Please Wait
10359
Agama-agama samawi khususnya Islam menaruh perhatian khusus terhadap masalah dialog dan bertukar pikiran; karena tujuan agama adalah untuk memberikan petunjuk kepada manusia menuju jalan lurus, jalan kebahagiaan dan kesempurnaan. Tujuan ini tidak akan tercapai kecuali dengan berinteraksi, berdialog, bertukar pikiran dan gagasan dengan menggunakan logika yang sehat dan argumen-argumen yang jelas.
Dengan merujuk pada al-Qur’an, kita saksikan bahwa al-Qur’an memiliki banyak contoh terkait dengan masalah debat dan dialog dalam ragam persoalan. Di antaranya adalah dialog dengan setan, orang-orang musyrik, para penentang, para penguasa tiran, pemimpin-pemimpin zalim.
Hal ini juga dapat disaksikan pada kehidupan dan sirah para nabi khususnya Nabi Muhammad Saw dan para Imam Maksum As yang dihiasi dengan dialog dan debat dengan mengedepankan cara-cara yang benar dan logika disertai dengan selaksa dalil dan argumentasi. Dawuh Ilahi “Ajaklah manusia kepada Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik dan berdialoglah dengan mereka dengan cara yang lebih baik” merupakan sebaik-baik model yang dapat dijadikan pegangan dalam setiap dialog dan perdebatan.
Kehidupan Nabi Saw dan para Imam Maksum As sama sekali tidak pernah sepi dari dialog dan perdebatan. Ulama dan cendikawan banyak menulis tentang perdebatan Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As dengan para penentang dan seluruh perdebatan itu terekam dalam kitab-kitab mereka.
Jelas bahwa pelbagai hasil positif dan konklusi konstruktif yang dapat dicapai dalam perdebatan dan pertukaran pikiran. Hasil dan konklusi ini bermanfaat bagi masyarakat khususnya kaum Muslimin:
- Dialog menjadi cikal-bakal tersebarnya hidayah dan terpuaskannya orang-orang yang menentang. Sebagai hasilnya dapat mencegah kezaliman dan pertumpahan darah dengan cara yang terbaik dan sangat mudah.
- Dialog akan membuahkan kekuatan dan kemampuan berpikir. Dengan kata lain, dialog menghasilkan bimbingan dan petunjuk serta mengindikasikan akan keunggulan Islam atas agama-agama lainnya.
- Banyak manfaat sosial yang dapat diraih dan memanfaatkan pelbagai potensi yang secara maksimal dengan bekerja sama dan korporasi secara sosial. Dengan cara seperti ini, pelbagai problematika dan persoalan yang terjadi di tengah masyarakat dapat dipecahkan.
- Di antara pengaruh dan manfaat terpenting dialog dan debat adalah persatuan kaum Muslimin dan mengetahui pelbagai konspirasi dan manuver musuh yang ingin menciptakan perpecahan di tengah barisan kaum Muslimin. Namun dialog dalam beberapa kondisi memiliki hasil-hasil negatif yang tentu saja harus dihindari.
Adapun sebagian syarat-syarat yang harus diperhatikan ketika berdebat adalah sebagai berikut:
- Debat dan dialog dilakukan dalam kondisi yang tenang dan jauh dari pelbagai hiruk pikuk dan debat kusir. Kedua belah pihak yang berdebat atau berdialog harus sejajar dalam kapasitas keilmuan sehingga keseimbangan dapat tercapai untuk menjelaskan kebenaran dan realitas.
- Masalah-masalah dan topik-topik yang dibicarakan dalam dialog dan debat adalah masalah-masalah dan topik-topik mendasar dan fundamental.
- Penyandaran orang yang menjadi mitra debat, yaitu Ahlusunnah harus bersandar pada literatur-literatur dan sumber-sumber Syiah bukan para penentang Syiah. Demikian juga sebaliknya, Syiah harus menggunakan buku-buku standar Sunni.
- Di antara hal yang harus diperhatikan dalam pelbagai perdebatan adalah bahwa semata-mata adanya sebuah riwayat dalam sebuah literatur tidak dapat dijadikan sebagai dalil bahwa mazhabnya juga meyakini kandungan riwayat tersebut.
