swt tidak memiliki rangkapan. Dan pada akhir surah, Allah Swt berfirman, "Wa lam yakun lahu kufuwan ahad." (Tiada satu pun yang serupa dengan-Nya); artinya bahwa tiada yang kedua bagi Allah Swt.[7]
2. Tauhid Sifat
Para teolog dalam masalah ini sepakat dan mencapai konsensus (ijma) bahwa Allah Swt memiliki seluruh sifat keindahan dan kesempurnaan; seperti, ilmu, qudrat, hayat (hidup) dan sebagainya yang merupakan sifat dzati. Namun mereka berbeda terkait dengan bagaimana Allah Swt tersifatkan dengan sifat-sifat ini. Mazhab Imamiyah (Syiah 12 Imam) meyakini bahwa sifat Allah Swt adalah identik (sama) dengan Dzat-Nya. Muktazilah berpandangan bahwa Dzat merupakan wakil (naib) dari sifat, tanpa adanya sebuah sifat pada Tuhan.[8] Akan tetapi Asy'airah berkata: Sifat kamaliyah (kesempurnaan) adalah berbeda (zâid) dengan Dzat baik dari sisi konsep (mafhum) atau pun obyek luaran (misdaq).[9]
Pembahasan ini adalah tergolong sebagai pembahasan jeluk dan menjuntai teologis yang bukan tempatnya di sini untuk membahasnya secara detil. Oleh itu, kami hanya mencukupkan dengan menukil pandangan global tiga mazhab teologis saja.
3. Tauhid dalam Penciptaan (khâliqiyyah)
Dalil-dalil dan argumen-argumen rasional mengatakan bahwa pada dunia wujud tiada satu pun pencipta selain Allah Swt. Entitas-entitas kontingen (maujudât imkan), pengaruh dan aktifitasnya, bahkan seluruh ciptaan dan temuan manusia pada hakikatnya, tanpa hiperbol (mubalâgha), adalah ciptaan Allah Swt. Segala yang terdapat di alam semesta seluruhnya adalah makhluk-Nya, hanya saja sebagian dari makhluk tersebut dengan perantara dan sebagiannya tanpa perantara.
Hal ini adalah sesuatu yang telah ditetapkan melalui dalil-dalil dan argumen-argumen rasional (aqli) dan referensial (naqli). Di antara dalil dan argumen tersebut adalah sebagai berikut:
"Katakanlah, “Siapakah Tuhan langit dan bumi?” Jawablah, “Allah.” (Qs. Al-Ra'ad [13]:16)
"Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia-lah pemelihara segala sesuatu." (Qs. Al-Zumar [39]:62)
"(Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada tuhan selain Dia; pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; dan Dia adalah pemelihara dan pelindung segala sesuatu." (Qs. Al-An'am [6]:63)
Dalam masalah ini juga (tauhid dalam penciptaan) terdapat perbedaan pendapat di antara mazhab teologis (Imamiyah, Muktazilah, Asy'ariah). Terkait dengan hal ini, Asy'airah berbeda pendapat dengan mazhab Imamiyah dan Muktazilah.
Pandangan Asy'ariah dalam masalah tauhid dalam penciptaan:
Pada tauhid dalam penciptaan, Asy'airah meyakini bahwa penciptaan hanya terbatas pada Allah Swt; artinya dalam terealisirnya sesuatu, tiada satu pun yang berperan dan berpengaruh selain Tuhan. Selain Allah Swt, tidak berpengaruh pada penciptaan seluruh entitas dan juga bukan pencipta mereka. Tidak secara mandiri juga bukan sebagai penyiap (muid). Dengan keyakinan ini, Asya'irah mengingkari kausalitas, sebab dan akibat di antara seluruh entitas dan makhluk. Mereka menyangka bahwa pengaruh dan alam semesta secara lahir bersumber dari Allah Swt, tanpa adanya hubungan antara benda-benda material dan pengaruh-pengaruhnya. Dalam pandangan Asya'irah, api itu panas karena merupakan sunnah Ilahi yang mengadakan panas melalui wujud api. Tanpa memandang adanya hubungan antara api dan panas. Demikian juga terkait dengan hubungan antara matahari dan cahaya. Mereka meyakini bahwa sunnah Ilahi berkuasa atasnya, dengan adanya matahari dan bulan maka cahaya dan terang muncul. Tanpa memandang adanya sistem dan hukum yang berkuasa (di alam semesta) yang bernama hukum kausalitas.[10]
