Please Wait
8925
Interpretatifnya agama sejatinya merupakan tajuk lain atas pembahasan populer dari ragam bacaan atas agama. Pembahasan ragam bacaan atas agama – secara lebih akurat – merupakan sebuah metode ekstrem dalam pembahasan perbedaan pemahaman atas agama. Dalam pembahasan ragam bacaan atas agama, sebagaimana yang disebut demikian yang mengemuka adalah pembahasan pra-sangka-pra-sangka, harapan-harapan sebelumnya, kegemaran-kegemaran, dan selera-selera penafsir dan alim yang menyisakan pengaruh pada pemahamannya.
Dengan demikian rahasia adanya perbedaan bacaan disebabkan karena adanya perbedaan pada pelbagai pra-sangka dan pra-pengetahuan-pra-pengetahuan ulama. Artinya adanya pelbagai perbedaan bersumber dari subyektifitas berpikir setiap orang. Kita berhadapan dengan sekumpulan pemahaman yang berbeda atas agama yang tidak dapat kita nilai dan katakan yang mana yang merupakan pemahaman benar dan pemahaman keliru.
Teori kontraksi dan ekspansi yang mengemuka pada masa-masa belakangan di Iran sejatinya merupakan ulasan atas pembahasan ragam bacaan atas agama. Teori ini, memiliki ragam pemaparan dan ulasan. Dua penafsiran penting dari teori bacaan beragam atas agama berhubungan dengan dua filosof besar Barat yaitu Popper dan Gadamer. Teori konstraksi dan ekspansi konsep orisinalnya diadopsi dari Gadamer (yaitu hermeneutik filosofis).
Interpretatifnya agama dengan pelbagai ulasan – baik Popperian atau Gadamerian – sepanjang bercerita tentang perbedaan dalam memahami agama adalah sesuatu yang benar dan dapat diterima. Namun ketika terlontar klaim bahwa setiap makrifat agama dan pemahaman atas agama merupakan tawanan pra-sangka-pra-sangka sehingga dengan demikian tidak ada yang disebut sebagai pemahaman tunggal adalah sebuah pepesan kosong, menyesatkan dan salah karena orang-orang yang meyakini relativitas maktifat agama pada akhirnya berujung pada relativitas agama itu sendiri.
Pertanyaan ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama menyinggung tentang esensi teori interpretatifnya agama. Bagian kedua, terkait dengan penilaian kita terhadap benar dan kelirunya teori ini.
Bagian Pertama:
Interpretatifnya agama sejatinya merupakan tajuk lain atas pembahasan populer dari ragam bacaan atas agama. Pembahasan ini merupakan salah satu pembahasan kebudayaan yang berkembang pada masa kiwari.
Dewasa ini, pembahasan ini adalah sebuah pembahasan yang berhadap-hadapan dengan pemikiran agama dan identitas lahirnya tidak menunjukkan realitas aslinya. Meski secara lahir pembahasan ini merupakan kelanjutan pembahasan kaum intelektual (rausyanfikr) agama di negara kita namun pada hakikatnya keyakinan terhadap masalah ini hasilnya tidak lain akan membuat keropos fondasi-fondasi keyakinan beragama dan pada akhirnya membuat runtuh fondasi-fondasi tersebut.
Mengingat adanya kelalaian dalam merumuskan ideologi agama dengan bahasa moderen, setelah berlalunya tiga puluh tahun revolusi Islam, maka ruang bagi kemunculan dan perkembangan teori-teori seperti ini menjadi tersedia. Pembahasan ragam bacaan atas agama – secara lebih akurat – merupakan sebuah metode ekstrem dalam pembahasan perbedaan pemahaman atas agama.
Dalam pembahasan ragam bacaan atas agama, sebagaimana yang disebut demikian yang mengemuka adalah pembahasan pra-sangka-pra-sangka, harapan-harapan sebelumnya, kegemaran-kegemaran, dan selera-selera penafsir dan alim yang menyisakan pengaruh pada pemahamannya.