Di antara tipologi terpenting agama-agama Ilahi khususnya Islam adalah mengajak untuk bertukar pikiran dan berdialog; karena tujuan agama tidak lain kecuali untuk memberikan petunjuk kepada manusia menuju jalan lurus, jalan kebahagiaan dan kesempurnaan. Tujuan ini tidak akan tercapai kecuali melalui jalur akal, logika dan mengajak manusia kepada fitrah, “Kemudian Allah mengutus rasul-rasul-Nya dan serangkaian nabi-Nya kepada mereka mereka memenuhi fitrah tauhidnya, untuk mengingatkan kepada mereka nikmat-nikmat-Nya, untuk berhujah kepada mereka dengan tablig, untuk membukakan di hadapan mereka kebajikan-kebajikan dan kebijaksanaan yang tersembunyi.”[1] Ini yang pertama.
Yang kedua, “Tujuan, risalah al-Qur’an dan kitab-kitab samawi adalah untuk menegakkan hujjah dan argumen bagi masyarakat. Al-Qur’an sendiri dalam hal ini berkata, “Barang siapa yang mendapat petunjuk (Allah), maka sesungguhnya dia telah mendapat petunjuk untuk dirinya sendiri; dan barang siapa yang sesat, maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan tak seorang pun yang memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (Qs. Al-Isra [17]:15) dan juga firman Allah Swt yang menyatakan, “Katakanlah, “Hanya kepunyaan Allah-lah hujah yang jelas lagi kuat; maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepadamu semuanya.” (Qs. Al-An’am [6]:149)
Tentu saja hal ini berbeda dengan sikap seluruh partai politik dan aliran pemikiran yang ingin mewujudkan segala keinginan pendiri dan anggota-anggotanya, dengan berusaha menyensor dan membungkam orang-orang yang tidak sejalan dan menentang mereka. Al-Qur’an berceritera tentang mereka, “(Yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, nabi ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka. Ia menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar, menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk, dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, mendukungnya, menolongnya, dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Qs. Al-A’raf [17]:157)
Kami yakin bahwa dominasi atas rakyat melalui jalan kekerasan dan pembungkaman sama sekali tidak akan memberikan kemaslahatan bagi berlangsungnya pemerintahan selama pikiran dan gagasan rakyat diberangus. Jalan ini merupakan jalan dan metode yang dijalankan oleh para tiran dan kaum depsotik sejarah yang menggunakan pedang dan kekuasaan supaya rakyat tunduk pada mereka. Al-Qur’an berkata, “Hai kaumku, untukmulah kerajaan pada hari ini dengan berkuasa di muka bumi. Siapakah yang akan menolong kita dari azab Allah jika azab itu menimpa kita?” Fira‘un berkata, “Aku tidak mengemukakan kepadamu, melainkan apa yang aku pandang baik; dan aku tidak menunjukkan kepadamu selain jalan yang benar (yaitu perintah untuk membunuh Musa).” (Qs. Ghafir [40]:29); “Fira’un berkata, “Apakah kamu beriman kepadanya sebelum aku memberi izin kepadamu? Sesungguhnya (perbuatan) ini adalah suatu muslihat yang telah kamu rencanakan di dalam kota ini, untuk mengeluarkan penduduknya darinya; maka kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu ini); Sumpah, sesungguhnya aku akan memotong tangan dan kakimu dengan bersilang secara bertimbal balik, kemudian sungguh aku akan menyalibmu semuanya.” (Qs. Al-A’raf [7]:123-124)
Islam dan al-Qur’an mengecam dan mencela model seperti ini dan mengungkapkan cara seperti ini adalah cara-cara orang-orang yang menyombongkan diri di muka bumi, “Dan berlaku angkuhlah Fira‘un dan bala tentaranya di bumi (Mesir) tanpa alasan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka tidak akan dikembalikan kepada Kami.” (Qs. Al-Qashash [28]:39)
Karena itu kita saksikan bahwa al-Qur’an merupakan kitab dialog dan debat serta kitab yang menyeru seruan kepada hak dengan cara dan bentuk terbaik. Karena itu, layak kiranya kitab Ilahi ini dipelajari dan ditelaah secara seksama dan teliti sehingga dapat menjadi sebaik-baik sumber dan referensi agama.
