Please Wait
Hits
24404
24404
Tanggal Dimuat:
2016/07/04
Ringkasan Pertanyaan
Hal-hal apa saja yang menyebabkan sebagian hadis tergolong menjadi hadis yang lemah?
Pertanyaan
Tolong Anda jelaskan apakah yang menyebabkan sebuah hadis menjadi lemah!
Jawaban Global
Sebagian hal-hal yang menyebabkan hadis menjadi lemah adalah: 1. lemahnya sanad atau tidak adanya sanad. 2. Terputusnya rantai sanad 3. Bertentangan dengan al-Quran 4. Bertentangan dengan akal 5. Bertentangan dengan riwayat-riwayat mutawatir 6. Bertentangan dengan fakta-fakta sejarah 7. Mengalami distorsi
Jawaban Detil
Kriteria-kriteria terpenting untuk menentukan riwayat-riwayat yang lemah adalah:
- Lemahnya lingkaran sanad atau tidak adanya sanad
Apabila sebagian perawi atau bahkan jika hanya salah seorang perawi yang ada pada silsilah sanad tidak kita kenal atau menurut seorang peneliti dan berdasarkan kriteria-kriteria yang telah diterima, tidak dapat dipercaya[1] maka, keseluruhan sanad tersebut pada dasarnya telah cacat dan tidak dapat dipercaya karena adanya kecacatan yang berkembang. Dengan menggunaan kaedah-kaedah yang ada pada ilmu Rijal, pengenalan nama-nama perawi yang sama dapat diselesaikan.
Dikatakan bahwa kadang-kadang nama perawi dipaparkan sedemikian sehingga dalam pandangan pertama ia tidak dapat dikenali. Dalam keadaan ini, apabila kita dapat mengenali nama perawi, baik nama asli maupun nama masyhurnya, maka kita akan dapat menentukan perawinya dan jika tidak, maka hadis itu akan menjadi hadis yang lemah. Sebagai contoh: Abu Ahmad Izadi dalam sanad sangat sedikit digunakan, padahal nama itu adalah julukan bagi Muhammad bin Abi Umair yang merupakan perawi paling terkenal dan paling dipercaya dalam Syiah.[2]
Kadang-kadang juga perawi secara sengaja menggambarkan seseorang sebagai perawi yang tidak dikenal sehingga sanad yang lemah dinilai menjadi kuat dan sebaliknya. Para ulama Dirayah dalam pembahasan tadlis (kekurangan dan kelemahan sanad hadis yang disembunyikan) telah mengisyaratkan tentang pembahasan ini dan juga menjelaskan akibat-akibat dan ahkam-ahkamnya.[3]
Dikatakan bahwa kadang-kadang nama perawi dipaparkan sedemikian sehingga dalam pandangan pertama ia tidak dapat dikenali. Dalam keadaan ini, apabila kita dapat mengenali nama perawi, baik nama asli maupun nama masyhurnya, maka kita akan dapat menentukan perawinya dan jika tidak, maka hadis itu akan menjadi hadis yang lemah. Sebagai contoh: Abu Ahmad Izadi dalam sanad sangat sedikit digunakan, padahal nama itu adalah julukan bagi Muhammad bin Abi Umair yang merupakan perawi paling terkenal dan paling dipercaya dalam Syiah.[2]
Kadang-kadang juga perawi secara sengaja menggambarkan seseorang sebagai perawi yang tidak dikenal sehingga sanad yang lemah dinilai menjadi kuat dan sebaliknya. Para ulama Dirayah dalam pembahasan tadlis (kekurangan dan kelemahan sanad hadis yang disembunyikan) telah mengisyaratkan tentang pembahasan ini dan juga menjelaskan akibat-akibat dan ahkam-ahkamnya.[3]
- Sanad yang terputus
Dalam pengetahuan tentang hadis, sanad yang terputus atau disebut dengan munqathi’ dibagi menjadi dua bagian: Am (umum) dan khash (khusus). Dalam tingkatan umum, terputusnya sanad sangat mungkin dalam bentuk yang bermacam-macam, boleh jadi pada awalnya sanad tidak ada namun pada akhirnya ada, atau boleh jadi satu atau beberapa orang secara berurutan tidak ada sanadnya. Untuk sebagian bentuk, ada nama khusunya tersendiri, namun bentuk umum yang meliputi berbagai bentuk, yang hanya meliputi hanya adanya terputusnya sanad tanpa memperhatikan bagaimana dan tempatnya dimana. Jika hal ini terjadi, semua jenis hadis dalam silsilah sanad maka akan terputus, apakah mereka disebut dengan nama-nama khusus seperti mu’allaq ataukah mereka tidak memiliki nama khusus, dan hanya disebut bahwa sanadnya telah terputus.[4]
Dikatakan bahwa sanad dapat terputus melalui dua bentuk:
Dikatakan bahwa sanad dapat terputus melalui dua bentuk:
- Perawi terhapus dari silsilah sanad. Seperti sanad: Ali bin Ibrahim dari ayahnya dari Hamad bin Isa dari Zurarah dari Imam Shdiq As dengan sanad dari seorang perawi yang terhapus, misalnya Hamad, melaporkan bahwa: Ali bin Ibrahim dari ayahnya dari Imam Shadiq As.