Dengan demikian rahasia adanya perbedaan bacaan karena adanya perbedaan pada pelbagai pra-sangka dan pra-pengetahuan-pra-pengetahuan ulama. Artinya adanya pelbagai perbedaan bersumber dari subyektifitas berpikir setiap ulama.
Teori ragam bacaan atas agama mengklaim tiada satu pun pemahaman yang bersifat formal dan resmi, dominan, tunggal dan benar atas agama – sehingga kita dapat berkata pahaman ini yang paling benar atas agama dan pemahaman orang lain keliru. Apa yang kita miliki adalah perbedaan kita dalam memahami agama. Kita tidak memiliki pahaman yang lebih baik dan lebih benar sebagai tandingan pemahaman yang lebih buruk dan keliru.
Kita berhadapan dengan sekumpulan pemahaman yang berbeda atas agama yang tidak dapat nilai yang mana benar dan yang mana keliru. Misalnya sebuah kubus pada ruang yang bergantung dan masing-masing orang memandang kubus ini. Perbedaan sudut pandang mengakibatkan munculnya pandangan yang berbeda atas kubus ini dan tidak satu pun dari sudut yang ada memiliki keunggulan atas yang lain.
Dalam agama terdapat pemahaman dan bacaan beragam tanpa adanya penilaian dan arbitrase di antara bacaan-bacaan dan pemahaman-pemahaman ini. Kita hanya berhadapan dengan adanya perbeadan pahaman. Boleh jadi satu bacaan atas agama bersifat lebih formal dan lebih dominan namun hal itu tidak menisayakan bahwa bacaan formal dan dominan ini bermakna benarnya bacaan tersebut.
Poin lainnya yang ditekankan oleh penyokong teori ragan bacaan atas agama adalah adanya kemungkinan bacaan dalam bentuk afirmatif universal (al-mujibah al-kulliyah). Dalam pandangan penyokong teori ini, kita tidak dapat menentukan demarkasi dan berkata bahwa bidang ini dan sisi-sisi agama merupakan hal-hal yan bersifat permanen dan common serta tidak mungkin adanya perbedaan bacaan. Mereka beranggapan bahwa masing-masing kandungan agama sangat sarat dengan perbedaan dalam bacaan-bacaannya. Dalam pandangan mereka, semenjak masalah tauhid, kenabian, hari kiamat hingga hal-hal detil fikih dan masalah-masalah moral serta setiap bagian yang memiliki corak agama adalah interpretable dan tiada satu pun pahaman yang bersifat permanen atas agama.
Akar pembahasan ini berpulang pada pembahasan-pembahasan ihwal pemahaman terhadap teks (pembahasan hermeneutik). Kebudayaan agama khususnya agama-agama Ibrahim (Kristen, Yahudi dan Islam) secara mendalam adalah teks oriented. Artinya kebudayaan agama yang berputar dan berporos pada teks-teks agama. Dalam agama Kristen, mata air kebudayaan agama adalah Injil. Sumber kebudayaan agama Yahudi adalah penafsiran-penafsiran atas Taurat dan Talmud. Sementara Islam akar kebudayaannya adalah pemahaman dan penafsiran al-Qur’an dan Sunnah.
Atas dalil ini, segala jenis lontaran teori tentang masalah pemahaman teks-teks berpengaruh pada makrifat agama. Artinya apabila kita meyakini masalah pemahaman teks-teks (secara mutlak apakah satu teks hukum atau teks sastra dan lain sebagainya) bahwa terdapat kemungkinan penafsiran-penafsiran berbeda dari teks, sedemikian sehingga tiada satu pun penafsiran yang mengungguli penafsiran lainnya, hal ini sangat berpengaruh pada pembahasan ragam bacaan atas agama dan menjadi maklum bahwa kita tidak dapat menyodorkan satu penafsiran tunggal dan monokrom atas agama. Padahal pembahasan yang mengemuka adalah pembahasan tentang pemahaman teks namun berpengaruh para pemahaman atas agama. Hal itu disebabkan oleh pemahaman agama saling berjalin berkelindan dengan pemahaman teks-teks agama.