Al-Qur’an mencakup masalah-masalah teologis hingga masalah jurisprudensial. Al-Qur’an – dalam kehidupan kaum Muslimin berfungsi sebagai nara-sumber untuk mengambil topik-topik ini yang mengandung pelbagai model dialog dan debat dari Rasulullah Saw dan para sahabat.[2]
Tatkala kita merujuk kepada al-Qur’an kita menjumpai banyak contoh dan obyek yang dikemukakan dalam al-Qur’an yang akan kita singgung sebagian dari hal tersebut berikut ini:
Dialog dengan Iblis
Jelas bahwa setan adalah makhluk sombong, pembangkang, hasud dan tidak mau tunduk pada perintah Allah Swt. Dalam pada itu, kita jumpai bahwa Allah Swt berdialog panjang lebar dengan setan. Buktinya dapat kita temukan pada kisah Nabi Adam As dalam al-Qur’an, “Allah berfirman, “Hai iblis, apakah yang menghalangimu sujud kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku? Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?”” (Qs. Shad [38]:75)
Terdapat banyak ayat al-Qur’an yang berbicara tentang masalah ini dan bukan tempatnya di sini untuk menyebutkan seluruh ayat tersebut.
Dialog dengan Orang-orang Musyrik
Islam menggunakan beragam jalan dan cara dalam berhadapan dengan kemusyrikan dan orang-orang musyrik. Tatkala mereka masih bodoh dan penuh was-was, ajakan kepada tauhid dan menyembah Allah Yang Mahaesa dipandang sebagai sesuatu yang aneh dan ajaib. Al-Qur’an menyinggung kenyataan ini dan menyatakan, “Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka sendiri; dan orang-orang kafir berkata, “Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta.” Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan. Dan para pemimpin mereka keluar (seraya berkata), “Pergilah kamu dan tetaplah (menyembah) tuhan-tuhanmu. Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang dikehendaki (oleh mereka untuk menyesatkanmu). Kami tidak pernah mendengar hal ini dalam agama yang lain; ini (mengesakan Allah) tidak lain hanyalah ajaran yang diada-adakan.” (Qs. Shad [38]:4-7) Dari ayat ini kita melihat bahwa seruan melalui jalan diskusi dan dialog tidak pernah mereka saksikan dari negara lain. Atas dasar itulah mereka takjub terhadap masalah ini.[3]
Setelah menjelaskan sikap dan reaksi mereka terhadap Rasulullah Saw dan seruan kepada tauhid, al-Qur’an menyeru mereka untuk berdebat dan menjelaskan dalil-dalil, “Katakanlah, “Terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu sembah selain Allah; perlihatkan kepada-Ku apakah yang telah mereka ciptakan dari bumi ini atau adakah mereka berserikat (dengan Allah) dalam (penciptaan) langit? Bawalah kepada-Ku kitab yang sebelum (Al-Qur’an) ini atau peninggalan dari pengetahuan (orang-orang dahulu yang dapat membuktikan kebenaranmu), jika kamu adalah orang-orang yang benar.” (Qs. Al-Ahqaf [46]:4); “Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan akan mengatakan, “Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan nenek moyang kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang suatu apa pun.” Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah, “Adakah kamu mempunyai suatu pengetahuan (dan dalil untuk masalah ini)? Kemukakanlah Kami. Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu hanyalah mengira-ngira.” (Qs. Al-An’am [6]:148); “Katakanlah, “Jika ada tuhan-tuhan bersama-Nya sebagaimana yang mereka katakan, niscaya tuhan-tuhan itu mencari jalan kepada Tuhan yang mempunyai ‘Arasy.” (Qs. Al-Isra [17]:42)
Bagaimanapun dengan mengkaji beberapa ayat al-Qur’an, kita jumpai bahwa sebagaimana al-Qur’an menyinggung dialog para nabinya dengan para umatnya baik kaum tiran atau kebanyakan manusia, juga menyebutkan tentang strategi yang diterapkan dalam berhadapan dengan orang-orang yang menyimpang dan mengingkari hari Kiamat (ma’ad), Ahlukitab dan para pengingkar kenabian, yang juga ditempuh melalui kanal diskusi, dialog dan debat.[4]
Masalah ini dapat dijumpai pada sirah dan perilaku Rasulullah Saw dan Ahlulbait As. Dengan merujuk pada dokumen-dokumen sejarah kita saksikan bahwa tatkala mereka berhadapan dengan seluruh strata masyarakat melalui dialog sebagai hasilnya masyarakat menerima seruan dan ucapan mereka.