Sebagai tandingan pandangan Asy'ariah, Imamiyah dan Muktazilah menjelaskan masalah tauhid dalam penciptaan dengan cara yang lain. Keduanya meyakini, bahwa pembatasan penciptaan pada Allah Swt memiliki makna lain yang menafikan segala sesuatu selain Tuhan. Makna tersebut adalah makna yang sesuai dengan kedudukan Allah Swt. Hal ini di samping ditegaskan oleh akal dan sesuai dengan ayat-ayat al-Qur'an, juga dikuatkan oleh pembahasan-pembahasan ilmiah dalam dialog keseharian manusia. Hal itu adalah: "Penciptaan mandiri bersumber dari Dzat Allah Swt dan tidak bersandar pada apa pun. Penciptaan ini terbatas hanya pada Tuhan dan pada tahap ini tiada satu pun yang berserikat dengan Tuhan. Akan tetapi selain Allah Swt, bekerja dan berbuat sesuai dengan izin, titah-Nya dan berlaku sebagai tentara-tentara Allah dan menjalankan perintah Allah Swt. Perbuatan selain Tuhan terjadi berdasarkan hubungan sebab dan akibat, illah dan ma'lul seperti api dan panas.[11]
4. Tauhid dalam Pengaturan Semesta (rubûbiyah)
Tauhid dalam pengaturan semesta bermakna bahwa pengaturan seluruh urusan semesta hanya terbatas pada Allah Swt dan pengaturan (rubûbiyah) Allah bermakna pengaturan-Nya terhadap alam semesta bukan bermakna penciptaan (khâliqiyyah). Tauhid rubûbiyah adalah keyakinan bahwa baik dan buruk, pengaturan kehidupan seluruhnya berasal dari Allah Swt. Meski di alam semesta ini terdapat sebab-akibat sebagai pengaturan yang lain, akan tetapi semua ini merupakan tentara-tentara dan pesuruh-pesuruh Allah yang berkerja sesuai dengan kehendak dan keinginan-Nya.
Lawan dari tauhid rubûbiyah ini adalah syirik rubûbiyah (menyekutukan Allah Swt dalam masalah pengaturan semesta). Syirik dalam masalah pengaturan bermakna bahwa manusia membayangkan bahwa di alam semesta terdapat makhluk-makhluk yang meski merupakan makhluk Allah Swt, akan tetapi Allah Swt menyerahkan (seluruh) pengaturan urusan dan alur kehidupan manusia baik secara takwini (penciptaan) dan secara tasyri'i (hukum) kepada mereka dan setelah penciptaan Allah Swt menarik diri dan urusan alam semesta didelegasikan kepadanya.[12]
5. Tauhid dalam Keberkuasaan (hâkimiyyah)
Hal ini bermakna pembatasan kekuasaan pada Allah Swt. Tauhid dalam keberkuasaan bersumber dari tauhid rubûbiyah. Artinya Rabb (Allah Swt) adalah pemilik dan penguasa marbub (orang-orang yang dipelihara, makhluk). Dengan kata lain, Rabb adalah Pencipta dan Pengada seluruh makhluk dan entitas dari ketiadaan. Dia memiliki hak untuk menggunakan dan menguasai seluruh jiwa dan harta mereka. Dan juga hak untuk mengadakan pembatasan (bagi mereka) dalam menggunakan segala kekuasaan-Nya. Dan telah dibuktikan (pada pembahasan terpisah) bahwa menggunakan harta dan jiwa membutuhkan wilayah (otoritas) atas yang dikuasai dan apabila wilayah ini tidak ada maka penggunaan tersebut adalah penggunaan ilegal.