Pembahasan bacaan beragam atas agama merupakan sebuah pembahasan yang secara perlahan mengedepan dan tatkala kita melayangkan pandangan terhadap sejarah pemikiran ini, kita tidak dapat menyebutkan ruang dan waktu tertentu kemudian menyatakan bahwa siapa orang yang pertama kali mengemukakan pembahasan ini.
Berabad lamanya orang-orang beranggapan bahwa kita mampu menentukan satu penafsiran mana yang benar dan mana yang keliru di antara pelbagai penafsiran atas satu teks. Namun pada abad keduapuluh, kemungkinan adanya bacaan beragam atas teks dan agama kemudian mengemuka meski akar pembahasan ini juga telah ada pada abad kesembilan belas. Sebagai contoh, Nietzsche, filosof Jerman, mengemukakan pembahasan “perspektif” dan meyakini bahwa pemahaman kita bersumber dari perspektif kita terhadap satu masalah. Dan tatkala perspektif setiap orang berbeda-beda maka pemahaman mereka juga akan berbeda-beda. Nietzsche tidak berkata khusus dalam masalah agama namun ia menyatakan sebuah persoalan yang dapat dicocokkan dengan pemahaman agama.
Contoh lainnya adalah Karl Marx, salah seorang teolog Protestan terkenal Jerman, meyakini, “Kita tidak boleh mengatakan apa yang dikatakan Kristen melainkan kita harus katakan apa yang dikatakan oleh orang-orang Kristen.” Artinya kita sama sekali jangan pernah sampaikan bahwa apa yang dikatakan Islam melainkan sampaikan apa yang dikatakan oleh orang alim Muslim. Kita sekali-kali tidak dapat menyandarkan satu pemahaman dan bacaan terhadap Islam. Ruh pembahasan ini adalah bacaan beragam atas agama; meski tidak mengemuka dengan judul yang sama.
Teori Kontraksi dan Ekspansi yang mengemuka pada akhir-akhir tahun tujuh puluhan Syamsiah di Iran sejatinya merupakan ulasan atas pembahasan bacaan beragam atas agama. Teori ini, memiliki pemaparan dan uraian berbeda-beda. Dua penafsiran penting dari teori bacaan beragam atas agama berhubungan dengan dua filosof besar Barat yaitu Popper dan Gadamer.
Perbedaan dua penafsiran Popperian dan Gadamerian dengan teori Kontraksi dan Ekspansi adalah pada penafsiran Popperian, makrifat agama yang senada dengan pengetahuan moderen, lebih dekat kepada realitas ketimbang makrifat agama masa lalu. Namun dalam penafsiran Gadamerian, makrifat agama moderen dan masa lalu berada sejajar secara horizontal dan satu sama lain tidak dapat saling menyalahkan. Oleh itu, berdasarkan penafsiran ala Gadamerian kita tidak dapat menganjurkan para alim agama untuk menuntut ilmu moderen. Dari sisi lain, berdasarkan pemikiran Gadamer, kita tidak mesti harus menyesuaikan dengan tradisi moderen, melainkan sejatinya kita bergerak bersama tradisi dan pemahaman kita secara niscaya senada dan seirama dengan tradisi yang kita jalani bersama. [1]
Teori Konstraksi dan Ekspansi konsep orisinalnya diadopsi dari Gadamer (yaitu hermeneutik filosofis). Namun terdapat beberapa penambahan atas teori tersebut dan diberikan corak ketimuran hanya saja pengagas teori ini tidak memberikan ketajaman atas pembahasan Gadamer. Bahkan semakin membuatnya rapuh. Beberapa penambahan yang dilakukan terhadap pembahasan-pembahasan Gadamer sejatinya telah membuat teori Kontraksi dan Ekspansi itu sendiri menjadi lebih rapuh dan lebih rentan. [2]
Teori ragam bacaan atas Agama, sejatinya idem-dito dengan keyakinan terhadap pluralisme pemahaman. Artinya keyakinan terhadap pemahaman dan makrifat agama adalah bersifat pluralis. Teori ini menasbihkan bahwa kita tidak memiliki makrifat tunggal atas agama. Kita memiliki ragam makrifat yang senantiasa mengalami perubahan dan penyempurnaan. Karena itu, teori Kontraksi dan Ekspansi merupakan salau satu uraian dan paparan dari ragam bacaan atas Agama. Namun demikian terdapat ulasan-ulasan lain atas teori tersebut.