Dengan merujuk pada kitab al-Ihtijâj Thabarsi kita mendapatkan pembahasan-pembahasan yang mereka sampaikan tatkala berhadapan dengan orang-orang ateis seperti Ibnu Maqfa’ dan Ibnu Abi al-‘Aujah. Model dan cara mereka dalam pelbagai pembahasan sedemikian akurat, dalam, subtil, argumentatif, logis dan tetap menjunjung tinggi moralitas Islam sehingga tidak memberikan peluang bagi para penentang, sedemikian sehingga para musuhnya mengakui kenyataan dan realitas ini.
Mufaddhal bin Umar sendiri dengan segala keagungan dan kebesarannya tidak kuasa menahan diri dalam menghadapi ucapan-ucapan Ibnu Abi al-Aujah, namun Imam Shadiq As dan para imam lainnya dalam menghadapi ucapan-ucapan Ibnu Abi al-Aujah sedemikian lembut dan toleran menunjukkan dirinya sehingga menjadi teladan bagi Ibnu Abi al-Aujah sendiri.
Muhammad bin Sinan menukil dari Mufaddhal bin Umar, “Suatu hari menjelang malam, saya duduk di Raudhah di antara pusara dan mimbar Rasulullah Saw. Saat itu saya berpikir tentang kemuliaan dan pelbagai keutamaan yang diberikan Allah Swt serta kedudukan unggul yang tidak semua orang mengetahuinya. Dalam kondisi ini, tiba-tiba Ibnu Abi al-Aujah datang dan ia duduk di suatu tempat dekat denganku. Kemudian salah seorang dari sahabatnya datang dan duduk. Ibnu Abi al-Aujah membuka pembicaraan dan berkata, “Pastilah, pemilik kuburan ini, telah sampai pada segala tingkat kesempurnaan, kemuliaan dan keagungan.” Orang yang menyertainya berkata, “Ia adalah seorang filosof yang mengklaim bahwa ia memiliki keagungan dan kedudukan yang sangat besar. Untuk membuktikan klaim ini, ia menunjukkan mukjizat yang menaklukkan akal dan menundukkan pelbagai pemahaman. Akal orang-orang tenggelam dalam samudera pemikiran untuk memahami hakikatnya yang tidak mudah untuk dicerap. Kemudian orang-orang berilmu, orang-orang fasih dan para khatib menerima seruannya. Orang lain juga berbondong-bondong masuk ke dalam agamanya. Namanya bergandengan dengan nama Allah Swt. Setiap hari lima kali dalam azan dan iqamah namanya senantiasa diseru dari tempat-tempat ibadah. Di manapun seruan dan dakwahnya sampai, di sahara, gunung, lembah, laut dan risalahnya tidak akan pernah padam.”
Ibnu Abi al-Aujah berkata, “Tinggalkan ucapan Muhammad itu dan biarkanlah karena akalku tidak dapat memahaminya dan memikirkan tentangnya akan membuatku tersesat. Ceritakanlah tentang rahasia dan asas pekerjaannya sehingga orang-orang tertarik kepadanya.” Kemudian ia berbicara tentang asal mula terciptanya segala sesuatu. Ia berkata bahwa segala sesuatu tercipta tanpa ada yang menciptakan, tiada yang mengadakannya. Penciptaan tidak memiliki pencipta dan pengatur. Ia ada dengan sendirinya tanpa pengaturan dari seorang pengatur. Demikianlah dunia dan akan tetap berlaku demikian.”
Mufaddhal berkata, “Mendengar ucapan yang tidak senonoh ini, sedemikian saya marah sehingga tali kekang terlepas dari tanganku dan berkata kepadanya, “Wahai musuh Allah! Apakah engkau berlaku syirik pada agama Tuhanmu. Apakah engkau mengingkari Tuhan yang menciptakanmu dengan sebaik-baik bentuk dan seindah-indah penciptaan dan menyampaikanmu hingga di tempat ini? Apabila engkau menengok pada lubuk hatimu yang terdalam dan engkau tidak terjatuh dalam kesalahan, terdapat argumen-argumen rububiyah dan efek ciptaan pencipta terpendam dalam dirimu dan engkau akan menemukan tanda-tanda dan dalil-dalil-Nya dengan jelas dalam dirimu.”