- Sanad dari perawi dengan nama-nama mubham (samar) seperti penyebutan rajul, ba’dhu ashab seperti sanad di atas dengan laporan: Ali bin Ibrahim dari ayahnya dari sebagian kaum Syiah dari Zurarah dari Imam Shadiq, jika dalam bentuk demikian, tidak ada bedanya antara menghapus atau menuliskan perawi (Hamad) karena penyebutan perawi dilakukan secara mubham (samar). Kecuali jika pemotongan sanad pada keadaan kedua secara jelas tepat namun pemberitahuan darinya dalam bentuk yang pertama hanya mungkin bagi seseorang yang memiliki pengetahuan tentang riwayat-riwayat.[5]
Kami ingatkan bahwa sebagian ahli hadis, menggunakan kata-kata seperti “iddah min ashabina” (sebagian dari Syiah kami), namun yang dimaksud adalah orang-orang tertentu. Oleh itu, hukum perawi tersebut adalah jelas, bukan samar.[6]
Dengan memperhatikan penjelasan di atas, harus dikatakan bahwa silsilah perawi jika sebuah riwayat memiliki jarak antara dua generasi atau lebih dan dalam bentuk hubungan antara guru dan murid. Setiap kali jarak silsilah menjadi luas, atau terjadi perpindahan diantara mereka, maka akan terjadi keraguan akan kebenaran dan keterkaitan silsilah suatu hadis. Keraguan ini berdasar kemungkinan adanya silsilah yang tidak diketahui penulis atau kesalahan perawi sehingga sebuah hadis dinilai menjadi hadis yang lemah.[7]
Dengan memperhatikan penjelasan di atas, harus dikatakan bahwa silsilah perawi jika sebuah riwayat memiliki jarak antara dua generasi atau lebih dan dalam bentuk hubungan antara guru dan murid. Setiap kali jarak silsilah menjadi luas, atau terjadi perpindahan diantara mereka, maka akan terjadi keraguan akan kebenaran dan keterkaitan silsilah suatu hadis. Keraguan ini berdasar kemungkinan adanya silsilah yang tidak diketahui penulis atau kesalahan perawi sehingga sebuah hadis dinilai menjadi hadis yang lemah.[7]
- Bertentangan dengan al-Quran
Salah satu cara untuk mengetahui kelemahan atau kekuatan kandungan teks hadis adalah ayat-ayat al-Quran. Oleh itu, apabila sebuah riwayat bertentangan dengan ajaran-ajaran al-Quran maka akan menyebabkan riwayat menjadi lemah.[8] Kaedah ini telah dijelaskan dalam berbagai riwayat. Kadang-kadang dijelaskan bahwa jika ada hadis yang bertentangan dengan al-Quran, maka kesampingkan hadis itu dan pada waktu yang lain dengan redaksi terimalah apa-apa yang sesuai dengan al-Quran.[9] Pertanyaan penting disini adalah apakah yang dimaksud dengan bertentangan dan bersesuaian? Apakah standar bentuk-bentuk pertentangan dan kesesuaian tersebut? Hal itu semua telah dibahas dalam Ushul Fiqih secara detail.[10] Disini tidak ada kesempatan untuk mendiskusikannya.
- Bertentangan dengan riwayat mutawatir
Salah satu faktor-faktor yang menjadikan hadis menjadi dhaif adalah riwayat-riwayat yang dari satu, yaitu secara teks bertentangan dengan riwayat-riwayat mutawatir. Riwayat mutawatir adalah riwayat-riwayat yang jumlah perawinya dalam setiap tabaqah dari silsilah sanad sampai pada derajat meyakinkan bahwa riwayat tersebut berasal dari maksum.[11]
- Bertentangan dengan akal
Apabila kandungan hadis bertentangan dengan akal, maka hadis tersebut tidak dapat diterima dan merupakan hadis yang dhaif.[12] Tentu saja, ada hadis yang tidak dapat dipahami oleh akal, atau dengan istilah lain, fauq aql (diatas akal), jika demikian, hadis demikian bukan termasuk hadis dalam pembahasan kita. Namun hanya riwayat-riwayat yang kandungannnya bertentangan dengan akal dan hati nurani yang perlu kita abaikan.