Mengingat seluruh makhluk dan entitas adalah sederajat di hadapan Allah Swt, seluruhnya adalah makhluk dan membutuhkan, mereka pula bukanlah pemilik bahkan atas wujud, perbuatan dan pikirannya sendiri. Oleh karena itu, tiada seorang pun yang memiliki otoritas (wilayah) secara esensial dan hakiki atas orang lain. Sejatinya, otoritas (wilayah) hanya untuk Allah Swt yang merupakan Penguasa hakiki manusia dan alam semesta yang telah menganugerahkan wujud dan hidup kepadanya. Hal ini dapat dijumpai dalam al-Qur'an sebagaimana Allah Swt sendiri berfirman: "Di sana itu, wilayah (otoritas dan kekuasaan) hanyalah kepunyaan Allah Yang Hak. Dia adalah sebaik-baik pemilik pahala dan akibat (untuk orang-orang yang menaati-Nya)." (Qs. Al-Kahf [18]:44) Karena itu, keberkuasaan hanya terkhusus dan terbatas hanya untuk Allah Swt dan merupakan salah satu tingkatan tauhid. Jenis tauhid ini dapat dijumpai pada banyak ayat secara lahir yang menunjukkan pada tauhid dalam keberkuasaan: "Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang hak (dari yang batil) dan Dia-lah sebaik-baik pemisah (antara yang hak dan yang batil).” (Qs. Al-An'am [6]:57); "Kemudian mereka (para hamba) dikembalikan kepada Allah, Penguasa mereka yang sebenarnya. Ketahuilah bahwa segala hukum (pada hari itu) adalah kepunyaan-Nya." (Qs. Al-An'am [6]:62)[13]
6. Tauhid dalam Penetapan Hukum (tasyri')
Tauhid dalam penetapan hukum (syariat) bermakna bahwa hak untuk menetapkan hukum dan syariat itu hanya berada di tangan Allah Swt. Dan tiada seorang pun yang dapat menetapkan hukum tanpa merujuk pada al-Qur'an dan Sunnah.
7. Tauhid dalam Ketaatan (ithâ'a)
Tauhid dalam ketaaatan bermakna bahwa hak ketaatan dan penghambaan hanya berada di tangan Tuhan. Artinya hak ketaatan berasal dari tingkatan tauhid rubûbiyah. Allah Swt karena merupakan Pemilik manusia, Pengatur alam semesta dan Penata jalan dan alur kehidupannya, maka hak baginya untuk ditaati dan disembah, sebagaimana hak keberkuasaan ada pada-Nya.
Oleh sebab itu, di alam semesta tiada Mutha' (yang ditaati) secara esensial selain Allah Swt atau orang yang diwajibkan oleh Allah untuk ditaati (seperti para nabi dan imam).
Dengan kata lain, lantaran hanya Allah Swt yang merupakan Pemilik wujud manusia dan Tuhan bagi manusia, karena itu ketaatan dan penghambaan hanya terkhusus untuk-Nya. Yang dimaksud dengan ketaatan adalah bahwa manusia dengan wujudnya dan segala nikmat yang didapatkan dari Allah Swt harus digunakan untuk meraih keridhaan Allah Swt. Dan membangkang dari ketaatan ini adalah tanda permusuhan dan aniaya terhadap Tuhan dimana akal menghukumi hal tersebut sebagai perbuatan tercela.[14]
8. Tauhid dalam Ibadah
Tauhid dalam ibadah bermakna bahwa tiada satu pun yang patut disembah selain Allah Swt. Hal ini merupakan salah satu masalah yang disepakati secara umum oleh kaum Muslimin. Allah Swt berkenaan dengan hal ini berfirman: "Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah tagut itu.” (Qs. Al-Nahl [16]:36)[]
[1]. Dan selain konsep ini, seperti konsep keadilan, pemerintahan, hari Kiamat, dan sebagianya.
[2]. Silahkan lihat, Mansyûr-e Jâwid Qur'ân, Ja'far Subhani, jil. 1.
[3]. Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalâm al-Mannân, 'Abdurrahman Nashir al-Sa'di, hal. 70-71.
[4]. Ahkam al-Qur'an, Jassas, jil. 1, hal. 33.
[5]. Ja'far Subhani, al-Ilahiyyat, jil. 1, hal. 409.
[6]. Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalâm al-Mannân, 'Abdurrahman Nashir al-Sa'di, hal. 37.
[7]. Al-Ilahiyyat, jil. 1, hal. 355.
[8]. Maqalat al-Islamin, jil. 1, hal. 225; Silahkan lihat, Ja'far Subhani, Muhadharat fi al-Milal wa al-Nihal, jil. 2, pasal 6.
[9]. Asy'ari, al-Lam'a, hal. 30.
[10]. Hal ini merupakan ringkasan pandangan Asy'ari, untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, al-Milal wa al-Nihal, jil. 2.
[11]. Terkait dengan pendapat ini memerlukan penjelasan jeluk, kami persilahkan Anda untuk merujuk pada kitab yang khusus membahas masalah ini.
[12]. Al-Ilahiyyat, jil. 1, hal. 403-415.
[13]. Ibid, hal. 417-421.
[14]. Ibid, hal. 425-428.