Ibnu Abi al-Aujah mendengar ucapan kasar Mufaddhal berkata, “Wahai kisanak! Apabila engkau adalah seorang teolog yang bercakap-cakap dengan kami, apabila kami kalah dan menemukan kebenaran pada dirimu maka kami akan mengikutimu. Namun apabila engkau bukanlah seorang teolog maka diamlah. Apabila engkau adalah salah seorang sahabat Imam Shadiq As ketauhilah bahwa beliau tidak akan berkata-kata dan berdebat seperti ini dengan kami sebagaimana yang engkau lakukan.
Beliau lebih banyak mendengar tentang berbagai hal dari kami melebihi apa yang engkau dengar dari kami. Namun sekali-kali beliau tidak pernah berkata-kata kasar dan menyerang. Beliau senantiasa bertutur kata lembut, sabar, kokoh, sarat pemikiran dan sekali-kali tidak pernah dapat ditaklukkan. Perilakunya tidak akan berubah dan tidak menyerang.
Pertama-tama beliau mendengarkan dengan baik ucapan-ucapan kami. Beliau berusaha untuk memahami dengan baik dalil-dalil yang kami ajukan. Kami mengemukakan segala apa yang menjadi pandangan kami kepadanya. Tatkala kami telah usai berbicara dan kami menyangka kami telah mengalahkannya dan telah menaklukkannya. Tiba-tiba beliau angkat suara ringan dan tidak lama berselang beliau telah mengalahkan kami. Beliau dengan mudah mematahkan dalil-dalil kami. Ia menaklukkan kami dan kami dibuat menyerah dengan dalilnya sedemikian sehingga kami tidak menemukan jawaban atas dalil-dalil yang dikemukakannya. Nah apabila engkau adalah salah seorang pengikutnya maka engkau juga harus berkata-kata dengan kami sebagaimana beliau.”[5]
Masalah ini tidak terkhusus hanya pada para nabi, para imam dan Sayidah Zahra,[6] mereka bahkan menjadi para teladan bagi para sahabat dan pengikutnya. Dalam sejarah Islam terdapat orang-orang besar yang memiliki cara dan metode khusus dalam berdialog dan berdebat dengan para penentangnya; misalnya seperti Ibnu Abbas ketika berdialog dengan Muawiyah dan para musuh Ahlulbait As lainnya,[7] Salman Parsi dengan debatnya yang cukup banyak,[8] Ummu Salamah istri Rasulullah Saw berhadapan dengan Aisyah,[9] Hisyam bin Hakam dan debatnya yang terkenal dalam berhadapan dengan pemimpin Muktazilah, Amru bin Ubaid,[10] dan puluhan orang lainnya yang tidak dapat dimuat seluruhnya pada kesempatan ini.
Masalah ini sedemikian luas sehingga banyak buku yang telah disusun dalam hal ini, misalnya Ihtijâj Thabarsi dan buku-buku debat ilmiah antara Syiah dan Sunni karya Sayid Ali Husaini Qummi, buku al-Murâja’at karya Sayid Syarafuddin (Dialog Sunni-Syiah yang berisikan korespondensi antara Sayid Syarafuddin al-Musawi dan Syaikh Salim Bisyri, Imam al-Azhar Mesir) dan lain sebagainya.
Dengan penjelasan dan contoh-contoh yang disebutkan di atas maka menjadi jelas bahwa metode dialog dan debat bukanlah sebuah pendekatan yang baru, melainkan sebuah metode al-Qur’an dan Syiah dengan meneladani para imam mereka telah menjadikan metode ini sebagai metode mereka semenjak awal kedatangan Islam yang tetap berlanjut hingga kini. Kkhususnya dalam berhadapan dengan saudara-saudara Ahlusunnah.