Bagian Kedua:
Interpretatifnya agama dengan pelbagai ulasan – baik Popperian atau Gadamerian – sepanjang bercerita tentang perbedaan dalam memahami agama maka hal itu adalah sesuatu yang benar dan dapat diterima. Namun ketika terlontar klaim bahwa setiap pemahaman atas agama merupakan tawanan pra-sangka-pra-sangka sehingga demikian tidak ada yang disebut sebagai pemahaman tunggal adalah pepesan kosong, menyesatkan dan salah karena orang-orang yang meyakini relatifitas makrifat agama pada akhirnya berujung pada relativitas agama itu sendiri.
Soroush meski membedakan antara makrifat agama dan agama namun pada pada tataran praktis tidak memiliki jalan lain kecuali meyakini agama moderen. Ia menerbitkan sebuah karya beberapa tahun pasca penulisan buku Teori Kontraksi dan Ekspansi. Secara tegas tidak hanya pada tataran praktis tetapi juga secara teoritis, ia mengakui, “Dalam buku Kontraksi dan Ekspansi Teori Syariat pembicaraan berkisar tentang manusiawi, historis dan membuminya makrifat agama dan kini dalam ekspansi pengalaman kenabian berkisar ihwal manusiawi dan historisnya agama itu sendiri.” [3] Pada giliran berikutnya, sumber adanya perbedaan pelbagai pemahaman tidak semata-mata pada urusan-urusan subyektif melainkan bersumber dari sumber aslinya dalam urusan-urusan obyektif. Artinya tiadanya makrifat terhadap imam eksternal atau internal (akal).
Namun sesuai dengan kesaksian al-Qur’an rasikhun fi al-‘ilm; yaitu para Imam Maksum dan orang-orang beriman pengikut mereka – tergantung derajat iman mereka – mampu memperoleh akses terhadap hakikat agama dan al-Qur’an.
Oleh itu, dengan bersandar pada pikiran dan kepemilikan-kepemilikan pribadi kita tidak dapat memperoleh hakikat agama kecuali kita mengikut pada seorang imam yang merupakan jelmaan sempurna akal dan dengan mengikutnya kita dapat memperoleh akses terhadap hakikat agama dan al-Qur’an serta terjaga dari kubangan tafsir birray. [IQuest]
Untuk telaah lebih jauh dalam masalah ini silahkan lihat indeks terkait:
Indeks: Pluralisme Agama dan Ragam Bacaan atas Agama, 5123 (Site: 5394)
[1] . Mahdi Hadawi Tehrani, Bawar-ha wa Pursesy-ha, Justarha-ye dar Kalam Jadid, hal. 120, Qum, Muassasah Farhanggi Khane Kherad, 1378 S.
[2] . Ahmad Wa’zhi, Qira’at-ha-ye Mukhtalif az Din, No. 21, Paigah-e Hauzah, Mehr, 1380 S.
[3] . Abdul Karim Soroush, Basth Tajrebe Nabawi, Muassasah Farhanggi Shirath, Cetakan Kelima, Tabestan 85, Pisyguftar.