- Bertentangan dengan kenyataan sejarah
Apabila isi hadis bertentangan dengan kenyataan sejarah, maka hal itu merupakan bukti tak terbantahkan atas ketidakbenaran dan kelemahan suatu hadis.[13]
Allamah Thabathabai menunjukkan contoh-contoh dari riwayat-riwayat yang bertentangan sejarah, kemudian tidak lagi menggunakan hadis itu.[14]
Allamah Syusytari juga dalam kitab “Al-Akhbar al-Dahilah” menuliskan bahwa hadis yang bertentangan dengan kenyataan sejarah adalah salah satu parameter yang digunakan untuk menentukan kebenaran suatu hadis dan dengan menggunakan dasar kenyataan sejarah, ia mengkritik sebagian riwayat-riwayat yang ada.[15]
Allamah Thabathabai menunjukkan contoh-contoh dari riwayat-riwayat yang bertentangan sejarah, kemudian tidak lagi menggunakan hadis itu.[14]
Allamah Syusytari juga dalam kitab “Al-Akhbar al-Dahilah” menuliskan bahwa hadis yang bertentangan dengan kenyataan sejarah adalah salah satu parameter yang digunakan untuk menentukan kebenaran suatu hadis dan dengan menggunakan dasar kenyataan sejarah, ia mengkritik sebagian riwayat-riwayat yang ada.[15]
- Tahrif
Tahrif dalam istilah ilmu hadis bermakna perubahan sanad atau teks untuk tujuan yang tidak benar.[16] Tahrif lebih banyak berkaitan dengan teks, bukan sanad. Tahris teks kadang-kadang dengan perubahan bentuk dan perubahan huruf dan kadang-kadang dengan penambahan atau pengurangan satu atau beberapa kata. Dalam tahrif, jumlah tidakklah penting. Yang penting bagi seorang yang ingin merubah teks adalah sampainya keinginan mereka yang kadang-kadang diperoleh dengan cara menambah atau mengurangi kalimat dengan mengubahnya sesuai dengan keinginan hatinya dan kadang-kadang dengan mengganti penempatannya dan kadang-kadang dengan mengubah satu atau dua huruf.
Pentahrif sanad hadis juga dilakukan dengan menambah satu sifat kepada seorang rawi atau mengubah nama ayah atau kakek perawi hadis sesuai dengan keinginan hatinya.[17] Tahrif dalam sanad sebagian besar dimaksudkan untuk mengubah kevalidan suatu hadis. Kadang-kadang pentahrif demi memvalidkan hadis tertentu, akan menghapus nama seorang sanad dan meletakkan nama lain atau menghapus nama ayah dan kakek perawi dengan menggantinya dengan nama yang sesuai dengan keinginannya sehingga orang-orang yang telah meyakini suatu hadis akan ragu-ragu. Kadang-kadang untuk menjatuhkan hadis yang muktabar, ia mengganti nama-nama yang dapat dipercaya dengan nama-nama perawi yang tidak dapat dipercaya. Pencarian dan penyelesaian permasalahan-permasalahan sanad dibahas dalam Ilmu Rijal dan Ilmu Thabaqah.[18]
Laporan secara umum ini, merupakan faktor-faktor utama untuk mengetahui kelemahan hadis. Tujuan dari penulisan ini adalah pembahasan secara umum. Oleh itu, kami tidak memasuki pembahasan secara mendetail dan hanya mencukupkan dengan menyebutkan contoh-contohnya saja. Tentu saja, sebagian dari mereka, memiliki cara-cara untuk menyelesaikan permasalahan rijal dan kelemahan-kelemahan hadis yang akan dibahas sendiri pada tempatnya. [iQuest]
Pentahrif sanad hadis juga dilakukan dengan menambah satu sifat kepada seorang rawi atau mengubah nama ayah atau kakek perawi hadis sesuai dengan keinginan hatinya.[17] Tahrif dalam sanad sebagian besar dimaksudkan untuk mengubah kevalidan suatu hadis. Kadang-kadang pentahrif demi memvalidkan hadis tertentu, akan menghapus nama seorang sanad dan meletakkan nama lain atau menghapus nama ayah dan kakek perawi dengan menggantinya dengan nama yang sesuai dengan keinginannya sehingga orang-orang yang telah meyakini suatu hadis akan ragu-ragu. Kadang-kadang untuk menjatuhkan hadis yang muktabar, ia mengganti nama-nama yang dapat dipercaya dengan nama-nama perawi yang tidak dapat dipercaya. Pencarian dan penyelesaian permasalahan-permasalahan sanad dibahas dalam Ilmu Rijal dan Ilmu Thabaqah.[18]
Laporan secara umum ini, merupakan faktor-faktor utama untuk mengetahui kelemahan hadis. Tujuan dari penulisan ini adalah pembahasan secara umum. Oleh itu, kami tidak memasuki pembahasan secara mendetail dan hanya mencukupkan dengan menyebutkan contoh-contohnya saja. Tentu saja, sebagian dari mereka, memiliki cara-cara untuk menyelesaikan permasalahan rijal dan kelemahan-kelemahan hadis yang akan dibahas sendiri pada tempatnya. [iQuest]
[1] Sebagai contoh: Apabila kita menganggap adanya perawi selain Imamiyyah, akan menyebabkan lemahnya sanad dan ilmu rijal mengatakan bahwa perawi yang bukan berawal dari Imamiyyah, maka hadis itu menjadi hadis yang sanadnya lemah.