Namun adanya perhatian terhadap masalah debat dan dialog ini tidak bermakna bahwa dialog dan debat senantiasa diperlukan di setiap zaman. Dengan memperhatikan pada ayat-ayat al-Qur’an kita temunkan bahwa metode ini pada sebagian hal tidak dianjurkan. Misalnya tatkala orang yang menjadi mitra dialog atau debat kita adalah seorang jahil dan bodoh, penentang dan pembangkang serta tidak dalam tataran tengah mencari kebenaran. Tujuannya tidak lain sekedar ingin membuang-buang waktu. Allah Swt dalam hal ini berfirman, “Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu ialah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka (dengan mengucapkan ucapan yang tidak senonoh), mereka mengucapkan salam (dan berlalu dengan tidak menghiraukan mereka).” (Qs. Al-Furqan [25]:63); “Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling darinya dan berkata, “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, salam atas dirimu (salam perpisahan), kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil.” (Qs. Al-Qashash [28]:55); “Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna.” (Qs. Al-Mukminun [23]:3) Al-Qur’an pada tempat lainnya menyatakan, “Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan seluruh ayat (bukti) kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah diberi al-Kitab (Taurat dan Injil) itu, mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamu pun tidak (berhak) mengikuti kiblat mereka, dan sebagian mereka pun tidak akan mengikuti kiblat sebagian yang lain. Dan jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zalim.” (Qs. Al-Baqarah [2]:145)
Pengaruh dan Hasil Dialog
Termasuk hal yang pasti dan jelas bahwa dialog dan diskusi memiliki hasil positif dan konstruktif yang outputnya kembali kepada umat manusia. Di antara hasil positif dan konstruktif dialog dan debat adalah sebagai berikut:
- Dialog menjadi cikal-bakal tersebarnya hidayah dan sampainya kita pada maksud tanpa harus berkonfrontasi dan angkat senjata yang dapat menumpahkan darah manusia.
- Dialog akan membuahkan kekuatan dan kemampuan berpikir. Dengan kata lain, dialog menghasilkan bimbingan dan petunjuk serta mengindikasikan akan keunggulan Islam atas agama-agama lainnya.
- Terealisirnya korporasi sosial dan pemanfaatan seluruh potensi yang ada melaluii kerja sama di antara anggota masyarakat yang akan membantu mereka memecahkan pelbagai problematika dan persoalan yang terjadi di tengah masyarakat.
- Menghasilkan kemantapan hati terhadap masalah yang didialogkan dan memberikan kemampuan untuk menganalisa dan mengaji lebih dalam masalah-masalah yang ada.
- Di antara pengaruh dan manfaat terpenting dialog dan debat adalah persatuan kaum Muslimin dan mengetahui pelbagai konspirasi dan manuver musuh yang ingin menciptakan perpecahan di tengah barisan kaum Muslimin. Namun terkadang dialog dalam beberapa kondisi tertentu memiliki hasil-hasil negatif misalnya perpecahan yang tentu saja harus dihindari.[11]
Syarat-syarat Dialog dan Debat
Sebagai akhir pembahasan, kami akan menyebutkan beberapa syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam berdialog dan berdebat:
- Debat dan dialog dilakukan dalam kondisi yang tenang dan jauh dari pelbagai hiruk pikuk dan debat kusir. Kedua belah pihak yang berdebat atau berdialog harus sejajar dalam kapasitas keilmuan sehingga keseimbangan dapat tercapai untuk menjelaskan kebenaran dan realitas.
- Dialog dan debat dilaksanakan dalam sebuah atmosfer yang jauh dari hiruk pikuk dan keikutsertaan orang-orang penentang dan musuh-musuh Islam.
- Masalah-masalah dan topik-topik yang dibicarakan dalam dialog dan debat adalah masalah-masalah dan topik-topik mendasar dan fundamental. Yang harus diperhatikan di sini bahwa hal yang harus dikemukakan adalah masalah ilmiah dan bersandar pada argumentasi. Setelah itu dan setelah menyepakati pada masalah-masalah pokok dan asli, kemudian dapat beralih pada masalah-masalah sekunder.
- Baiknya tidak mengemukakan masalah-masalah lateral; seperti pandangan dan fatwa seseorang, atau pandangan seseorang. Demikian juga menghindar untuk tidak mengemukakan masalah-masalah ikhitlaf dan pandangan-pandangan ganjil (syadz).
- Tidak melakukan pemotongan atau penyimpangan sebagain nash dan segala yang dapat menjauhkan debat untuk sampai pada kebenaran.
- Di antara hal penting dalam dialog dan debat adalah bahwa mitra debat kita menerima kita sebagai pihak yang mewakili Syiah dalam debat dan pandangan yang disampaikan adalah pandangan lugas dan apa adanya tanpa taqiyyah. Namun sayang terkadang kita saksikan sebagian kelompok aliran pemikiran yang menentang Syiah, sekiranya mereka menang, mereka memandang kemenangan ini sebagai kemenangan atas Syiah. Namun apabila Syiah yang mencetak kemenangan, mereka tidak akan menerimanya dan berkata Anda melakukan taqiyah. Dan Anda berdikusi dengan melakukan taqiyyah. Hal ini tidak akan dapat menyingkap tirai kebenaran. Metode ini sebenarnya akan menutup jalan debat melawan Syiah. Dalam dua kondisi ini mereka memperkenalkan Syiah sebagai pihak yang kalah dalam debat. Karena itu debat semacam ini tidak akan membuahkan hasil.
- Mitra debat Syiah harus menjelaskan secara lugas identitas pemikiran dan mazhab fikihnya. Misalnya ia harus mengumumkan bahwa ia merupakan salah satu pengikut empat mazhab (Maliki, Hanafi, Syafi’i, Hanbali). Di samping itu, ia juga harus mengumumkan bahwa ia adalah pengikut mazhab teologi misalnya Asy’ari, Muktazilah dan lain sebagainya sehingga wakil Syiah dapat mengetahui dengan siapa ia berdebat.
- Penyandaran orang yang menjadi mitra debat, yaitu Ahlusunnah harus bersandar pada literatur-literatur dan sumber-sumber Syiah bukan sumber-sumber yang ditulis oleh para penentang Syiah. Model debat yang benar adalah bahwa mitra debat harus bersandar pada literatur Syiah sendiri. Demikian juga, wakil Syiah harus menggunakan buku-buku standar yang diterima oleh Sunni.
- Di antara hal yang harus diperhatikan dalam pelbagai perdebatan adalah bahwa semata-mata adanya sebuah riwayat dalam sebuah literatur tidak dapat dijadikan sebagai dalil bahwa mazhabnya meyakini kandungan riwayat tersebut. Misalnya riwayat-riwayat yang bercerita tentang tahrif (distorsi) al-Qur’an. Riwayat-riwayat ini di samping terdapat pada literatur-literatur Syiah juga pada literatur-literatur Sunni. Namun para peniliti Sunni dan Syiah tidak menerima riwayat-riwayat tersebut dan tidak meyakini kandungan-kandungannya. Karena itu kedua pihak yang berdebat, harus bersandar pada ucapan para peneliti bukan semata-mata pada riwayat.
Sembilan poin yang disebutkan di atas adalah hal-hal yang dipandang urgen dan penting yang harus diperhatikan dalam dialog dan debat. Tentu saja masih banyak lagi poin yang harus diperhatikan dan bukan tempatnya di sini untuk mengemukakan hal itu semua. [iQuest]
[1]. Nahj al-Balâghah, Khutbah 1.
[2]. Sayid Muhammad Husain Fadhlullah, al-Hiwâr fi al-Qur’ân, hal. 10, Qum, Maktabat al-Syahid al-Shadr, Cetakan Pertama, 1399 H.
[3]. Al-Hiwâr fî al-Qur’ân, hal. 69.
[4]. Silahkan lihat, Asâlib al-Qur’ân al-Karim fi al-Rad ‘ala al-Hamalât al-I’lâmiyah, Na’im Rizq al-Dardasawi, Yordan, Dar al-Furqan, Cetakan Pertama, 1420 H.
[5]. Tauhid al-Mufaddhal, hal. 40-42, Qum, Intisyarat-e Maktabat al-Dawari, 1969 M; Bihar al-Anwar, jil. 3, hal. 58, Beirut, Muassasah al-Wafa, 1404 H.
[6]. Silahkan lihat, Bihâr al-Anwâr, jil. 29, hal. 216, sebuah pasal yang menyebutkan Khutbah Hadhrat Zahra tentang tanah Fadak.
[7] .Ali Qarni Gulpaigani, Minhâj al-Wilâyah, hal. 129-138, menukil dari Rawesy Munâzharah, Muhammad Ja’far Husaniyan.
[8]. Silahkan lihat, Thabarsi, al-Ihtijâj, jil. 1, hal. 11-111.
[9]. Ibid, hal. 166.
[10]. Ja’far Subhani, al-Madzhâhib al-Islâmiyah, hal. 101, Muassasah Imam Shadiq As menukil dari Amali Murtadha, jil. 1, hal. 176-177.
[11]. Rawesy Munâzharah, Muhammad Ja’far Husaniyan.