[2] Silahkan lihat: Najasyi, Ahmad bin Ali, Fehrest Asmā Munshafi al-Syiah (Rijāl Najasyi), hal. 326, Qum, Daftar Intisyarat Islami, cet. 6, 1365 S. Terdapat pula keadaan dan hal-hal mirip lainnya seperti Abu Ja’far bagi Ahmad bin Muhammad bin Isa, Syaikh Qumiyan yang kadang-kadang tidak dikenal dan kadang-kadang keliru antara Imam Jawad As dan Imam Baqir As.
[3] Motif-motif adanya tadlis sangatlah banyak. Salah satunya adalah tidak dapat mengungkap perawi yang lemah dalam sanad. Motif lain adalah disembunyikannya silsilah sanad yang cacat yang merupakan bagian dari kecacatan sanad. Silahkan lihat: Nafisi, Syadi, Dirāyah al-Hadis, hal. 183-188, Tehran, Semat wa Danesygah, Ulum Hadis, 1386 S; Mas’udi, Abdul Hadi, Asib Syenāth Hadis, hal. 184, Qum, Intisyarat Zair, cet. 1, 1389.
[4] Asib Syenākht Hadis, hal. 149.
[5] Silahkan lihat: Ibid, hal. 149; Dirāyah al-Hadis, hal. 164.
[6] Silahkan lihat: Apakah yang dimaksud dengan Musyakhakh wa Idah min Ashbabina? Pertanyaan 49123
[7] Asib Syenāht Hadis, hal. 149-53.
[8] Silahkan lihat: “Tasykhisy wa Tamyiiz Ahadits Sahih” Pertanyaan 1937.
[9] Kulaini, Muhammad bin Ya’qub, Al-Kāfi, jil. 1, hal. 69-71, Tehran, Dar al-Kitab al-Islamiyah, cet. Ke-4, 1407 H.
[10] Silahkan lihat: Khui, Sayid Abul Qasim, Mishbāh al-Ushul, Wa’idh Husaini Behbudi, Sayyid Muhammad Surur, jil. 3. Hal. 407, Qum, Maktabah al-Dawari, 1422 H, Shadr, Sayyid Muhammad Baqir, Ta’arudh al-Adillah al-Syar’iyyah, Hasyimi, Sayid Mahmud, hal. 315, 318, 324, 349, Beirut, Darul al-Kitab al-Lubnani, 1975, Khurasani, Muhammad Kadhim, Kifāyah al-Ushul, hal. 444-445, Qum, Muasasah al-Nasyar al-Islami, 1422 H.
[11] Silahkan lihat: Kriteria-kriteria hadis mutawatir lafdzi, maknawi dan ijmali, pertanyaan 2412.
[12] Mehrizi, Mahdi, Hadis Pazuhi, jil. 1, hal. 128, Qum, Dal al-hadis, cet. 2, 1390 S.
[13] Ibid, hal 129.
[14] Thathabai, Sayid Muhammad Husain, Al-Mizān fi Tafsir al-Quran, jil. 14, hal. 379; jil. 15. Hal. 369, jil. 20, hal. 70 dan 83, Qum, Ismailiyan, cet. Ke-3, 1394.
[15] Silahkan lihat: Syusytari, Muhammad Taqi, Al-Akhbār al-Dakhilah, jil. 1, hal. 158-162, 179-195 dan 233, Tehran, Maktabah al-Shaduq.
[16] Asib Syenākht Hadis, hal. 72, juga silahkan lihat: Mamaqani, Abdullah, Miqbas al-Hidaya fi Ilmu Dirayah, jil. 1, hal. 324, Qum, Dalil Ma, cet. 1, 1428 H, Jadidi Nezad, Muhammad Ridha, Mu’jam Mushtalahāt al-Rijāl wa al-Dirayah, hal. 814, Qum, Darul Hadis, 1380 S.
[17] Asib Syenākt Hadis, hal. 73.
[18] Ibid, hal. 75.
Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar